SEKITAR 50.400 personil militer AS di Jepang kini tersebar di
beberapa pangkalan antara lain Okinawa dan Yokosuka. Pekan silam
Washington menuntut agar jumlah perumahan mereka dalam tempo 5
tahun bisa menjadi 10.000 unit. Maka Jepang, menurut Asahi
Shimbun, harus melipatduakan iurannya. Kalaupun ini benar, tak
akan seberapa ongkosnya bagi Jepang.
Tapi AS tetap mendesak agar Jepang meningkatkan anggaran
pertahanannya. Teruuma setelah Uni Soviet menyerbu Afghanistan.
(Desember 1979), Jepang diminta supaya turut memikul tanggung
jawab sekuriti di kawasan Pasifik.
Masalah peningkatan daya pertahanan masih menimbulkan debat seru
di kalangan pemimpin dan politisi Jepang. Usul kenaikan anggaran
militer, yang selama bertahun-tahun ditekan di bawah 1% dari GNP
(libat tabel), masih diperjuangkan terus dengan susah payah.
Sementara konstitusi Jepang khususnya pasal 9 melarang Jepang
membangun Angkatan Bersenjata, dan sekaligus menladakan hak
negeri itu untuk berperang. Di lain pihak AS, yang satu generasi
sebelumnya sangat berperan dalam menggariskan pasal 9 UUD
tersebut, kini tidak rela membiarkan Jepang melulu berlindung di
bawah payung pertahanan Amerika .
Pernah (Oktober 1981), Senator Jesse Helms mengusulkan
peninjauan kembali atas Perjanjian Keamanan AS-Jepang, dengan
maksud agar beban pertahanan AS bisa diringankan. Dua anggota
Kongres AS, yakni Stephen Neal dan Clement Zablocki, mengusulkan
peningkatan anggaran pertahanan Jepang antara 1-2% GNP. Dan
Presiden Ronald Reagan telah menyerukan hal yang sama.
Memang dari semua sekutu AS, Jepang dalam kalangan militer
paling mengecewakan. AS menyisihkan 6% GNP untuk pertahanan,
negara-negara NATO 3-5% GNP. Jepang baru sejak April 1981
menyetujui penambahan anggaran sebanyak US$ 11,7 milyar, lebih
tinggi 7,6% dari tahun sebelumnya, tapi masih di bawah 1% GNP.
Washington berpendapat bahwa tambahan itu harus minimal 9,7%.
Sejak 1972 perimbangan kekuatan di Pasifik saja memang sudah
mengalami perubahan besar. Kekuatan pasukan AS di Jepang merosot
sampai lebih kurang 50.000, di Kor-Sel hanya 39.000, di Taiwan
dan Thailand ditarik habis sama sekali Sementara itu armada AS
di Pasifik ditarik ke Samudra Hindia, sejak krisis kawasan Teluk
yang berkepanjangan sampai skarang. Uni Soviet sebaliknya
memperkuat armadanya di Pasitik, sebagian menghadapi RRC,
sebagian lagi mengintai pulau-pulau di utara Jepang.
Dalam kunjungannya April silam ke Tokyo, Menhan AS Caspar
Weinberger mengulang-tegaskan betapa perlunya Jepang
mempertahankan jalur kapal laut 1.000 mil. PM Suzuki waktu itu
secara diplomatis menyatakan bahwa Jepang mampu mempertahankan
jalur kapal laut itu dalam batas-batas yang dimungkinkan
UUD-nya.
Konsep jalur kapal laut (sea-lane) ini memang juga bertujuan
mengamankan perjalanan kapal Jepang. Tugas pertahanan laut
dengan sendirinya akan terbagi antara AS dan Jepang.
Sebaliknya seorang pejabat dari Badan Pertahanan Jepang, atas
pertanyaan Seiichi Okawa dari TEMPO, menyatakan bahwa 1.000 mil
jalur kapal tersebut hanya perlu dipertahankan pada masa-masa
darurat saja. Terutama di jalur Baratdaya yang membentang dari
Osaka ke sebelah timur Taiwan, dan jalur Tenggara yang
membentang dari Teluk Tokyo ke Pulau Guam.
Menurut pejabat itu, dewasa ini ada 135 kapal selam Soviet di
perairan Pasifik, 65 diantaranya bertenaga atom. Tak dapat tidak
Jepang seharusnya merasa terancam.
Buku putih yang dikeluarkan Badan Pertahanan Jepang juga
menyatakan potensi angkatan laut, darat dan udara Soviet di
Pasifik merupakan "ancaman teramat potensial terhadap keamanan
Jepang." Dan ini dikaitkan dengan beberapa kelemahan serius
dalam tubuh pasukan Bela Diri Jepang seperti kekurangan kronis
pada pertahanan pangkalan udara yang layak, radar antipesawat
udara, persenjataan antikapal selam, serta perlengkapan senjata
modern lainnya.
Pasukan Bela Diri, yang lebih sering dimanfaatkan untuk
mengatasi bencana alam itu, kini punya berbagai persenjataan dan
tank yang sudah ketinggalan zaman. Secara tak langsung. Kini
Buku Putih ini menyarankan perlunya persenjataan modern untuk
menjamin keamanan/pertahanan nasional, sekaligus memenuhi
kewajiban Jepang pada sekutunya.
Sementara itu sebual hasil penelitian dari Deplu Jepang bukan
saja membenarkan pentingnya kekuatan militer dalam hubungan
internasional tapi juga perlunya negeri itu mengimbangi kegiatan
diplomasi dengan kekuatan pertahanan. Di sini secara tak
langsung diakui Jepang tidak mungkin memperoleh semua lewat
persahabatan semata-mata.
Untuk militerisasi Jepang, seorang ahli ekonomi Jepang terkenal
Michio Morishima dalam wawancara majalah South, Oktober,
mengemukakan bahwa UUD harus diubah, tapi perubahan itu
diduganya tidak akan mendapat rintangan. Sesudah militerisasi
berjalan lancar dalam 5 tahun, diduganya Jepang akan sukses
mengekspor senjata.
Dan sesudah itu? "Banyak hal lain terjadi." Misalnya?
"Perang-perang kecil akan pecah dengan Korea misalnya, atau Uni
Soviet dalam tempo lebih kurang 10 tahun." Kedengarannya
Morishima pesimistis sekali. Tapi ia menandaskan pula "Jepang di
bidang ekonomi sukses, dalam hal keturunan (ras) superior, dan
sekarang siap-siap memasuki tahap militerisasi. Langkah
selanjutnya, jelas." Tapi latgkah itu apa, tidak disebutnya.
Di Jakarta pekan silam, dalam sebuah acara yang juga dihadiri
oleh beberapa ekonom terkemuka, seorang di antaranya
mengutarakan pendapat yang mirip Morishima. "Jika beberapa waktu
yang lalu Jepang bersikap marketoriented, maka di masa yad.
negeri itu akan natural resources-oriented." Sama seperti
Morishima, ekonom itu tidak menjelaskan lebih terperinci apa
maksudnya. Memang, ramalan mereka bisa dianggap terlalu gamblang
hingga tak perlu lagi diuraikan atau terlalu mengejutkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini