PROF. Dr. Abu Hanifah seperti dihadapkan pada pilihan: hari
Jumat atau hari ulang tahunnya ke-74, yang jatuh dua hari
berikutnya. "Ternyata ayah meninggal hari Jumat pagi, 4 Desember
yang lalu," tutur Siti Nurhati, 28 tahun, putri bungsu almarhum.
Almarhum meninggalkan seorang istri, 3 anak dan 4 cucu.
Mengawali karirnya di bidang sastra (dengan nama samaran El
Hakim antara lain menulis sandiwara Taufan di Atas Asia),
kemudian berhasil menjadi dokter, lantas terjun ke arena
politik. Sempat menjabat Dubes RI beberapa kali.
Sampai akhir hayatnya, kecuali sejumlah artikel yang tersebar di
koran-koran maupun majalah, 21 buku sempat ditulisnya. Dua di
antaranya, Dr. Rimbu (novel yang ditulisnya berdasar pengalaman
selama di Rimbu, Riau) dan Ibu dan Anak (buku kedokteran) sempat
direvisinya. Bukunya terakhir dalam bahasa Inggris: Tales of
Revolution, ditulis tahun 1972. Ia memang menguasai empat bahasa
asing dengan baik: Inggris, Belanda, Jerman dan Italia.
Juga masih sempat memberi nasihat kepada putri bungsunya itu.
"Selesaikan sekolahmu, supaya bisa berdiri sendiri. Jangan
terlalu menggantungkan diri pada suami," tutur Nurhati,
mahasiswa Fakultas Hukum UI tingkat terakhir, menirukan kata
ayahnya dengan haru.
Juni tahun lalu kaki kanan Abu Hanifah diamputasi karena
menderita trombosis (pembengkakan pembuluh darah). Meski
kehilangan sebelah kaki, kesenangan berguraunya tak lenyap.
"Yang saya sayangkan, saya tak bisa lagi memancing di laut.
Padahal itu hobi saya," katanya waktu itu. Namun sebagai orang
beriman ia menerima itu semua sebagai "sudah takdir."
Justru waktu itulah Abu Hanifah merasa bahagia. Begitu banyak
sahabat dan kenalannya datang menjenguk Adam Malik, Surono dan
belasan Dubes berbagai negara. Katanya "Saya betul-betul merasa
tidak ditinggalkan . . ."
Jumat siang itu pula jenazah almarhum dimakamkan di pekuburan
Karet -- sebagaimana permintaan almarhwn sendiri supaya
berkumpul kembali dengan Usmar Ismail, adiknya -- setelah
disembahangkan di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru. Hadir antara
lain Moh. Roem, Moh. Natsir, Adam Malik, Soenario SH, Sudiro dan
para Dubes berbagai negara. Menlu Mochtar Kusumaatmadja
memberikan sambutan atas nama pemerintah.
"Saya baru tahu ayah itu orang besar," kata Chalid Ibnu anak
kedua, beberapa saat setelah pemakaman usai. Dia sendiri tak
pernah membaca buku-buku karangan ayahnya, meski cintanya
terhadap ahnarhum besar.
Lahir di Padang Panjang, Sum-Bar, 6 Desember 1906, lulus sekolah
kedokteran Stovia, Jakarta, 1932. Di zaman Republik Indonesia
Serikat pernah duduk sebagai Menteri P&K, 1950. Peningalannya
antara lain berupa sejumlah besar buku-buku, telah diserahkan
kepada putri bungsunya beberapa waktu lalu. "Saya belum tahu mau
diapakan," kata Nurhati kepada TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini