BERBARENGAN dengan acara di Gedung Kebangkitan Nasional, di
Gedung Juang Menteng Raya 31 juga berlangsung reuni. Acara ini
mempertemukan sekitar 60 orang Jepang bekas pelatih PETA dengan
para eksponen Angkatan 45 yang pernah tergabung di situ.
Reuni pertama semenjak 33 tahun Indonesia merdeka itu, dihadiri
oleh Menko Kesra Surono, Irjen Deplu Sarwo Edhie, Dubes Jepang
Hidemichi Kira. Juga bekas Kapten Motoshige Yanagawa, pelatih
tentara PETA dulu dan kini berusia 64 tahun. Tapi dia sih orang
sini.
Ceritanya: setelah perang usai, Yanagawa sempat beberapa kali
berkunjung ke Indonesia. Lambat-laun ia merasa "daripada
buang-buang uang untuk ongkos pesawat, lebih baik saya menjadi
WNI," katanya. Maka sejak 1969 Yanagawa sah menjadi warganegara
-- sementara dua anaknya, pria 8 wanita, baru sekitar tiga
tahun silam beroleh status yang sama.
Kakek 5 cucu itu (kedua menantunya orang Indonesia) kini
bermukim di Pluit, Jakarta. Rumah itu diperolehnya dari Jenderal
Surono.
Ia pernah mengepalai sekolah PETA di Tangerang. Di antara
muridnya terdapat Kemal Idris (kini Letjen), Zulkifli Lubis,
Almarhum Jenderal Ahmad Yani, Almarhum Daan Mogot, juga Jenderal
Sumitro dan tentu masih banyak yang lain.
Menurut Yanagawa, ada dua alasan mengapa PETA dibentuk. Ketika
Jepang sudah mulai kalah, sebagian besar tentara Jepang yang ada
di Indonesia ditarik ke Burma. Untuk memenuhi keperluan tenaga
serdadu itulah didirikan PETA. Alasan kedua, kata Yanagawa:
"Kita cinta Indonesia, maka para pemuda yang masih bersih kita
didik."
Mengenang masa silamnya, Yanagawa punya banyak kisah. Misalnya
ketika berada di Tangerang. Ia senang sekali air kelapa muda.
Sekali waktu ia coba memanjat. "Tangan, kaki dan dada saya
luka," tuturnya, dan ia ingat betul bagaimana ia memanjat pohon
kelapa itu ketika seisi tangsi militer sudah tidur lelap. "Sebab
malu bila sampai anak buah tahu," katanya. Ada tiga hari
berturut-turut Yanagawa latihan memanjat pohon kelapa itu.
Suatu malam, tatkala ia sedang nangkring di pucuk, tiba-tiba ada
yang ke luar asrama. Nasib baik buat Yanagawa: ia tidak
dipergoki. Dan nasib sial bagi yang kepergok. Besok paginya
ketika jam apel Yanagawa berteriak "Siapa yang semaram keruar
tangsi? Kamu orang jangan bohong, ya," katnya meniru cara ia
bicara zaman itu. Ternyata Kemal Idris dan Daan Mogot yang
semalam keluar diam-diam untuk mmbeli makanan. Apa boleh buat
mereka dapat tempeleng plus duduk bersila ala Jepang selama 6
jam.
Sekolah tempat mendidik cikal-bakal perwira TNI itu, tiap
angkatan berjumlah 50 orang, dengan pelatih 12 orang. Di
Tangerang hanya sempat dua angkatan, setelah itu pindah ke
Bogor. Dan tahun lalu di Jepang berdiri "PETA Kai" (keluarga
PETA), dengan anggota saat ini 500 orang.
Yanagawa masih punya perawakan tegap, mirip jagoan dalam film
samurai. Ia menamatkan pendidikan di Fakultas Ekonomi
Universitas Takushoku, Tokyo, 1938. Lalu ikut milisi 3 bulan di
tempat kelahirannya, Tokushima, Jepang Selatan. Pernah mengikuti
sekolah intel Nakano Gakko. Dikirim ke Indonesia sebagai perwira
intel dengan pangkat letnan satu, mendarat di Merak tengah malam
buta 1 Maret 1942.
Selama di Indonesia menurut pengakuan Yanagawa ia belum sempat
bentrok senjata dengan pejuang Republik -- tapi pernah bakubunuh
dengan tentara Inggeris. "Kenapa anda bunuh?" tanya TEMPO.
"Jumlah mereka 30 orang, sedang kami hanya 12. Kalau tidak
mendahului tentu kita yang didahului." Apa Yanagawa tak berniat
kembali ke tanah leluhurnya? "Tidak," sahutnya yakin. "Saya
lebih senang tinggal di sini."
Apa kerjanya sehari-hari? Entah. Tapi isterinya punya toko
perhiasan di Hotel Presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini