TOKOH Masyumi, pimpinan Muhammadiyah, ahli hukum, dan mahaguru
Prof. Dr. Mr. Kasman Singodimedjo meninggal dunia Senin malam
pekan lalu dalam usia 78 tahun setelah 9 bulan dirawat di Rumah
Sakit Islam Jakarta karena tumor pada kelenjar prostat.
Dalam kata sambutannya di pemakaman Tanah Kusir, bekas Menteri
Agama KH Saifuddin Zuhri menyebut almarhum sebagai ar-rijal
(laki-laki sejati). Sepanjang hayatnya, Kasman yang meninggalkan
seorang istri, lima anak dan 13 cucu ini, dikenal suka bekerja
keras dengan pendirian yang keras pula.
Beberapa tahun lalu, dalam keadaan sakit, ia mengajar di
Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran dan Institut llmu Al Quran
meskipun dokter menasihatkannya beristirahat. "Sakit itu dari
Tuhan dan mengajar amanat Tuhan," katanya.
Menjelang saat coma, politikus tua itu bersikeras melakukan
sembahyang wajib dan tahajud, sembahyang sunah tengah malam.
"Almarhum tak pernah mengeluh. Ia berpulang setelah sembahyang
Isya, persis ketika saya selesai membaca Surat Yasin dan
menuntunnya membaca Lailaha illallah," tutur Siti Salarmah,
istrinya.
Lahir di desa kecil di Kabupaten Purworejo (Ja-Teng), anak carik
desa itu membiayai sekolahnya dengan bekerja sebagai pembantu
rumah tangga. Misalnya ketika masuk sekolah menengah di
Magelang, "saya memikul air untuk mengisi bak mandi untuk masak
dan sebagainya," tulis Kasman dalam biografinya Hidup Itu
Berjuang.
Di zaman Jepang, ia masuk Peta (Pembela Tanah Air) dan menjadi
daidanco (komandan batalyon) wilayah Jakarta. Ia sempat melatih
kemiliteran beberapa pemimpin seperti Bung Karno dan Bung Hatta.
Menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan, ia kemudian
diangkat jadi Ketua Komite Nasional, badan legislatif ketika
itu. Ia juga merintis pembentukan Badan Keamanan Rakyat,
cikalbakal TNI-ABRI. Kasman juga tercatat sebagai Jaksa Agung
RI yang pertama.
Kasman rupanya ingin meninggalkan pesan khusus lewat teman
seperjuangannya. Suatu hari, ketika dijenguk oleh Muh. Natsir,
dipegangnya erat-erat badan ketua Dewan Da'wah Islamiyah itu.
Dengan tubuh yang tak lagi bisa bergerak, Kasman berkata dengan
gemetar "Sir, tcruskan perjuangn. Teruskan kan perjuangan."
Kasman Singodimedjo benar-benar merupakan "singa" bagi PKI.
Dengan berbagai fitnah, ia berhasil dijebloskan ke penjara pada
1958. Dua tahun kemudian perkaranya baru disidangkan di pendopo
Karesidcnan Magelang, tempat Pangeran Diponegoro ditangkap
Belanda 130 tahun berselang. Di sana Kasman membacakan
pleidoinya dua hari berturut-turut tapi pengadilan memutuskan
penjara tiga tahun.
Dalam tahanan kedua kalinya pada 1963 di Puncak, Kasman
menyadari hari-hari terakhirnya sudah dekat. "Aku telah tua.
Menurut pikirku ada baiknya merasa lebih dekat dengan ajal dan
tidak serakah mengangkangi milik keduniaan seolah-olah akan
hidup abadi," begitu antara lain ia menulis di buku hariannya
yang kemudian terbit dengan judul Renungan dari Tahanan.
Dalam renungan itu ia menuliskan amanatnya: "Bacalah tulisanku
ini baik'baik dan kerjakanlah". Di situ diungkapkannya sikap
politiknya, terutama tafsirnya yang mendalam mengenai kelima
sila Pancasila dari sudut ajaran Islam. Sebagai penutup ia
menulis: "Oleh sebab itu kita setuju dengan usaha dan ajakan
Presiden Soeharto untuk memurnikan Pancasila, mengadakan tafsir
yang autentik dari Pancasila itu scndiri supaya tidak ada
kesimpangsiuran".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini