Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEUSAI azan magrib, lapangan seluas satu hektare di dalam kompleks Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, mulai disesaki penonton, Sabtu ketiga April lalu. Jalan menuju pesantren-yang merupakan jalur kendaraan besar dan lintasan antarkota-juga makin padat. Petugas parkir dan pedagang kaki lima terlihat berebut tempat di tepi jalan hingga menerjang badan jalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Truk dan mobil bak terbuka tampak berjajar hingga radius 500 meter di pinggir jalan. Kendaraan itulah yang mengangkut para petarung dari berbagai wilayah di Jawa Timur yang akan berlaga dalam ajang pertarungan paling bergengsi yang digelar di Pesantren Lirboyo: Pencak Dor. Satu per satu pemuda dari berbagai perguruan bela diri itu memasuki pintu gerbang utara Pesantren Lirboyo. Pintu tersebut dikhususkan bagi para petarung yang akan berlaga. Sedangkan pintu tengah diperuntukkan bagi tamu undangan dan panitia Pencak Dor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari pintu gerbang, terlihat panggung yang menjulang tinggi. Tak ada ketentuan yang mengatur ketinggian panggung tersebut. Jika penonton diperkirakan membeludak, ketinggian panggung akan ditambah. Ini untuk memudahkan penonton yang jauh dari panggung untuk melihat duel di atas pentas. Adapun dua buah layar lebar raksasa terpampang di kanan-kiri panggung untuk membantu penonton yang tak kebagian tempat.
Tepat pukul 7 malam, selepas azan isya, suara musik jidor terdengar. Suara musik itu menarik perhatian para penonton yang masih berada di luar Pesantren Lirboyo untuk segera masuk dan memilih tempat di sekitar panggung. Lantunan selawat dengan iringan musik jidor sekaligus menjadi penanda laga Pencak Dor akan segera dimulai. Dalam sekejap, arena di sekitar panggung terbelah menjadi dua: sudut utara dan selatan. Tiap sudut berisi puluhan anak muda yang ingin beradu jurus. Buat laga pembuka, panitia biasanya memberikan kesempatan kepada petarung muda atau yang lebih junior untuk bertanding.
Satu per satu petarung dari tiap sudut maju ke tengah panggung. Wasit hanya memberikan waktu paling lama lima menit untuk setiap pertandingan. "Setiap pertandingan terdiri atas tiga ronde," kata Badrul Huda Zainal Abidin, yang biasa disebut Gus Bidin, tokoh Pesantren Lirboyo yang juga pemegang lisensi penyelenggaraan Pencak Dor.
Mirip pertandingan mixed martial arts (MMA) atau bela diri campuran yang kerap ditayangkan di televisi, para petarung yang berlaga dalam Pencak Dor tak dilengkapi satu pun pelindung tubuh. Satu-satunya alat pengaman yang dipakai adalah pelindung gigi. Itu pun sering digunakan bergantian oleh puluhan petarung dalam satu perguruan bela diri. "Gigi saya pernah copot saat bermain di laga pembuka," ucap Imam Subawi, warga Kelurahan Lirboyo yang kini memilih pensiun dari laga Pencak Dor. "Tapi namanya pesilat, ya, harus pernah naik panggung."
Bernis, salah seorang anggota panitia, mengatakan pertandingan Pencak Dor tak memiliki banyak peraturan. Para petarung hanya dilarang menarik rambut atau menjambak, memukul lawan yang sudah terjatuh, dan meludah atau berkata kotor. "Prinsipnya, pertarungan ini harus terhormat," ujar Bernis.
Setelah bersalaman, para petarung akan langsung beradu jotos. Pertandingan biasanya berlangsung cepat karena tiap peserta sudah sangat antusias untuk menyerang. Dalam waktu lima menit, mereka bebas memukul, menendang, dan membanting dengan menggunakan berbagai gaya. Memukul wajah pun diperkenankan, meski tak jarang membuat petarung berdarah-darah. Jika kondisi petarung mengkhawatirkan, wasit bisa menghentikan laga kendati belum memasuki ronde ketiga. Keputusan wasit itu bersifat mutlak.
Dalam Pencak Dor, penentuan lawan yang akan dihadapi diserahkan kepada para petarung dan promotor. Karena itu, tak jarang para petarung yang berlaga memiliki ukuran fisik berbeda. Jika berani, petarung dengan tubuh yang kecil pun diperkenankan melawan petarung dengan tubuh yang jauh lebih besar. Aturan ini diterapkan lantaran para petarung dianggap bisa mengukur kemampuan masing-masing sebelum memutuskan maju ke panggung pertandingan.
Kendati begitu, aturan tersebut kerap "dilanggar" promotor yang memang berkepentingan menjaga para petarungnya. Mereka akan mengganti petarung jika melihat lawan yang dihadapi tak sebanding. Dalam hal ini, promotor memainkan peran dalam mengatur para petarungnya agar memilih lawan yang tepat supaya bisa meraih kemenangan.
Meski Pencak Dor terbuka untuk umum dan bebas memilih lawan, tak semua petarung bisa bertarung dalam ajang itu. Panitia akan memprioritaskan petarung yang tergabung dalam perguruan bela diri untuk memudahkan pengaturan.
LAGA pembuka Pencak Dor yang diisi para petarung muda atau junior biasanya berlangsung hingga pukul 10 malam. Setelah itu, yang bertanding adalah para petarung yang masuk kategori kelas berat atau kelas profesional. Berbeda dengan kelas junior, pertarungan kelas berat berlangsung lebih lama. Para petarung juga tak asal memukul atau menendang. Tingkat kehati-hatian mereka lebih tinggi meski sekali "bentrok" dampaknya luar biasa. Kucuran darah di atas matras sudah menjadi pemandangan biasa dalam laga itu.
Petarung kelas berat juga mendapat waktu beristirahat yang lebih lama di sudut ring dibanding junior mereka. Kesempatan itu biasanya dipergunakan promotor dan pelatih untuk merawat luka dan memberikan arahan. Sorak-sorai penonton akan pecah jika salah satu petarung roboh di atas matras. Apalagi jika petarung yang ambruk adalah lawan dari petarung yang menjadi jagoan mereka. Sebaliknya, jika jagoan mereka roboh, para penonton akan meneriakinya agar bangkit kembali.
Laga kelas berat pernah dilalui Michael Sigarlaki. Pria kelahiran Manado, 8 Maret 1989, ini salah seorang bintang Pencak Dor yang kehadirannya selalu dinanti. Ia bekas petinju profesional yang banting setir ke laga Pencak Dor. Saat ini Michael berada dalam naungan Hadak, promotor Pencak Dor asal Desa Joho, Kediri. Michael selalu bertarung di kelas berat atau profesional untuk klub yang dipimpin Hadak.
Perbedaan aturan dan sistem pertandingan Pencak Dor dengan tinju profesional kerap menjadi momok bagi Michael. Apalagi jika lawan yang dihadapi memiliki karakter bertarung yang berbeda dengannya. Menurut Michael, dari sekian banyak cabang bela diri, petarung dengan gaya gulat merupakan lawan terberat. "Mereka akan langsung merangkul dan membanting, sementara saya mengandalkan tinju dengan posisi berdiri," katanya.
Situasi itu memaksa Michael mempelajari banyak gaya bela diri agar bisa berimprovisasi. Ia tak mau mati konyol dengan mempertahankan teknik tinju jika menghadapi lawan dengan gaya bela diri yang berbeda. Sebab, meski pertandingan itu bertajuk "pencak", hanya sedikit petarung yang menggunakan ilmu pencak silat. Alasannya sederhana: pencak silat dinilai kurang efektif untuk melakoni pertarungan cepat. "Terlalu banyak kembangan (gerakan pembuka), kita bisa babak-belur dipukuli lawan," ujar Michael.
Petarung dengan berat 90 kilogram itu kemudian mempelajari bela diri muay Thai. Menurut Michael, teknik muay Thai lebih banyak membantu dalam model pertarungan bebas seperti Pencak Dor. Sebab, muay Thai lebih banyak mengeksplorasi gerakan tangan dan kaki sekaligus untuk pertarungan jarak dekat.
Tak terhitung lagi bekas luka yang didapat Michael dari pertarungan Pencak Dor. Dalam laga terakhir di Pesantren Lirboyo, ia mendapat luka robek cukup besar di dahinya saat bertanding melawan petarung dari Surabaya. Meski memiliki badan yang lebih besar, Michael tak bisa mengelak saat tinju yang dilesakkan lawan mengenai dahinya.
Saat itu, dalam kondisi berdarah dan di bawah guyuran hujan, Michael tetap melanjutkan pertandingan. Teriakan penonton dan promotor membuatnya lupa akan rasa sakit di dahi dan kembali melesakkan pukulan ke tubuh lawan. Uniknya, seusai jual-beli pukulan di atas panggung, Michael dan lawannya itu berjalan bersama menuju aula di Pesantren Lirboyo. Di tempat itu, panitia telah menyiapkan sepiring nasi dengan gulai kambing panas. Bersama petarung lain, mereka menikmati santap malam itu sambil bersenda gurau.
Namun, bagi petarung profesional seperti Michael Sigarlaki, nasi gulai kambing bukanlah satu-satunya imbalan. Michael juga menerima bayaran dari promotor dan para penggemar yang tak pelit memberikan uang setelah menyaksikan dia bertarung di atas panggung. Banyaknya penggemar belakangan membuat Michael tertarik menjadi pelatih fisik. Di luar ring, ia melatih anak-anak muda untuk kemudian menjajal pentas Pencak Dor.
Hari Tri Wasono (Kediri)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo