WANITA kampung itu, anak seorang pimpinan Muhammadiyah daerah
yang kemudian jadi ibu negara, dan menjahit bendera pusaka RI
sambil mengandung 9 bulan, sekarang sudah tiada. Fatmawati
Sukarno berpulang ke rahmatullah hari Rabu 14 Mei kemarin di
General Hospital Kuala Lumpur, ketika singgah dalam perjalanan
pulang dari ibadah umrah.
Ia salah seorang figur wanita dalam sejarah kita. Puluhan ribu
orang mengantarkannya ke pemakamannya di pekuburan umum Karet,
Jakarta, Kamis siang itu. Ia memang menolak dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Kalibata seperti juga suaminya almarhum, Bung
Karno, maupun Proklamator RI yang lain, Bung Hatta.
Penyebab kematiannya sendiri penyakit jantung. Ia meninggal jam
7.30 WIB di rumah sakit itu, dan jenazahnya diterbangkan ke
Jakarta hari itu juga. Di Kemayoran, jam 20.00, seluruh keluarga
dan kerabat menyambutnya. Juga tampak Menteri Pertambangan
Subroto -- yang sempat bertemu almarhumah di Madinah waktu
menghadirl sidang OPEC kemarin -- di samping Menko Kesra Surono
dan Ali Sadikin. Bahkan Ny. Hartini Sukarno (yang bertemu
dengan almarhumah terakhir pada pelayatan Bung Hatta, datang
menyambut bersama kedua putranya, Taufan dan Bayu, dan turut
mengiringkannya ke rumah.
Di rumah Ibu Fat ini juga - yang seperti diakuinya dibangunnya
sedikit demi sedikit dengan usaha sendiri - datang Ratna Djuami
alias Ny. Asmara Hadi yang pernah jadi teman kecil Fatma,
sekalian mewakili ibu angkatnya di Bandung, Inggit Garnasih (94
tahun), istri Bung Karno sebelum Fatma. "Utang-piutang"
Fatmawati dan Inggit sendiri sudah lunas. Beberapa bulan lalu,
diantar Ali Sadikin & Nyonya, Fatmawati mengunjungi Inggit
yang sakit-sakitan di Bandung setelah berpisah 37 tahun.
Pada penglepasan jenazah dari Kebayoran, bekas menteri Achmadi
kebagian pidato mewakili keluarga. Dan sementara shalat jenazah
dipimpin KH Saifuddin Zuhri, menteri agama terakhir di mana
Bung Karno, di pemakaman Ali Sadikin berdiri menyampaikan
pidato, juga mewakili keluarga. Wakil Presiden dalam pada itu
berbicara mewakili pemerintah.
Tak ada yang tidak terharu Bahkan Yurike Sanger bekas istri BK
yang lain, di hari Rabu siang tampak di sebuah pengadilan
memakai pakaian hitam tanda berkabung. Wanita kampung ini.
Patma, yang dahulu dikenal selalu berkerudung, dan pintar
mengaji, dan waktu kecil pernah berjualan pecal di depan rumah
dan kacang bawang di keramaian sirkus, di Bengkulu, ditakdirkan
terlibat demikian jauh dalam pasang naik perjuangan Kemerdekaan
-- dan kemudian terlempar dari kehidupan resmi kenegaraan. Namun
Fatma yang berwatak-dasar periang ini diketahui umum sebagai ibu
yang tabah.
Sebagai kepala rumah tangga yang mengasuh anak-anaknya (termasuk
putranya terkecil, Guruh, yang lahir hanya dua hari sebelum ia
berpisah dari suaminya, Bung Karno), Fatma melakukan berbagai
usaha bersama putranya yang sulung, Guntur. Terakhir bahkan ia
dikurniai kepandaian menyembuhkan antara lain dengan memijat.
Dan di antara pasiennya terdapat misalnya bekas Dubes Jerman
Barat Gunther Shodel. "Saya rasa, saat-saat terakhirnya cukup
bahagia. Maksud saya, dia sudah menemukan dirinya sendiri,"
kata Ny. Maria Ulfah Subadio.
Ia dilahirkan di Kota Bengkulu. Ayahnya, Hassan Din, adalah
klerk perusahaan Belanda Borsumij yang bergaji bagus, yang oleh
majikannya diancam pecat bila tidak mau menghentikan
kegiatannya dalam pergerakan Muhammadiyah. Dan ia memilih
pecat. Sejak itulah Fatmawati jadi anak tunggal pedagang kecil
yang kemudian harus berpindah-pindah rumah dan berpindah-pindah
kota.
"Tak pernah aku mengalami mempunyai tempat makan, kamar tamu,
kantor, teras, kamar rekreasi dari masa kanak-kanak hingga
remaja . . . " katanya dalam memoarnya (1978) yang diedit Sitor
Situmorang dan Guntur Sukarnoputra. Mereka bahkan pernah
menumpang di emper terbuka belakang sebuah rumah kenalan, yang
tentu saja kena tempias bila hujan datang.
Pertemuannya dengan Bung Karno disebabkan minat ayahnya
(terakhir konsul Muhammadiyah untuk Bengkulu) pada pergerakan.
Dari Curup, sang ayah mengajak balik ke Bengkulu sematamata
untuk dekat dengan 'pemimpin bangsa kita ' yang sedang dibuang
Belanda. Fatma sendiri akhirnya ditawari tinggal di rumah
keluarga Sukarno sebagai teman Ratna Djuami, anak angkat
Sukarno-lnggit, dan diusahakan masuk Roomskatholiek Vakschool --
setelah selama ini berhenti dari HIS Muhammadiyah -- dengan
bayaran separuh.
Waktu seorang anak wedana meminang Fatma (lewat H. Abdul Karim
Oey bekas Ketua Persatuan Tionghoa Islam Indonesia, waktu itu
juga teman BK dan tokoh Muhammadiyah di sana), Fatma disuruh
ayah-ibunya minta pertimbangan Pak Karno. Dan Sukarno, yang
setelah kawin dengan Sundari (binti H.O.S. Cokroaminoto)
kemudian berumah tangga dngan Inggit 18 tahun (tanpa anak),
malah menjawab dengan sebuah pinangan untuk dirinya sendiri.
Setelah akhirnya pinangan Sukarno itu ditolak, Sukarno
menjanjikan waktu enam bulan untuk "menyelesaikan urusan" dengan
Inggit -- yang akhirnya tertumla ampal anpat tahun, akibat
kedatangan Jepang.
Mereka baru menikah Juli 1942.-- dengan perantaraan wakil
(Sardjono, teman Bung Karno di Bengkulu) berhubung Bung Karno
sendiri sudah di Jawa. Waktu itu usia Fatma 20 tahun dan
suaminya 23 tahun lebih twa. Yang juga terlibat dalam perkawinan
ini terutama KH Mas Mansoer, Hoofdbestuur Muhammadiyah (yang
juga turut mengantarkan Ibu Inggit pulang ke Bandung), dan Mr.
Sartono.
Seperti diakui sendiri, Fatma berbahagia bisa mendampingi
suaminya dalam saat-saat bersejarah dalam pidato. Lahirnya Panca
Sila yang terkenal itu, misalnya, juga di saat persiapan
Kemerdekaan -- waktu mereka dijemput para pemuda ke
Rengasdengklok maupun waktu berapat di rumah Laksamana Maeda.
Dalam foto IPPHOS yang memperlihatkan saat pengibaran bendera
merah putih di hari Proklamasi, selain Sukarno dan Hatta tampak
punggung wanita berkerudung dengan kebaya bergarisgaris. Itulah
Fatma, yang sedang menyaksikan bendera yang dijahitnya sendiri.
Dalam buku memoarnya, ada dimuat foto kertas pengantar gaji
Presiden Soekarno yang 1.150 gulden -- setelah dipotong pinjaman
300 gulden, dan iuran PMI 50 gulden (sedang sisa pinjaman bulan
itu dikatakan masih 1.500 gulden). Di bawah foto itu terbaca
keterangan gambar: "Amplop gaji Presiden RI di sekitar
tahun 1950-an yang sebulan-bulannya aku terima. Sangat
sederhana bukan?"
Dan memang tidak hanya disaat akhir hidupnya wanita yang diberi
gelar 'perintis kemerdekaan' itu (dan menerima dari Pemerintah
Rp 50.000 per bulan, mulai tahun-tahun akhir ini), hidup jauh
dari kemewahan. Di masa pengungsian Pemerintah di Yogya, ia
menjamu para pemimpin . dengan memasak sendiri. Dan ketika
pertama kalinya diajak ke luar negeri -- India -- ia belum punya
perhiasan apa pun, sehingga terpaksa meminjam dari istri
Sekretaris Negara.
Fatmawati. Ia memang mengingatkan kita pada saat-saat pertama
republik ini. Ketika penderitaan bersama tidak mengurangi
semangat dan ketulusan, ketika cita-cita bahkan kebanggaan --
masih jauh dari sifat serakah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini