MEMASUKI awal tahun Pelita III 1978 mendatang, Departemen Agama
berkemas menyelenggarakan konsultasi dengan semua unsur Kristen
Bulan Januari direncanakan konsultasi dengan para misionaris
asing. bulan Pebruari dengan unsur-unsur pribumi. Tema
konsultasi memang bisa diduga: "partisipasi umat Kristen dalam
pembangunan."
Tapi di balik itu memang terdapat beberapa masalah yang
memerlukan penyempurnaan sehubungan dengan tugas Pemerintah
memberikan "bimbingan" masyarakat Kristen.
Soal misionaris asing itu misalnya. Kalangan Kristen seperti
diwakili Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI) menganggap
kedatangan misionaris asing, yang direkomendir Departemen Agama
tanpa konsultasi dengan DGI, lebih banyak merugikan. Mereka
inilah yang rata-rata sangat aktif ke sana ke mari "sehingga
saudara-saudara yang Islam yang menuduh kami melakukan
kristenisasi" dan "gereja kani sendiri dipecah-belah" oleh
misionaris asing itu, seperti kata Pendeta Chris A. Kiting,
Penjabat Wakil Sekretaris Umum BPH-DGI.
Tapi, seperti dinyatakan Dirjen Bimas Agauna Kristen, Ds. Pestos
Nehemia Harefa, Pemerintah merekomendir mereka itu setelah
melakukan penyaringan terhadap permintaan gereja sponsor.
Misalnya benarkah sang sponsor memang butun tenaga asing.
Bagaimana bila si asing ini ternyata "mengacau"? "Itu memang
tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah pasti mengambil
tindakan. Mereka bisa diusir," kata Harefa, tanpa menyebut
contoh pengusiran yang pernah dilakukan.
Yang juga penting gereja sponsor itu memang belum tentu (dan
biasanya memang bukan) anggota DGI. "Anggota DGI hanya 50
Gereja. Sedang jumlah Gereja di Indonesia ini ada 275. Jadi
haruskah kami berkonsultasi dengan DGI?" kata Dirjen kepada
Klarawijaya dari TEMPO.
Bahkan konsultasi juga dirasa tak perlu dilakukan dalam hal
undangan dari Kanwil Departemen Agama di daerah-daerah kepada
para pendeta yang mengajar di sekolah negeri untuk satu
pertemuan. Seperti dikatakan Harefa (54 tahun), mereka itu
diundang sebagai guru negeri dan bukan sebagai pendeta.
Bagi kalangan DGI, masalah guru agama itu sebenarnya bahkan
lebih kompleks. Mereka mempertanyakan, benarkah "campur tangan
Pemerintah yang terlalu banyak" dalam pengajaran agama Kristen
di sekolah negeri memang cara yang paling baik.
Zaman Sukarno
Di kantornya di Jakarta, Pendeta Kiting -- yang juga Ketua
Sinode Gereja Kalimantan Evangelis -- menceritakan bahwa dulu di
zaman Sukarno ada pembagian tugas yang jelas antara Pemerintah
dan Gereja Pemerintah menyediakan waktu pelajaran dan honor.
Sedang Gereja menyediakan guru dan materi pelajarannya. Kini
Pemerintah sendiri yang mengangkt guru agama Atau tak
menyediakan honor mereka, dengan alasan tak ada pengangkatan
pegawai baru.
Selain itu ada keluhan tambahan terhadap pemerintan yakni dalam
hal terjadinya perpecahan Gereja.
Dr. P.D. Latuihamallo misalnya, mahaguru dan bekas rektor
Sekolah Tinggi Theologia Jakarta, menyatakan kepada George Y.
Adicondro dari TEMPO, betapa kebijaksanaan Kanwil Departemen
Agama di daerah kadar-kadang bahkan tidak menimbulkan kesatuan
seperti yang dikehendaki DGI. Gereja Kristus Tuhan di Lawang,
Malang, awal 1977 ini pecah. Sebelum DGI maupun DGW (Dewan
Gereja Wilayah) senlpat n1erujukkan pihak-pihak yang berselisih
karena alasan-alasan non-theologis itu, Kanwil Departemen Agama
setempat sudah 'memberkati pecahan Gereja itu di Surabaya
sebagai Gereja baru.
Supaya Tak Liar
Tapi, Harefa, Dirjen yang juga pendeta dari Nias itu,
menjelaskan: Kalau kemudian ada jemaat yang dipecat pimpinan
lalu membentuk Gereja sendiri "kita kan harus memberi
rekomendasi. Supaya mereka tidak liar" Dirjen juga menyatakan
bahwa dalam tindakan tersebut pihak Pemerintah memang tidak
berhubungan dengan DGI.
Tampaknya memang ada yang bisa lebih disempurnakan. Dan tutup
tahun Pelita ke-II barangkali juga akan merupakan tutup keluhan
Langkah Departemen Agama sendiri belum tentu semuanya sudah
baik. Soal tindakan terhadap para misionaris asing itu misalnya
Entah mereka datang untuk beroperasi secara liar (dengan visa
turis atau visa kunjungan keluarga) atau secara resmi, orang
memang tak enak menghadapi mereka ini -- yang dengan rasa
bangga, seakan mereka itu yang memegang "monopoli keselamatan".
memaksa berkotban dan rnemberikan buku begitu saja Sementara itu
mereka buta sama sekali ihwal agama atau kebudayaan orang yang
dianggap "kafir" itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini