SUDAH banyak produser film ingin menyorotkan tubuh sintal Yani Sapto hudoyo, 30, ke layar perak. Tapi, yang empunya tubuh selalu menolak. Alasannya, kegiatan film banyak menyita waktu, sementara ia hampir tiap hari harus menunggui butiknya yang terletak di pojok ruangan tunggu lapangan terbang Adisutjipto, Yogyakarta. "Lagi pula," kata Yani, "Mas Sapto tak mengizinkan." Tapi untuk film Sembilan Wali, Yani tak berdaya menolaknya. Suaminya juga tidak melarangnya. Mengapa? "Soalnya, Djun Saptohadi, sutradara film itu, anak didik Mas Sapto. Jadi, saya ini ibu gurunya Djun. Nah, 'kan rikuh saya menolaknya," ujar Yani. Ia menolak menyebutkan kapan dan apa yang dipelajari Djun dari Sapto. Dalam Sembilan Wali, Yani mendapat peran Nyai Pandanaran. Bagaimana cara Yani membagi waktunya? "Saya pesan kepada Djun, shooting-nya jangan lama-lama. Djun pun maklum, karena yang kasih perintah ibu gurunya," kata Yani. Tak cuma itu perintah sang "ibu guru". Ia juga mengatur waktu pengambilan gambar: dari pukul 19.00 sampai pukul empat dinihari. Yang susah bagi Yani adalah ketika memerankan Nyai Pandanaran cemberut kepada suaminya. "Sudah lama tak pernah saya cemberut," kata Yani. "Dan Mas Sapto sendiri tiap hari mengingatkan, hidup ini nggak usah pakai cemberut. Eh, di film kok diminta cemberut ...."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini