PERUNDINGAN Mesir-Israel mengenai otonomi Palestina -- sesudah
berlangsung setahun lebih -- akhirnya buyar. Presiden Anivar
Sadat rupanya begitu berang pekan lalu hingga diperintahkannya
supaya perundingan itu dihentikan.
Hal yang menjengkelkan Mesir terutama sekali keputusan Knesset
(parlemen Israel) untuk membicarakan RUU mengenai perluasan
ibukotanya sampai ke kota tua Jerusalem. Selama ini Israel
menetapkan Jerusalem Timur sebagai.
Ibukotanya. Namun hampir semua negara yang punya hubungan
diplomatik dengan Israel tetap menempatkan kedutaan-besar
masing-masing di Tel Aviv, demi menjaga hubungan baik dengan
negara Arab.
Dengan sikap Knesset ini, makin terkesan bahwa Israel bermaksud
menguasai sepenuhnya wilayah Arab yang didudukinya sejak perang
1967. "Israel jelas menimbulkan situasi yang berbahaya dan
melanggar hukum internasional serta semangat perdamaian,"
demikian suatu pernyataan resmi di Kairo.
Sebelum Presiden Sadat dan Perdana Menteri Menachem Begin secara
bergiliran mengunjungi Presiden Carter di Washington, April
lalu, perundingan kedua negara sebenarnya sudah gawat. Di situ
ada perbedaan besar mengenai penafsiran 'otonomi' Palestina. Dan
perbedaan itu semakin memuncak 2 pekan lalu hingga Sadat
tiba-tiba menunda sementara perundingan itu. Sadat kecewa
terhadap pernyataan Begin dalam pertemuan tahunan Partai Likud.
Konon Begin mengatakan bahwa keamanan di Judea, Samaria (Tepi
Barat Sungai Jordan) dan Gaza mesti berada di tangan Israel,
bukan di tangan siapa pun. "Siapa saja yang menginginkan
persetujuan dengan kita mesti menerima prinsip ini," kata Begin.
Pernyataan Begin ini berarti otonomi vang dijanjikan di situ
bukanlah pemerintahan sendiri. Bukan pula suatu pemerintahan
yang kelak mempunyai kekuasaan untuk melakukan pengawasan
terhadap keamanan wilayahnya. Sebaliknya, Mesir selalu memahami
otonomi itu sebagai tahap pendahuluan bagi rakyat Palestina
untuk memperoleh pemerintahan sendiri. Pertentangan ini ternyata
mempersulit perundingan yang semula direncanakan akan selesai 26
Mei.
Begitu pun Washington kelihatannya semula tetap optimis.
Jurubicara Deplu AS, Hodding Carter, mengatakan penundaan itu
"sekedar istirahat pendek".
Bahwa kemudian Sadat mengumumkan penghentian sama sekali
perundingan itu, pemerintah AS agak terkejut. Apalagi dua hari
sebelumnya Sadat menelepon Carter dan mengatakan perundingan itu
akan dimulai lagi. Para pejabat AS tak bisa mengerti bahwa RUU
perluasan ibukota yang diajukan ke Knesset itu akan mempengaruhi
secara mendasar sikap Mesir. Seorang pejabat Deplu AS menilai
bahwa Sadat membuat reaksi yang berlebih-lebihan. "Mudah-mudahan
itu hanya bagaikan taufan dalam cangkir," katanya.
PM Begin juga terkejut mendengarnya. Dinilainya keputusan Mesir
itu sebagai tindakan yang tidak berdasar. "RUU yang diajukan ke
Knesset itu bukanlah hal yang baru," Ujarnya. Dan Menteri Dalam
Negeri Israel, Yosef Bourg yang menjadi ketua delegasi dalam
perundingan itu ternyata kebingungan melihat sikap Mesir yang
tidak stabil. Dalam wawancara radio Israel, Bourg menegaskan,
"sekarang tidak ada alasan buat Israel untuk menekan dimulainya
kembali perundingan selagi Mesir tidak menginginkannya."
Tokoh Palestina yang berdiam di wilayah Arab yang diduduki
Israel kali ini bertepuk tangan atas keputusan Sadat itu. Selama
ini berunding dengan Israel adalah perbuatan yang sia-sia,
katanya, apalagi pemerintah Israel sebenarnya sudah terbukti
punya rencana besar-besaran untuk membangun pemukiman Jahudi di
Hebron dan tempat lainnya.
Mattityahu Drobless, ketua Departemen Pemukiman Jahudi,
memperkuat anggapan pekan lalu bahwa pemerintah Israel akan
membangun pemukiman baru di wilayah Tepi Barat Sungai Jordan.
Sampai tahun 1983 direncanakan akan dibangun sebanyak 29
pemukiman baru. Menurut dia, itu akan menambah penduduk Jahudi
sebanyak 4 kali dari jumlah yang sekarang. Di wilayah Tepi Barat
sekarang sudah ada 44 pemukiman dengan jumlah penduduk 140.000
orang.
Dari segi ini apa yang dikatakan tokoh Palestina tadi ada
benarnya. Seolah bagi Israel perundingan itu sekedar memberi
waktu untuk menyusun kekuatan di wilayah yang didudukinya itu.
Walaupun, seperti kata Bourg, " Israel sudah membayar mahal
untuk perundingan itu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini