KETIKA ditanya apa tidak ada niat menikah lagi, cepat dia
menjawab: "Buat apa sih? Nanti malah cari penyakit." Diam
sejenak, kemudian disambungnya lagi: "Eh, jangan mendahului
Tuhan. Pokoknya, belum ada minat." Nyonya janda A. Yani, walau
usianya sudah setengah abad, tetap muda. 23 September lalu
Nyonya Yani mantu. Puteri ke-5, Widna Ani Andriani A. Yani (27
tahun) dengan Judi Magio Jusuf (28 tahun), letnan I lulusan
Akabri, duduk di tingkat akhir FHUI. la mantu ke-6 -- jadi
tinggallah dua orang lagi yang belum "jadi orang".
Apa kesibukan nyonya Yani kini? Jawabnya: "Seumur hidup cuma
mendampingi Bapak sampai meninggal. Sesudah itu, saya tak punya
keahlian apa-apa. Sekolah juga cuma sampai SMA." Biar begitu ia
pernah coba-coba jadi seorang wiraswasta.
Sekaligus untuk menghilangkan duka. Nyonya Yani membuka. sebuah
toko suvenir di Kebayoran. "Waduh rasanya isin banget," ujarnya,
"rasanya canggung sekali." Walhasil tokonya cuma bisa hidup
setahun. "Enggak laku. Saya juga pemalu," katanya.
Kemudian membuka warung, menjual dari mulai minyak tanah sampai
beras dan keperluan rumahtangga lainnya. Pernah ketika dia
menerima tawaran seorang pengusaha Jepang untuk mengekspor
gaplek, dicarilah gaplek ke berbagai tempat. Tapi jumlah gaplek
yang diminta tidak bisa ditutupnya. Juga baru diketahui bahwa
ada larangan mengekspor gaplek ! "Pusing saya. Mana tuntutan
anak-anak semakin banyak, dan yang duduk di bangku universitas
juga semakin besal Gaplek kemudian dijualnya kembali.
Ada akal. Tanahnya yang di Kemang, Jakarta Selatan, 1.000 mÿFD
dibagi dua. Sebagian didirikannya rumah untuk dikontrakkan. Sisa
tanah didirikan rumah lagi, kemudian dijual. Mulailah Nyonya
Yani bisnis jual-beli rumah. Ini rupanya membawa untung. Tapi
itupun diakhirinya tahun 1975.
Namun "saya tenang-tenang saja," katanya. Pensiunnya sebagai
isteri Menteri Panglima AD, Rp 71.200. Ada tambahan dari
Departemen Sosial Rp 30.000, dari Angkatan Darat Rp 70.000 dan
dari Sekretariat Negara Rp 125.000. Dari uang simpanan di bank
sebagai hasil jual-beli rumah dulu, Rp 150.000 dia terima setiap
bulan. "Saya selalu datang ke Lubang Buaya setiap acara
Kesaktian Pancasila," katanya. "Tak pantas kami mengucurkan air
mata. Itu artinya menyesali. Kita malah bangga."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini