Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Meninggal dunia

Sekelumit riwayat hidup ibu fatmawati sukarno yang meninggal dunia pada tanggal 14 mei yang lalu di general hospital kuala lumpur dalam perjalanan pulang dari mekah melakukan umroh.

24 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WANITA kampung itu, anak seorang pimpinan Muhammadiyah daerah yang kemudian jadi ibu negara, dan menjahit bendera pusaka RI sambil mengandung 9 bulan, sekarang sudah tiada. Fatmawati Sukarno berpulang ke rahmatullah hari Rabu 14 Mei kemarin di General Hospital Kuala Lumpur, ketika singgah dalam perjalanan pulang dari ibadah umrah. Ia salah seorang figur wanita dalam sejarah kita. Puluhan ribu orang mengantarkannya ke pemakamannya di pekuburan umum Karet, Jakarta, Kamis siang itu. Ia memang menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata seperti juga suaminya almarhum, Bung Karno, maupun Proklamator RI yang lain, Bung Hatta. Penyebab kematiannya sendiri penyakit jantung. Ia meninggal jam 7.30 WIB di rumah sakit itu, dan jenazahnya diterbangkan ke Jakarta hari itu juga. Di Kemayoran, jam 20.00, seluruh keluarga dan kerabat menyambutnya. Juga tampak Menteri Pertambangan Subroto -- yang sempat bertemu almarhumah di Madinah waktu menghadirl sidang OPEC kemarin -- di samping Menko Kesra Surono dan Ali Sadikin. Bahkan Ny. Hartini Sukarno (yang bertemu dengan almarhumah terakhir pada pelayatan Bung Hatta, datang menyambut bersama kedua putranya, Taufan dan Bayu, dan turut mengiringkannya ke rumah. Di rumah Ibu Fat ini juga - yang seperti diakuinya dibangunnya sedikit demi sedikit dengan usaha sendiri - datang Ratna Djuami alias Ny. Asmara Hadi yang pernah jadi teman kecil Fatma, sekalian mewakili ibu angkatnya di Bandung, Inggit Garnasih (94 tahun), istri Bung Karno sebelum Fatma. "Utang-piutang" Fatmawati dan Inggit sendiri sudah lunas. Beberapa bulan lalu, diantar Ali Sadikin & Nyonya, Fatmawati mengunjungi Inggit yang sakit-sakitan di Bandung setelah berpisah 37 tahun. Pada penglepasan jenazah dari Kebayoran, bekas menteri Achmadi kebagian pidato mewakili keluarga. Dan sementara shalat jenazah dipimpin KH Saifuddin Zuhri, menteri agama terakhir di mana Bung Karno, di pemakaman Ali Sadikin berdiri menyampaikan pidato, juga mewakili keluarga. Wakil Presiden dalam pada itu berbicara mewakili pemerintah. Tak ada yang tidak terharu Bahkan Yurike Sanger bekas istri BK yang lain, di hari Rabu siang tampak di sebuah pengadilan memakai pakaian hitam tanda berkabung. Wanita kampung ini. Patma, yang dahulu dikenal selalu berkerudung, dan pintar mengaji, dan waktu kecil pernah berjualan pecal di depan rumah dan kacang bawang di keramaian sirkus, di Bengkulu, ditakdirkan terlibat demikian jauh dalam pasang naik perjuangan Kemerdekaan -- dan kemudian terlempar dari kehidupan resmi kenegaraan. Namun Fatma yang berwatak-dasar periang ini diketahui umum sebagai ibu yang tabah. Sebagai kepala rumah tangga yang mengasuh anak-anaknya (termasuk putranya terkecil, Guruh, yang lahir hanya dua hari sebelum ia berpisah dari suaminya, Bung Karno), Fatma melakukan berbagai usaha bersama putranya yang sulung, Guntur. Terakhir bahkan ia dikurniai kepandaian menyembuhkan antara lain dengan memijat. Dan di antara pasiennya terdapat misalnya bekas Dubes Jerman Barat Gunther Shodel. "Saya rasa, saat-saat terakhirnya cukup bahagia. Maksud saya, dia sudah menemukan dirinya sendiri," kata Ny. Maria Ulfah Subadio. Ia dilahirkan di Kota Bengkulu. Ayahnya, Hassan Din, adalah klerk perusahaan Belanda Borsumij yang bergaji bagus, yang oleh majikannya diancam pecat bila tidak mau menghentikan kegiatannya dalam pergerakan Muhammadiyah. Dan ia memilih pecat. Sejak itulah Fatmawati jadi anak tunggal pedagang kecil yang kemudian harus berpindah-pindah rumah dan berpindah-pindah kota. "Tak pernah aku mengalami mempunyai tempat makan, kamar tamu, kantor, teras, kamar rekreasi dari masa kanak-kanak hingga remaja . . . " katanya dalam memoarnya (1978) yang diedit Sitor Situmorang dan Guntur Sukarnoputra. Mereka bahkan pernah menumpang di emper terbuka belakang sebuah rumah kenalan, yang tentu saja kena tempias bila hujan datang. Pertemuannya dengan Bung Karno disebabkan minat ayahnya (terakhir konsul Muhammadiyah untuk Bengkulu) pada pergerakan. Dari Curup, sang ayah mengajak balik ke Bengkulu sematamata untuk dekat dengan 'pemimpin bangsa kita ' yang sedang dibuang Belanda. Fatma sendiri akhirnya ditawari tinggal di rumah keluarga Sukarno sebagai teman Ratna Djuami, anak angkat Sukarno-lnggit, dan diusahakan masuk Roomskatholiek Vakschool -- setelah selama ini berhenti dari HIS Muhammadiyah -- dengan bayaran separuh. Waktu seorang anak wedana meminang Fatma (lewat H. Abdul Karim Oey bekas Ketua Persatuan Tionghoa Islam Indonesia, waktu itu juga teman BK dan tokoh Muhammadiyah di sana), Fatma disuruh ayah-ibunya minta pertimbangan Pak Karno. Dan Sukarno, yang setelah kawin dengan Sundari (binti H.O.S. Cokroaminoto) kemudian berumah tangga dngan Inggit 18 tahun (tanpa anak), malah menjawab dengan sebuah pinangan untuk dirinya sendiri. Setelah akhirnya pinangan Sukarno itu ditolak, Sukarno menjanjikan waktu enam bulan untuk "menyelesaikan urusan" dengan Inggit -- yang akhirnya tertumla ampal anpat tahun, akibat kedatangan Jepang. Mereka baru menikah Juli 1942.-- dengan perantaraan wakil (Sardjono, teman Bung Karno di Bengkulu) berhubung Bung Karno sendiri sudah di Jawa. Waktu itu usia Fatma 20 tahun dan suaminya 23 tahun lebih twa. Yang juga terlibat dalam perkawinan ini terutama KH Mas Mansoer, Hoofdbestuur Muhammadiyah (yang juga turut mengantarkan Ibu Inggit pulang ke Bandung), dan Mr. Sartono. Seperti diakui sendiri, Fatma berbahagia bisa mendampingi suaminya dalam saat-saat bersejarah dalam pidato. Lahirnya Panca Sila yang terkenal itu, misalnya, juga di saat persiapan Kemerdekaan -- waktu mereka dijemput para pemuda ke Rengasdengklok maupun waktu berapat di rumah Laksamana Maeda. Dalam foto IPPHOS yang memperlihatkan saat pengibaran bendera merah putih di hari Proklamasi, selain Sukarno dan Hatta tampak punggung wanita berkerudung dengan kebaya bergarisgaris. Itulah Fatma, yang sedang menyaksikan bendera yang dijahitnya sendiri. Dalam buku memoarnya, ada dimuat foto kertas pengantar gaji Presiden Soekarno yang 1.150 gulden -- setelah dipotong pinjaman 300 gulden, dan iuran PMI 50 gulden (sedang sisa pinjaman bulan itu dikatakan masih 1.500 gulden). Di bawah foto itu terbaca keterangan gambar: "Amplop gaji Presiden RI di sekitar tahun 1950-an yang sebulan-bulannya aku terima. Sangat sederhana bukan?" Dan memang tidak hanya disaat akhir hidupnya wanita yang diberi gelar 'perintis kemerdekaan' itu (dan menerima dari Pemerintah Rp 50.000 per bulan, mulai tahun-tahun akhir ini), hidup jauh dari kemewahan. Di masa pengungsian Pemerintah di Yogya, ia menjamu para pemimpin . dengan memasak sendiri. Dan ketika pertama kalinya diajak ke luar negeri -- India -- ia belum punya perhiasan apa pun, sehingga terpaksa meminjam dari istri Sekretaris Negara. Fatmawati. Ia memang mengingatkan kita pada saat-saat pertama republik ini. Ketika penderitaan bersama tidak mengurangi semangat dan ketulusan, ketika cita-cita bahkan kebanggaan -- masih jauh dari sifat serakah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus