SETIAP sore ia memarkir becaknya di depan tempat latihan gulat
di kotanya, Madiun. Lalu ia masuk ke dalamnya, dan mengikuti
latihan. Itulah yang dilakukan Teguh Arivianto, 27 tahun. Ia
bukan tukang becak yang iseng. Tahun 1974 Teguh adalah juara
ke-2 gulat nasional. Nasib kemudian menyederhanakannya.
Lahir di tengah keluarga miskin yang ditinggal mati bapak, Teguh
jadi harapan keluarga. Tapi dengan hanya ijasah SD, ia tak mampu
mencari pekerjaan enak. Dan ketika 3 tahun lewat ia menikah
dengan Lulu, angan-angan diringkaskannya: ia sewa sebuah becak,
Rp 300 sehari, dan mengayuhnya.
Teguh bisa membawa pulang uang Rp 600 sehari. Tapi Lulu, sesudah
beranak satu, toh minta cerai -- setahun lalu. Sementara itu
prestasinya sebagai pegulat terus merosot. Tahun 1979 hanya
berhasil jadi juara ke-3 se-Ja-Tim untuk kelas junior 64 kg.
Tahun berikutnya sama sekali tak dapat nomor. "Tapi saya
bertekad untuk bisa ikut PON," ujarnya.
Menurut Teguh, kemerosotannya bukan lantaran ia menarik becak.
"Dengan menarik becak otot 'kan justru makin kuat. Dan napas
bisa lebih panjang," katanya, membantah pernyataan seorang
pembina gulat setempat. Toh ia tetap kecewa. Karena itu kini ia
mau coba-coba jadi petinju prof. Ia memasuki klub tinju. Umurnya
mungkin akan banyak menghambat. Tapi, siapa tahu dorongan
istrinya yang baru lebih besar dan lebih memberi keberuntungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini