Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Bernostalgia

Motoshige yanagawa, 64, kini jadi wni, mengenang masa silamnya. ia pernah mengepalai sekolah peta di tangerang. (pt)

26 Agustus 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERBARENGAN dengan acara di Gedung Kebangkitan Nasional, di Gedung Juang Menteng Raya 31 juga berlangsung reuni. Acara ini mempertemukan sekitar 60 orang Jepang bekas pelatih PETA dengan para eksponen Angkatan 45 yang pernah tergabung di situ. Reuni pertama semenjak 33 tahun Indonesia merdeka itu, dihadiri oleh Menko Kesra Surono, Irjen Deplu Sarwo Edhie, Dubes Jepang Hidemichi Kira. Juga bekas Kapten Motoshige Yanagawa, pelatih tentara PETA dulu dan kini berusia 64 tahun. Tapi dia sih orang sini. Ceritanya: setelah perang usai, Yanagawa sempat beberapa kali berkunjung ke Indonesia. Lambat-laun ia merasa "daripada buang-buang uang untuk ongkos pesawat, lebih baik saya menjadi WNI," katanya. Maka sejak 1969 Yanagawa sah menjadi warganegara -- sementara dua anaknya, pria 8 wanita, baru sekitar tiga tahun silam beroleh status yang sama. Kakek 5 cucu itu (kedua menantunya orang Indonesia) kini bermukim di Pluit, Jakarta. Rumah itu diperolehnya dari Jenderal Surono. Ia pernah mengepalai sekolah PETA di Tangerang. Di antara muridnya terdapat Kemal Idris (kini Letjen), Zulkifli Lubis, Almarhum Jenderal Ahmad Yani, Almarhum Daan Mogot, juga Jenderal Sumitro dan tentu masih banyak yang lain. Menurut Yanagawa, ada dua alasan mengapa PETA dibentuk. Ketika Jepang sudah mulai kalah, sebagian besar tentara Jepang yang ada di Indonesia ditarik ke Burma. Untuk memenuhi keperluan tenaga serdadu itulah didirikan PETA. Alasan kedua, kata Yanagawa: "Kita cinta Indonesia, maka para pemuda yang masih bersih kita didik." Mengenang masa silamnya, Yanagawa punya banyak kisah. Misalnya ketika berada di Tangerang. Ia senang sekali air kelapa muda. Sekali waktu ia coba memanjat. "Tangan, kaki dan dada saya luka," tuturnya, dan ia ingat betul bagaimana ia memanjat pohon kelapa itu ketika seisi tangsi militer sudah tidur lelap. "Sebab malu bila sampai anak buah tahu," katanya. Ada tiga hari berturut-turut Yanagawa latihan memanjat pohon kelapa itu. Suatu malam, tatkala ia sedang nangkring di pucuk, tiba-tiba ada yang ke luar asrama. Nasib baik buat Yanagawa: ia tidak dipergoki. Dan nasib sial bagi yang kepergok. Besok paginya ketika jam apel Yanagawa berteriak "Siapa yang semaram keruar tangsi? Kamu orang jangan bohong, ya," katnya meniru cara ia bicara zaman itu. Ternyata Kemal Idris dan Daan Mogot yang semalam keluar diam-diam untuk mmbeli makanan. Apa boleh buat mereka dapat tempeleng plus duduk bersila ala Jepang selama 6 jam. Sekolah tempat mendidik cikal-bakal perwira TNI itu, tiap angkatan berjumlah 50 orang, dengan pelatih 12 orang. Di Tangerang hanya sempat dua angkatan, setelah itu pindah ke Bogor. Dan tahun lalu di Jepang berdiri "PETA Kai" (keluarga PETA), dengan anggota saat ini 500 orang. Yanagawa masih punya perawakan tegap, mirip jagoan dalam film samurai. Ia menamatkan pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Takushoku, Tokyo, 1938. Lalu ikut milisi 3 bulan di tempat kelahirannya, Tokushima, Jepang Selatan. Pernah mengikuti sekolah intel Nakano Gakko. Dikirim ke Indonesia sebagai perwira intel dengan pangkat letnan satu, mendarat di Merak tengah malam buta 1 Maret 1942. Selama di Indonesia menurut pengakuan Yanagawa ia belum sempat bentrok senjata dengan pejuang Republik -- tapi pernah bakubunuh dengan tentara Inggeris. "Kenapa anda bunuh?" tanya TEMPO. "Jumlah mereka 30 orang, sedang kami hanya 12. Kalau tidak mendahului tentu kita yang didahului." Apa Yanagawa tak berniat kembali ke tanah leluhurnya? "Tidak," sahutnya yakin. "Saya lebih senang tinggal di sini." Apa kerjanya sehari-hari? Entah. Tapi isterinya punya toko perhiasan di Hotel Presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus