NAEM Sarom, 21 tahun, semula seorang petani Khmer. Ketika orang
di desanya menghindari rezim Polpot, dia turut mengungsi. Kini
dia sudah 3 tahun tinggal di kamp Khao I Dang, provinsi
Pranchinburi, 7 km dari perbatasan Kampuchea-Muangthai.
Tahun lalu dia berhasil menyunting seorang gadis senegaranya.
Karena bosan hidup dengan aturan dan ransum kamp, Naem Sarom
melarikan diri ke perbatasan. Di situ, tempat sekitar 200.000
tentara Khmer Merah, orang lebih mudah mencari uang lewat pasar
gelap yang sebetulnya dilarang. Kemudian dia kembali ke kamp
secara sukarela, setelah uang dirasanya cukup di kantung. Tetapi
istrinya sudah pindah ke kamp Kamphut. Si Nyonya muda, jangankan
rindu, bahkan minta cerai. Setelah peristiwa itu, beberapa kali
Naem Sarom mencoba bunuh diri. "Banyak yang sakit jiwa di sini,"
ujar pekerja dari Khao I Dang.
Menurut catatan UNHCR, badan PBB, sampai akhir September lalu,
jumlah pengungsi Indocina di Muangthai 168.000 orang. Mereka
datang dari Laos, Kampuchea dan Vietnam.
Daya-tarik eksodus ke Muangthai bukan saja karena jaraknya yang
dekat. Tanahnya pun subur. Beras melimpah pula, dan harga
makanan relatif murah. Tetapi semakin lama semakin sedikit
negeri ketiga (AS, Kanada, Prancis, Australia, dll.) bersedia
menampung mereka. Maka pemerintah Muangthai kini kewalahan.
Untuk menjaga keamanan wilayah perbatasan Kampuchea-Muangthai,
Divisi AD Wilayah Dua selalu dalam keadaan siaga satu bahkan
sudah tahunan. Sekitar 200.000 orang gerilya Khmer Merah
(pemerintah Muangthai mencatat 300.000 orang) beroperasi di
seputar situ.
Dewan Keamanan Nasional, yang dipimpin oleh Prasong Soonsiri,
mengawasi masalah pengungsi secara keseluruhan. Khusus pengungsi
yang salah wilayah (displaced people) seperti suku-suku bangsa
dari Laos dan Birma, berada dalam pengawasan Kementerian Dalam
Negeri Muangthai. Pengungsi politik seperti mereka yang dari
Kampuchea atau Vietnam berada di bawah pengawasan AD Muangthai
yang bekerjasama dengan pihak UNHCR.
Agar masalah pengungsi ini cepat rampung, pemerintah Muangthai
berniat menutup semua kamp, kecuali 3 kamp saja untuk bangsa
masing-masing dan 1 kamp pemrosesan. "Saya ragu ini akan
berhasil," ujar seorang pejabat UNHCR. Rencana pencegahan lain
dari pihak Muangthai ialah mereka yang datang setelah Januari
1981, tapi belum juga dipergikan ke negeri ketiga, akan dianggap
sebagai "migran tak legal". Secar resml Muangthai memang tidak
pernah mengakui adanva "pengunsi".
Negeri ketiga tampaknya sudah membelot dalam hal pengungsi ini.
"Kami tidak membuat macam-macam peraturan ketika menampung
pengungsi," demikian Soonsiri di depan para duta besar
negara-negara ketiga awal Oktober. "Mengapa kini anda
mempersulit masalah imigrasi, dan macam-macam? " Muangthai
menganggap bahwa negara ketiga terlalu pilih-pilih. Cuma yang
berpendidikan dan berduit yang bisa ditampung. Karena itu,
demikian tulis sangkok lost, "tak perlu kasak-kusuk
berdiplomasi lagi. Dunia sudah tidak mempedulikan masalah ini
lagi."
Sebagai perbandingan, tahun 1981 UNHCR berhasil memboyong
102.000 pengungsi di Muangthai, sedang tahun ini diperkirakan
40.000 orang saja. Kalau tahun lalu AS sanggup menampung sekitar
100.000 pengungsi, untuk tahun fiskal 82-83, jatah Amerika untuk
menerima pengungsi Indocina cuma 64.000 orang. Itu pun tampaknya
tak bisa segera terpenuhi, karena pihak INS (Jawatan
Naturalisasi dan Imigrasi) di AS semakin ketat dalam seleksi dan
interviu. Walaupun tadinya sudah berada di kamp pemrosesan,
mereka belum pasti akan berangkat karena macam-macam alasan.
Prustrasi pun timbul, entah karena belum lancar berbahasa
Inggris, atau tiada sponsor di negeri ketiga.
Marshall Green, Ketua Kelompok Khusus Penasihat Masalah
Pengungsi AS, berusaha mencari data obyektifnya Agustus tahun
lalu, tapi tidak berhasil banyak. Tampaknya fraksi Deplu AS
dengan Kementerian Kehakiman mengenai masalah ini belum juga
usai. Dan karena hal yang berlarut-larut ini, Prasong Soonsiri
pergi ke Jenewa, ke markas UNHCR. Hasilnya, menurut berita pekan
lalu, baik dan buruk. Baiknya, Muangthai akan menerima bantuan
US$ 32 juta di tahun mendatang, di samping badan PBB ini juga
menyanggupi akan memberi makan sekitar 300.000 orang Khmer yang
ada di perbatasan. Secara keseluruhan pemerintah Muangthai
diperkirakan telah menerima bantuan US$ 230 juta.
HASIL yang buruk dari oleh-oleh Soonsiri ialah dia tidak
berhasil mendapat kepastian dari negara-negara Barat yang
tadinya berjanji akan menyelesaikan masalah ini secara bersama.
Karena itu, Perdana Menteri Prem Tinsulanonda telah berseru
kepada anggota PBB lainnya agar membantu Muangthai dalam
mengatasi hal ini. Kalau hal ini berlarut-larut, katanya,
"mereka jadi orang Palestina Asia, yang mencari tempat menetap
di tanah kami."
Kebetulan, Jaksa Agung. AS William French Smith berkunjung ke
Bangkok (dan Hongkong) dalam masalah narkotik yang cukup
menggawat di AS. Dia berjanji pula untuk memperhatikan masalah
pengungsi. "Tahun depan," demikian Smith, "kami akan menampung
mereka lebih banyak." Keadaan di kamp kini sudah tidak memberi
harapan bagi banyak pengungsi. Tapi mau ke mana?
Sementara itu, Muangthai mulai merintis repatriasi sukarela.
Kecuali orang Vietnam, sebagian orang Khmer dan Laos kabarnya
bersedia mudik kembali ke kampung mereka. "Muangthai hendaknya
bersabar sedikit, untuk merampungkan masalah ini," ujar seorang
pejabat UNHCR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini