Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KESAMAAN hobi akan bunga anggrek membuat Mufidah Jusuf Kalla dan Riantini Sofjan Wanandi sepakat membuka kebun bersama di daerah Gunung Geulis dan Citeko, Bogor, sejak Agustus tahun lalu. Ini bukan sembarang kebun, melainkan tempat pembibitan sekaligus rumah hijau (green house) untuk penelitian. Mereka punya cita-cita mulia: menjual bibit anggrek dengan harga murah kepada petani.
”Mulai saat ini, petani anggrek ini harus bisa membeli bibit anggrek dengan harga murah. Jadi industri anggrek bisa terus berkembang,” ujar keduanya hampir bersamaan. Pusat pembibitan seluas total 16 hektare ini dikelola di bawah bendera PT Santini Mitra Amanah. ”Ada puluhan ribu bibit anggrek yang didatangkan dari Taiwan untuk dikembangkan di sini,” kata Mufidah Jusuf Kalla, yang juga Ketua Perhimpunan Anggrek Indonesia.
Mengapa tidak menggunakan bibit lokal? ”Kelopak anggrek Taiwan lebih tebal, lebih lebar, dan bisa bertahan tidak layu hingga tiga bulan,” Mufidah menjawab. Riantini menambahkan, ada tiga jenis anggrek yang dikembangkan, yaitu phalaenopsis, oncidium, dan cymbidium. Keduanya terlihat hati-hati memperlakukan anggrek-anggrek itu. ”Tidak boleh diusap kelopaknya,” ujar Mufidah. ”Iya, nanti kalau tidak diperlakukan secara baik, anggreknya menangis dan mudah layu,” Riantini menimpali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo