Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Seniman asal Solo, Jawa Tengah, Herlambang Bayu Aji, aktif mementaskan wayang di Jerman.
Pentas wayang Herlambang mengkombinasikan seni lukis, wayang, dan musik.
Dia banyak mendapatkan undangan untuk mengisi workshop pembuatan wayang di sekolah-sekolah Jerman.
PADA musim dingin yang panjang di Jerman, seniman asal Solo, Jawa Tengah, Herlambang Bayu Aji, sibuk mementaskan wayang dan mengajar di sekolah. Jadwalnya sangat padat. Pada 8 Februari 2025, misalnya, Bayu—sapaan akrabnya—berpentas di Martin-Luther-Saal, An der Johanneskirche 1, Kota Halle, di Negara Bagian Sachsen-Anhalt.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Halle merupakan kota terbesar di Sachsen-Anhalt di timur Jerman. Halle punya julukan sebagai ibu kota budaya di negara bagian karena kekayaan budaya dan berbagai macam seni. Lelaki berambut ikal itu tampil memenuhi undangan Perhimpunan Pelajar Indonesia. Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Indonesia Roniyus Marjunus datang menonton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wayang Rajakaya bukan wayang purwa yang menekankan kepahlawanan dalam kisah Panji, Ramayana, dan Mahabharata. Wayang Rajakaya tidak memodifikasi cerita ataupun tokoh wayang purwa dan wayang Panji. “Hanya material dan teknik penciptaan atau presentasinya yang mirip,” kata Bayu kepada Tempo pada Senin, 17 Februari 2025.
Tak ada blencong atau lampu minyak untuk menerangi dan gedebog pisang sebagai tempat menancapkan wayang yang biasa digunakan dalam pertunjukan wayang kulit. Wayang Rajakaya mengkombinasikan seni lukis, wayang, dan musik. Rajakaya berarti binatang ternak berkaki empat; dua kaki untuk berdiri dan dua kaki lain menjadi tangan.
Yang menarik, diaspora Indonesia di Jerman itu mementaskan cerita bertema kerusakan hutan Borneo di Kalimantan karena gempuran perkebunan sawit. Belum lama ini, Presiden Prabowo Subianto menyatakan Indonesia berencana memperluas lahan sawit. Rencana itu bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. Komitmen itu tertuang dalam Perjanjian Paris yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016.
Wayang Rajakaya menampilkan karakter buaya, ayam cemani, monyet, bajing, katak, dan gunungan berwarna-warni. Pentas itu diiringi musik bergenre folk dan lagu berbahasa Indonesia berjudul Badjul. Lakonnya mengisahkan persahabatan dan kerusakan hutan Borneo.
Pertunjukan itu menggambarkan persahabatan serta kerja sama buaya dan monyet. Di tengah masifnya penanaman sawit, monyet dan buaya kelaparan karena makanan mereka habis. Hutan dibabat dan traktor menggilas bermacam tanaman, biodiversitas hutan Borneo.
Di tengah situasi yang sulit, kedua binatang itu saling membantu mencari solusi supaya tetap bisa bertahan hidup. Dalam pentas itu, Bayu juga mendongeng tentang tanaman khas Indonesia yang tidak tumbuh di Jerman, misalnya durian dan rambutan. “Supaya orang Jerman kenal Indonesia lebih dekat,” tutur Bayu.
Tempo menemui Bayu di flat yang terletak di Drontheimer Straße 24 pada awal Desember 2024. Mengenakan sarung khas Indonesia, Bayu mengisahkan perjalanannya mempromosikan wayang kreasi Indonesia yang mengusung nilai-nilai persahabatan, keberagaman, dan kepedulian terhadap kerusakan lingkungan.
Sudah 14 tahun Bayu menetap di Berlin dan memperkenalkan wayang Indonesia yang membawa pesan tentang isu kontemporer, seperti kerusakan lingkungan, feminisme, minoritas gender dan seksual, imigran, serta pengungsi. Imigran, misalnya, menjadi isu global yang belum tuntas dibicarakan di Jerman hingga sekarang. Wayang Rajakaya, kata Bayu, juga menekankan pentingnya persahabatan dan inklusivitas, menghargai keberagaman, juga kerja sama dan saling menolong.
Alumnus jurusan Art in Context di Universität der Künste Berlin untuk studi master itu menyebutkan penonton pertunjukannya kebanyakan berasal dari kalangan anak-anak dan keluarga. Bayu membungkus kritik sosial dengan dongeng-dongeng yang ramah anak. Figur binatang cocok bagi anak-anak karena diterima secara universal dan memberikan kebebasan kepada mereka untuk berimajinasi.
Lagu-lagu berbahasa Indonesia yang menyertai setiap pentas wayang ia ciptakan sendiri di studionya di kawasan Pankow, bekas Jerman Timur di Berlin. Bayu mendirikan dua studio. Di satu studio, dindingnya penuh dengan lukisan dan karya seni grafis yang menggunakan teknik linocut. Studio itu dipakai untuk merekam musik menggunakan gitar akustik elektrik dan alat perekaman digital.
Seniman asal Solo, Jawa, Tengah, Herlambang Bayu Aji di depan penonton pentas wayang Rajakaya di Jalan Ulmenalle 35, Berlin, Jerman, 30 November 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Studio satunya, tak jauh dari studio untuk merekam musik, ia manfaatkan untuk mendesain Wayang Rajakaya, dari membuat sketsa hingga menjadi wayang, dan menyimpan semua wayangnya dalam peti. Total wayang dari kulit kerbau ada 50 dan wayang berbahan kertas sebanyak 150. Menurut Bayu, salah satu tantangan membuat wayang adalah keterbatasan bahan kulit kerbau.
Lelaki 43 tahun itu menghimpun lagu pengiring pertunjukan dalam album bertajuk Keluar Kandang dengan merekamnya di studio. Semua lagu menggunakan tokoh Wayang Rajakaya yang sebagian berhubungan dengan cerita-cerita lokal khas Indonesia. Dalam menciptakan lagu itu, ia menyusun kalimat dalam bentuk puisi. Saat menciptakan lirik, Bayu membayangkan dia menjadi binatang sesuai dengan tokoh lagu yang diciptakan. Kini ada 24 lagu yang telah ia ciptakan.
Melalui lagu-lagu itu, Bayu menggambarkan kerusakan lingkungan yang serius karena ulah manusia dan hak hidup binatang yang terabaikan. Ia berharap lagu-lagunya bisa mengubah cara manusia melihat alam dengan cara hidup berdampingan dan tidak merusaknya.
Sebagian liriknya terdengar menggunakan nada-nada yang pilu dan energik. Lirik itu mengungkapkan persoalan lingkungan dan eksploitasi binatang. Contohnya lagu berjudul Yu Cemani yang menggambarkan tentang ayam yang seluruh tubuhnya berwarna hitam. Di Indonesia, ayam cemani lekat dengan mitos dan keramat.
Sebagian orang menggunakannya sebagai tumbal berbagai ritual dan sesajen. Ayam cemani jantan punya harga jual tinggi. Mereka berakhir menjadi tumbal demi keselamatan manusia dalam ritual. “Hitam semestinya tak berarti kutukan. Kami jadi korban,” begitulah penggalan liriknya.
Yu Cemani, kata Bayu, punya kiasan makhluk yang berbeda hanya karena warnanya serba-hitam. Gambaran itu dihubungkan dengan masih munculnya diskriminasi terhadap orang-orang yang dianggap berbeda, misalnya dalam konteks identitas gender, ras, dan asal-usul. Di tingkat global, ia menghubungkan lagu itu dengan Black Lives Matter, gerakan aktivis untuk melawan diskriminasi dan rasisme terhadap orang kulit hitam.
Bayu telah malang melintang tampil dalam berbagai pertunjukan di Eropa. Selain di Jerman, Bayu kerap berpentas di Universitas School of Oriental and African Studies (SOAS) London, Inggris; Festival Budaya Tong Tong Fair di Den Haag, Belanda; dan Kara Kulit Festival di Pécs, Hungaria. Di Jerman, pemilik gelar sarjana Program Studi Seni Lukis Universitas Sebelas Maret atau UNS Solo ini pernah tampil sepanggung dengan grup band 17 Hippies dalam acara pembukaan Ramadhan Fair 2011.
Setelah lulus kuliah di UNS, Bayu mulai menciptakan lukisan berfigur hewan ternak yang dekat dengan kehidupan perdesaan masyarakat Indonesia. Lalu ia menciptakan wayang dengan citraan sapi bernama Sarah. Sapi, kata dia, menyimbolkan masyarakat Indonesia yang punya banyak potensi dan kuat. Tapi potensi itu tidak dikembangkan dan terhalang oleh berbagai persoalan, misalnya kerusakan lingkungan dan korupsi.
Sejak 2005, Bayu mondar-mandir Indonesia-Jerman untuk menjalankan berbagai proyek seni dan kebudayaan. Ia mengisi berbagai workshop, pentas, dan pameran. Pentas wayang pertamanya berlangsung di Wangen, kota bersejarah di Baden-Württemberg. Pada 2010, ia bermukim di Jerman bersama istrinya, Camilla Kussl. Kini ia menetap bersama Camilla dan membesarkan anak perempuannya di Berlin. Sejak saat itu, ia mempelajari bahasa Jerman yang sulit secara serius, bahkan secara khusus mengikuti kursus demi memperlancar kemampuan berbahasa.
Wayang kreasi Bayu mengingatkan pada wayang kulit bercorak seni rupa modern ciptaan Sukasman yang dikenal sebagai Wayang Ukur. Sukasman, kata Bayu, memang salah satu pencipta wayang kreasi yang menginspirasinya membuat Wayang Rajakaya, selain Ledjar Subroto dan perupa Heri Dono. Suatu hari, Suatmadji, dosen UNS Solo, menyarankan Bayu mengunjungi Kasman untuk melihat Wayang Ukur. Bayu kemudian menemui Kasman di rumahnya di Yogyakarta serta mengamati detail berbagai gubahan dan kreasi Wayang Ukur. Kasman saat itu menceritakan karya-karyanya.
Kepada Bayu, Kasman pernah bercerita tentang pengalamannya mendapat ancaman dan dimusuhi oleh sejumlah orang karena menciptakan wayang kreasi yang keluar dari pakem wayang purwa. Majalah Tempo pernah menulis protes keras terhadap pameran kesenian di bekas Benteng Vredenburg Yogyakarta pada 1979. Wayang-wayang kreasi Kasman dianggap merusak pakem wayang kulit sebagai budaya adiluhung.
Bayu juga pernah dituduh hendak merusak pakem melalui Wayang Rajakaya saat awal-awal dia mondar-mandir Indonesia-Jerman.
Wayang kreasi Seniman asal Solo, Jawa Tengah, Herlambang Bayu AJI di studionya di Berlin, 1 Desember 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Ayah satu anak ini juga pernah menghadapi protes karena penampakan citra alat kelamin Wayang Rajakaya yang sebagian orang menganggapnya berbau pornografi. Kepada orang yang memprotes, Bayu merespons dengan menyebutkan, ketika orang melihat gambar diam atau bergerak lalu timbul hasrat seksual, barangkali itu porno. Tapi apakah hanya dengan melihat Wayang Rajakaya akan menimbulkan hasrat seksual.
Berlin menjadi jantung kegiatan seni teater, seni rupa, orkestra, film, tari, dan sastra yang menggunakan dana subsidi publik. Bagi Bayu, kota ini menghidupkan kreativitas seniman. Dia banyak mendapat undangan untuk mengisi workshop pembuatan wayang di sekolah-sekolah Jerman. Belum lama ini, Bayu mementaskan Wayang Rajakaya dengan lakon Inge, seekor landak betina yang bercita-cita menciptakan mesin untuk terbang di Galeri Armadillo, Jalan Etkar-André Straße 29, Leipzig.
Sejak 2022, Bayu menambah jumlah tokoh perempuan pada Wayang Rajakaya dengan tema feminisme. Penambahan itu bertolak dari keresahannya terhadap sedikitnya jumlah tokoh perempuan dalam wayang yang hanya ada beberapa, misalnya Srikandi dan Limbuk-Cangik. “Ada juga kisah-kisah non-biner dengan semangat inklusivitas,” ujarnya.
Pada Desember 2024, ia tampil di rumah budaya, Jalan Ulmenalle 35, Berlin, Jerman. Dari balik layar putih tembus pandang, Bayu duduk memainkan wayang kreasinya selama 30 menit. Hampir semua wayang menggunakan citraan binatang. Bayu memenuhi undangan Komunitas BhinneKayon yang beranggotakan orang-orang Indonesia yang tinggal di Jerman. Pentas wayang itu sebagai bagian dari acara seni budaya. “Bayu salah satu seniman Indonesia yang sangat produktif berkarya,” kata salah satu pendiri BhinneKayon, Karin Bayu.
Bayu bersama keluarga dan kawan-kawannya merayakan 20 tahun perjalanan Wayang Rajakaya pada akhir Januari lalu di studionya di Berlin. Perayaan itu melibatkan seniman yang pernah bergabung dalam berbagai proyek kolaborasi Wayang Rajakaya. Kini Bayu terus mempopulerkan wayang di kawasan Eropa sebagai tontonan yang kreatif dan asyik dinikmati berbagai kalangan. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo