Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SASTRAWAN Triisnojuwono termasuk salah seorang wartawan yang
ikut menyaksikan upacara pembebasan 1500 tahanan Gestapu/PKI di
Namlea, Pulau Buru, pekan silam.
Di Inrehab Buru, Trisno pertamatama tentu ingin bertemi teman
lamanya -- sesama pengarang Pramudya Ananta Toer. Tapi betapa
kecewanya ia ketika Pram ternyata mengaku tidak pernah kenal
padanya. "Sialan, masak dia tidak kenal aku," Trisno menggerutu.
Dan berkisahlah Trisno mengenai pertemuannya yang terakhir
dengan Pram di Jakarta belasan tahun silam. "Waktu itu Pram lagi
sibuk-sibuknya mengganyang Hamka. Aku juga disuruh mengganyang
Hamka yang dituduhnya plagiat," begitu cerita Trisno. "Tapi aku
bilarng pada Pram, plagiat itu bukan soal sederhana, tidak
seperti soal copet yang mudah ditentukan sebagai perbuatan yang
salah. Eh, tahu-tahu besoknya harian Bintang Timur menulis
berita yang menyebut nama saya sebagai menuduh Hamka copet.
Gila nggak itu?"
Karena marahnya, cerita Trisno, ia datang ke rumah Pram dengan
meluap-luap. Trisno berkehendak mendaratkan tinjunya di muka
Pram. "Tapi melihat tubuhnya yang kerempeng, aku tidak sampai
hati menjotosnya. Eh, sekarang sampai hati dia pura-pura tidak
kenali, aku. Sialan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo