Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Farid Hamka membuat taman bacaan luar ruang di Taman Situ Lembang, Menteng, Jakarta.
Terinspirasi oleh kegiatan berbagi buku di sejumlah kota di dunia.
Donasi buku pun terus berdatangan.
Kisah Farid Hamka membuat “perpustakaan mini” di Taman Situ Lembang, Menteng, Jakarta Pusat, ibarat cerita seseorang yang sedang kasmaran. Dimulai dari rasa penasaran, berlanjut ke rasa suka, dan berujung pada keinginan mempersembahkan sesuatu kepada yang dicinta. Sosok yang menyita perhatian Farid akhir-akhir ini tak lain adalah sang Ibu Kota, tanah kelahirannya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Belakangan ini aku memang lagi cinta banget sama Jakarta,” kata pria berusia 26 tahun itu kepada Tempo, Selasa lalu. Padahal awalnya pria yang menghabiskan masa kecil hingga dewasanya di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, itu mengaku sangat membenci Jakarta. “Dulu, buatku, Jakarta itu kota penuh mal yang membosankan, identik dengan kriminalitas, kemacetan, dan hal-hal jelek lainnya.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rasa benci itu menguat ketika ia hijrah ke London, Inggris, untuk berkuliah sekitar satu dekade lalu. Aneka kenyamanan hidup di kota modern yang tertata rapi ia temukan di sana. Kehidupannya pun berubah drastis. Sementara semasa di Jakarta Farid selalu memakai mobil pribadi untuk bepergian, di London ia selalu berjalan kaki dan menggunakan kendaraan umum. “Selama tinggal di sana, aku enggak pernah naik taksi atau mobil.”
Rutinitas seperti menghabiskan akhir pekan di mal atau kafe saat di Jakarta berganti dengan menjelajahi pasar-pasar rakyat warga London yang ramai oleh aneka dagangan dan pertunjukan seni. Hal lain yang digemari Farid selama bermukim di The Big Smoke adalah mendatangi taman-taman yang bertebaran di sekujur kota. “Selama di London, aku sering menghabiskan waktu luang di ruang publik untuk sekadar bersantai dan membaca buku.”
Sekembalinya ke Jakarta pada 2016, Farid pun mengalami gegar budaya. Kesumpekan Ibu Kota membuat ia kehilangan minat menjalani hobi ala “Londoner”-nya. Ditambah lagi, waktu itu ia sibuk bekerja di sebuah perusahaan konsultan manajemen. Kehidupan lamanya pun kembali: terkungkung di dalam ruangan ber-AC, ke mana-mana memakai mobil, dan tak tertarik mendatangi ruang-ruang terbuka di Jakarta.
Kejenuhan bekerja dan suasana kota tempat tinggal yang tak nyaman sempat membuat Farid ingin kembali hijrah. Rencananya, pada awal 2020, sarjana ekonomi dan pemerintahan dari London School of Economics and Political Science itu hendak mengambil studi master bidang penulisan kreatif di San Francisco, Amerika Serikat. Rencananya batal gara-gara ada pandemi.
Inisiator Book Hive Jakarta, Farid Hamka. Dok. Pribadi
Tapi pagebluk pulalah yang membuat Farid mulai berkenalan dengan sisi lain Jakarta. Beberapa bulan pandemi berjalan, Oktober 2020, ia mulai bosan berdiam di rumah. Ia merindukan aktivitasnya semasa di London. “Maka, saat itu, aku mulai coba jalan-jalan ke taman-taman di Jakarta,” ujarnya. Taman pertama yang dikunjungi adalah Taman Situ Lembang yang dekat dengan kediamannya saat ini.
Karena sering nongkrong di taman itu, Farid pun berkenalan dengan para petugas kebersihan dan perawat tanaman di sana. “Ngobrol sama mereka tuh seru banget. Aku jadi dapat pandangan lain soal Jakarta.” Farid pun mulai gencar memperluas area jelajahnya. Suatu kali, ia berjalan kaki tanpa arah dari Menteng hingga “nyasar” ke kawasan Kwitang, Jakarta Pusat, yang belum pernah ia datangi. “Ternyata, di Kwitang, ada juga pasar rakyat yang isinya seru kayak waktu di London.”
Sambil berjalan kaki mengitari Jakarta, membaca buku, atau menggambar di taman, ia menyaksikan berbagai perkembangan, seperti revitalisasi kawasan Cikini, Dukuh Atas, dan Sudirman. Farid tak sungkan menjajal transportasi umum. Ia pun menemukan banyak spot menarik yang tak pernah ia tahu, seperti permakaman Belanda di daerah Menteng Pulo. Dia juga menjadi lebih memperhatikan hal-hal detail, seperti jenis-jenis tumbuhan yang ada di taman-taman di Jakarta.
Dengan lancar dia menyebutkan beberapa jenis pohon favorit di sejumlah titik di Jakarta. “Paling aku suka pohon-pohon eucalyptus di daerah Jalan H O.S. Tjokroaminoto.” Hobi barunya itu awalnya ia lakukan seorang diri. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan sejumlah komunitas pegiat taman di Jakarta, seperti Komunitas Ayo ke Taman dan Teman Piknik. Jaringan pertemanannya pun bertambah luas. Ia juga sempat diundang mengisi program siniar akun Instagram Teman Taman Jakarta yang dikelola Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta.
Keseruan baru yang dijalani Farid itu membuka matanya bahwa Jakarta, yang selama ini ia nilai buruk, rupanya sedang berbenah agar menjadi kota yang lebih nyaman. Ia menjadi terkenang pengalamannya tinggal di London. “Dari situ tebersit pikiran, kenapa enggak menghadirkan hal-hal yang aku suka di sana ke Jakarta.” Mimpi Farid adalah Jakarta punya ruang terbuka hijau sebanyak London. Tapi hal itu jelas sulit dilakukan seorang diri. Farid memilih berkontribusi untuk Jakarta dalam bentuk kecil lebih dulu.
Ia terinspirasi oleh gerakan berbagi buku (book sharing) yang populer di Jerman, London, dan kota besar lain di dunia. “Sejak beberapa tahun lalu, boks telepon London warna merah yang ikonik itu kan sudah tidak terpakai. Oleh sejumlah komunitas, boks itu disulap menjadi perpustakaan mini.” Farid lalu meriset, di Indonesia, gerakan sejenis juga banyak, seperti program “Kolecer” di Bandung yang diinisiasi pemerintah kota. “Aku juga nemu beberapa di Bekasi, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Di Jakarta, inisiatif ini juga dilakukan MRT Jakarta,” tuturnya.
Konsep book sharing, kata Farid, adalah memberikan buku yang dirasa akan bermanfaat dan bermakna bagi orang lain secara gratis di ruang publik. Nah, konsep itu ia terjemahkan dengan menyediakan sebuah rak buku yang bisa diakses siapa saja di taman kota. Farid memilih Taman Situ Lembang karena dekat dengan rumahnya.
Buku di perpustakaan bersama Bookhive Jakarta di Taman Situ Lembang, Jakarta, 26 April 2021. TEMPO/Muhammad Hidayat
Tak mau asal menyimpan rak buku, Farid menghubungi studio desain dan arsitektur Accosa Lab. Ia minta dibuatkan rak buku untuk disimpan di luar ruangan yang tahan cuaca dan mampu menampung ratusan buku. Biaya membuat desain dan memproduksi raknya berasal dari saku pribadi Farid. “Harganya lumayan mahal karena memang didesain agar awet dan kuat.”
Rak tempat berbagi buku untuk umum yang ia beri nama Book Hive Jakarta itu berbentuk trapesium berbahan kayu dan besi, setinggi orang dewasa. Meski rak itu disimpan di luar ruang, buku-buku di dalamnya terlindungi karena terdapat pintu dengan jendela bulat di bagian depannya. Di rak ini, siapa pun boleh meminjam, bahkan mengambil, buku yang disuka. “Tentu saya berharap orang tak hanya mengambil buku, tapi juga mendonasikan bukunya ke Book Hive agar jenis bacaannya menjadi lebih banyak.”
Supaya rak buku ini tak digusur Satpol PP, Farid berkonsultasi dengan camat setempat sebelum memasang Book Hive di dekat Taman Situ Lembang. “Ide ini mendapat dukungan pihak Kecamatan Menteng.” Bahkan peresmiannya, yang bertepatan dengan Hari Buku Sedunia pada 23 April lalu, mengundang Wali Kota Jakarta Pusat Dhany Sukma. “Walau ini inisiatif pribadi, aku bersyukur didukung oleh pemerintah.”
Meski Book Hive baru sepekan diresmikan, antusiasme warga menyambutnya sangat tinggi. Selain banyak pengunjung taman yang meminjam buku untuk dibaca, para pegiat dan warga sekitar berbondong-bondong mendonasikan buku. “Sekarang 70 persen kapasitas sudah terisi. Isinya ada lebih dari seratus buku. Sekitar 95 persennya merupakan buku sumbangan orang lain.” Koleksi Book Hive pun beragam, dari novel, puisi, buku anak-anak, biografi, hingga buku pelajaran. “Ada juga yang menyumbang buku panduan menikah. Ha-ha-ha.”
Sejumlah orang juga sempat mengajak Farid memperluas inisiatifnya ini dengan membuat rak serupa dan ditempatkan di taman-taman lain. “Tapi baru sebatas wacana, belum ada komitmen resmi.” Di Instagram Book Hive Jakarta, para pengikutnya pun menyarankan agar rak serupa ditempatkan di area Gelora Bung Karno, Taman Lapangan Banteng, dan daerah Kota Tua.
Farid bercita-cita inisiatif kecilnya ini bisa bergulir menjadi gerakan besar yang bisa membantu meningkatkan minat baca warga Jakarta. Ia juga punya misi menghidupkan ruang publik dan taman-taman kota dengan aktivitas yang bisa dinikmati warga. Walau cita-cita itu dirasa masih mengawang-awang, saat ini ia mengaku sudah cukup puas. Sebab, keinginannya untuk berkontribusi kepada kota yang ia cintai itu sudah terlaksana, walau lewat cara sederhana.
PRAGA UTAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo