Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERILAKU di hari pertama adalah hal yang paling diingat Albert Bainages dari para mantan anak didiknya. Dua orang di antaranya meninggalkan kenangan khusus di benak pelatih Akademi Sepak Bola Barcelona, La Masia, itu. ”Leo sangat pendiam, sedangkan Andres menangis tiga jam tanpa henti setelah orang tuanya pulang,” ujar pria 54 tahun itu sambil tertawa, geli.
Si pendiam dan si cengeng itu, Lionel Messi dan Andres Iniesta, berdiri berdampingan di panggung kehormatan markas besar Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) di Zurich, Swiss, Senin dua pekan lalu. Messi, 23 tahun, menerima penghargaan FIFA Ballon d’Or sebagai pemain sepak bola terbaik dunia 2010. Iniesta, 26 tahun, terbaik kedua. Di sebelah mereka berdiri mantan anak asuh Bainages yang lain, Xavi Hernandez, 30 tahun, sebagai pemain terbaik ketiga.
Inilah pertama kalinya dalam sejarah tiga pemain yang berasal dari satu klub sekaligus dari satu akademi sepak bola yang sama menjadi pemain terbaik. Mereka lebih unik dibanding trio AC Milan di panggung Ballon d’Or 1988: Marco van Basten, Ruud Gullit, dan Frank Rijkaard. Ketiga pemain Milan mengawali karier di akademi yang berlainan di Belanda dan mereka cuma berlevel pemain terbaik tingkat Eropa.
La Masiakah rahasianya? Pelatih Barcelona, Josep Guardiola, tak mau sepenuhnya setuju. ”Saat Xavi, Leo, dan Andres lulus dari akademi, mereka belum menggenggam Ballon d’Or,” ujar pria yang juga jebolan La Masia itu. ”Mereka meraihnya setelah melewati proses. Dan terima kasih kepada kesabaran klub yang ditunjukkan kepada mereka.”
Sejauh ini, belum ada lembaga yang secara resmi membandingkan kehebatan antar-akademi sepak bola. Namun fenomena sukses alumnus la cantera (istilah Spanyol untuk akademi sepak bola) bernama La Masia itu beberapa tahun terakhir ini tak bisa dimungkiri.
Contoh yang paling mencolok adalah sukses tim nasional Spanyol merebut Piala Dunia 2010. Sembilan dari 23 pemain yang dibawa pelatih Vicente del Bosque ke Afrika Selatan lulusan La Masia, termasuk Cesc Fabregas, yang sekarang membela Arsenal, dan Pepe Reina, kiper Liverpool. Tujuh di antaranya bermain pada final saat mengalahkan Belanda 1-0.
Barcelona juga mengandalkan tujuh pemain hasil akademi sendiri ketika menundukkan Manchester United 2-0 pada final Liga Champions 2008/2009. Pada musim ini, dari 22 pemain yang terdaftar di tim utama, Guardiola cuma memiliki sepuluh pemain yang bukan jebolan La Masia. Artinya, ini jumlah ”pemain asing” terkecil di skuad klub berjulukan La Blaugrana itu dalam 15 tahun terakhir.
Catatan itu kian mendekati impian Louis van Gaal, yang ingin membawa Barcelona menjuarai Liga Champions dengan mengandalkan sebelas orang hasil didikan La Masia. Pelatih asal Belanda itu mengucapkannya saat menangani El Barca pada 1997-2000.
Albert Capellas, koordinator senior tim-tim muda Barcelona, lebih realistis. ”Idealnya, 50 persen skuad Barcelona berasal dari la cantera kami, 35 persen dari pemain-pemain terbaik Spanyol lain (non-La Masia), dan 15 persennya berasal dari sepuluh besar pemain terbaik dunia, seperti Samuel Eto’o, Zlatan Ibrahimovic, atau Thierry Henry,” katanya seraya menyebut para mantan bintang Barcelona.
Bila Van Gaal punya obsesi tersendiri terhadap La Masia, itu tak lepas dari sejarah kariernya bersama Ajax Amsterdam. Dan sejatinya, ide La Masia berasal dari Ajax. Pencetusnya tak lain Johan Cruyff, ”sang penerjemah” totaalvoetbal Ajax dan tim nasional Belanda. Cruyff bermain untuk Barcelona pada 1973-1978 mengikuti langkah pelatih maestro Rinus Michels.
Cruyff sangat tergila-gila pada kultur Catalunya, provinsi yang sampai sekarang berkeinginan lepas dari Spanyol. Anaknya, Jordi, bahkan memiliki kewarganegaraan Catalunya. Cruyff terobsesi menjadikan Barcelona seperti Ajax yang melahirkan totaalvoetbal. Sebelum hengkang, mantan kapten tim nasional Belanda ini menyarankan Presiden Barcelona Josep Lluis Nunez membangun akademi seperti Ajax.
Nunez lantas menyulap sebuah bangunan tua berusia tiga abad menjadi asrama sepak bola untuk pemain muda. Letaknya hanya sepelemparan batu dari Stadion Camp Nou. Bangunan berdinding batu bata kuno seluas sekitar 6.500 meter persegi itu bernama resmi La Masia de Can Planes sejak 1979. La Masia berarti rumah petani, merujuk fungsi awalnya pada awal abad ke-18.
Cruyff hadir lagi ke Barcelona pada 1988 dan kali itu berstatus pelatih. Di tangan Cruyff, La Masia menjadi akademi Ajax kedua. Dia meletakkan fondasi kurikulum di akademi itu. Dasarnya jelas, pada setiap level usia, para pemain harus dilatih menguasai bola, mengolah visi, dan punya keterampilan mengarahkan bola dalam pola 4-3-3 khas Belanda. Ini berbeda dengan akademi sepak bola di Inggris, yang lebih menekankan latihan fisik dan tak terlalu berfokus pada sistem permainan.
Falsafah bola Cruyff bertemu dengan tradisi tiki-taka, sepak bola tik-tak ala Catalunya. Perlu waktu beberapa tahun bagi Cruyff untuk mempersembahkan gelar Liga Champions pertama bagi Barcelona, yaitu pada 1991/1992. Saat itu ada dua pemain didikan La Masia pada partai final. Salah satunya Guardiola. Permainan Barcelona lantas dikenal indah. Puncaknya dekade ini. Keindahan itu berimbas ke tim nasional Spanyol.
”Kami juga selalu menekankan agar mereka menjunjung sportivitas, bermain sepak bola menyerang, dan selalu lapar kemenangan,” kata Carlos Folguera, Direktur La Masia sejak 2002. ”Kemenangan tak terlalu penting bila hal pertama dan kedua tidak dipatuhi.”
Folguera, 42 tahun, bukan pesepak bola. Dia mantan bintang roller hockey, hoki dengan sepatu roda. ”Itu bukan masalah bagi saya. Saya memiliki ijazah keguruan yang berguna bagi akademi ini.” Dan sejatinya, asrama La Masia memang bukan cuma untuk pemain sepak bola. Dari 60 atlet muda yang tinggal di asrama itu, ada 12 atlet basket dan satu atlet roller hockey. Sisanya pemain sepak bola. Sepuluh orang menempati kamar di La Masia, sementara yang lain di ruangan yang ada di stadion.
Selama berdiri, akademi ini telah meluluskan 500-an atlet sepak bola. Dari jumlah itu, hanya 15 persen yang mampu mencapai level tim senior Barcelona. Yang 40 persen bermain untuk klub lain. Sisanya memilih profesi lain karena kalah bersaing di dunia sepak bola senior.
Kamar asrama diperuntukkan bagi atlet-atlet muda berusia 13 tahun ke atas yang berasal dari luar Catalunya atau luar negeri. La Masia mendapat pasokan pemain muda berbakat dari Meksiko berkat keberadaan lima akademi Barcelona di negeri itu sejak dua tahun lalu. Satu sekolah lagi di Mesir. Sejak tahun lalu, seorang ”Messi” masa depan dari Korea Selatan bernama Park Seung-ho menghuni salah satu kamar akademi. Pemain asal Catalunya biasanya tidak mondok di asrama.
Penghuni asrama diurus 75 orang dari berbagai profesi—dari dokter, ahli nutrisi, guru privat, sampai pelayan—berkualifikasi nomor wahid. Di luar latihan rutin pada pagi dan sore hari yang diikuti 200-an pemain—termasuk yang bukan penghuni asrama—mereka diantar-jemput ke sekolah-sekolah terbaik di Barcelona.
Dari level usia tujuh sampai 23 tahun, para pemain muda ini dikelompokkan dalam 12 kategori. Tiap kelompok didampingi dua pelatih. Fasilitas yang ada adalah lima lapangan rumput, empat lapangan rumput buatan, tiga ruangan gimnasium, dan berbagai fasilitas lain di kompleks latihan Ciutat Esportiva Joan Gamper.
Berbeda dengan kebiasaan pelatih Manchester United, Alex Ferguson, yang menjauhkan para pemain mudanya dari pers, Barcelona justru membiasakan mereka melayani wawancara sejak muda. Pada setiap pertandingan kompetisi junior, wartawan televisi kabel Barcelona selalu meminta satu-dua pemain diwawancarai. Messi yang pemalu dan Iniesta yang penakut pun matang lebih cepat menghadapi publik.
Andy Marhaendra (AFP, FIFA, The National)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo