DI sebuah rig pengeboran minyak lepas pantai Kalimantan Timur,
suatu malam dipertunjukkan video cassette film Raid on Enttebbe,
tanpa lewat sensor. Ketika itu jumlah pemilik video masih
sedikit, sedang peristiwa tadi cukup menggegerkan, terutama
karena film itu dilarang masuk ke Indonesia. Kini 3 tahun
kemudian, banyak video beredar di pasaran lokal, bahkan juga
yang berisi film seks menyeramkan, tanpa lewat sensor juga.
Semua itu menerobos banyak rumah tangga kota besar Indonesia
dengan leluasa.
Bagaimana Badan Sensor Film (BSF)? Menghadapi hasil teknologi
mutakhir ini, dengan hanya berpegang pada Ordonanntie Film
1940, kedudukan BSF tampak kepalang tanggung. Ketika ordonansi
itu ditelurkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, teknologi video
ini belum dikenal. Kewajiban sensur bagi pemilik video tidak
dicantumkan secara jelas di situ. Tapi betapa pun tidak
disebutkan dalam ordonansi "prinsip saya video harus disensur,"
kata Soemarmo, ketika masih menjabat Ketua BSF beberapa bulan
lalu.
Selagi BSF mencari dasar hukum menyensur video, Kejaksaan Agung
tampil ke depan. Sejak beberapa bulan ini Sub Direktorat
Keamanan dan Ketertiban Kejaksaan Agung, tanpa memungut bayaran,
melakukan sensur itu. Baru PT Trio Tara, perusahaan yang
menyewakan video dengan suka rela menyensurkan videonya. Masih
sebagian besar video yang masuk Indonesia, menurut Soemarmo,
"tidak melalui sensor."
Dasar hukum yang dipakai Kejaksaan Agung untuk itu adalah PNPS
(Penetapan Presiden) no. 4 tahun 1963: Tentang pengamanan
terhadap barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban
umum.
Hasil tindakannya sudah mulai terasa sekalipun tidak
spektakuler. Kalaupun ada yang lolos, kata Kepala Humas
Kejaksaan Agung, M.A. Tomaseuw SEI, "itu sangat mungkin.
Biasanya itu adalah barang cangkingan."
BSF, berbeda dengan Kejaksaan Agung, "tidak mungkin dapat
mengejar para pemilik video," jawab Soemarmo ketika itu. "Biaya
dan tenaganya belum tersedia."
Dikesampingkan
Tapi akhir Desember silam, ketika melantik anggota BSF yang
baru, Menteri Penerangan Ali Moertopo menegaskan kembali peranan
dan wewenang badan itu. Pengertian film tidak hanya yang
berukuran 8 mm, 16 mm, dan 35 mm, seperti yang sudah lazim
dikenal. Tapi juga, demikian Menpen "berupa rekaman segala macam
gambar hidup atau bergerak yang dibuat di atas pita celluloid,
jalur pita magnetik, piringan audio visual dan atau benda hasil
teknik kimiawi atau elektronik lainnya yang mungkin diketemukan
oleh kemajuan teknologi."
Dengan penegasan itu, Menpen tampaknya berusaha mendekatkan
kondisi kini dengan situasi ketika Film Ordonansi 1940 dibuat.
Bahkan keanggotaan BSF diperbesar dari 23 dulu menjadi 37 kini.
Di dalamnya terdapat Kelompok Sensor ideo, selain 4 Kelompok
Sensor Film menurut konsorsiumnya.
Dasar hukum BSF untuk menyensur video tetap masih samar, namun
Chalid Mawardi, Ketua Komisi I DPR (antara lain membidangi
Deppen) menyatakan mendukung penegasan Menpen itu. Film
Ordonansi 1940 yang dibikin untuk kepentingan penjajah itu,
menurut Mawardi, sudah ketinggalan zaman. Itulah sebabnya,
"komisi petnah menghimbau pemerintah untuk menggantikan
ordonansi itu," katanya.
Masih belum jelas bila wewenang BSF mulai berlaku, sementara
Kejaksaan Agung belum melepaskan beban sensur itu. "Kami selekas
mungkin akan berunding dengan Kejaksaan Agung," kata Thomas
Soegito, Ketua BSF yang baru. Meskipun demikian, BSF sudah mulai
menyensur video dan memberi Surat Tanda Lulus Sensor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini