Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Di Dalam Dan Di Luar Bali

Hari raya umat Hindu Dharma, Galungan, yang dirayakan sore hari di dukuh Plumbon, Bantul, Yogyakarta dibanjiri umat. Di luar Bali dan lombok hari raya Galungan bukan hari libur.

14 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PURA Banguntopo, tempat persembahyangan Hindu Dharma di Dukuh Plumbon Kelurahan Banguntapan Kabupaten Bantul, Yogya, penuh sesak hari Rabu 27 September lalu. Balai ibadat berukuran 30 x 12 meter itu luber sampai ke halaman. Ini adalah hari raya besar umat Hindu Dharma yang disebut Galungan, jatuh setiap 210 hari, atau 6 bulan menurut perhitungan Bali. Ada sebab lain kenapa pura ditempat terpencil, yang belum rampung benar ini, diserbu umat. Parisadha Hindu Dharma Kecamatan Banguntapan menyelenggarakan persembahyangan di sore hari, tepatnya mulai pukul 3 sore -- sementara di pura yang lebih megah seperti Pura Wirabuwana di Kompleks AKABRI Magelang, atau di Kompleks Asrama Saraswati Yogya, upacara diselenggarakan pagi. Padahal, kalau pagi, ada kesulitan bagi umat Hari Raya Galungan -- di luar Bali dan Lombok -- bukan hari libur. Untuk umat di Bali atau Lombok memang tidak ada masalah. Sehari sebelum Galungan, yakni hari Selasa disebut Penampahan Galungan -- kantor sudah libur. Jadi 3 hari libur penuh. Bagi sekolah, dari SD sampai universitas libur Galungan selalu penuh 2 minggu. Tetapi bagi umat di luar Bali dan Lombok, untuk meninggalkan pekerjaan di kantor diperlukan izin. "Memang tidak ada kesulitan mengurus izin," kata drs Asmara, Sekretaris Parisadha Hindu Dharma (PHD) Propinsi DIY. Tetapi menurut Asmara, minta izin itu sendiri pekerjaan yang berat, karena harus menjelaskan betapa pentingnya hari tersebut. "Yang celaka adalah mahasiswa yang sedang menghadapi ujian atau yang oleh suatu sebab tidak berani minta izin karena dirasa bertele-tele. Terpaksa melewatkan hari raya itu," tambah Asmara. Nampaknya itulah yang menjadi sebab, mengapa ketika persembahyangan diadakan sore hari, orang melimpah. Ujian Mahasiswa Asmara, tokoh kelahiran Bali yang sejak 1954 berdomisili di Yogya, adalah pegawai P&K Prop. DI Yogyakarta. Ia bercerita, di tahun 1967 pernah kesulitan minta izin untuk absen di hari Galungan -- ini juga dialami umat Hindu Dharma lainnya di Jawa Tengah. Tetapi sejak 1970-an kesulitan tidak ada lagi, berkat telah berdirinya PHD di tingkat kabupaten. Untuk Jawa Tengah misalnya, sudah 17 kabupaten punya PHD. Sedang di Prop. DIY semuanya ada PHD Tk. Il dan bahkan sudah berkembang ke PHD kecamatan. Namun bagi para pelajar dan mahasiswa, "ujian, semesteran, praktikum dan kegiatan yang tak bisabolos, perencanaannya tidak memperhitungkan hari raya Hindu Dharma," kata Asmara. "Jadi mahasiswa jelas memilih ujian dari sembahyang." Meskipun ada kekecualiannya. PTPN Veteran, dalam perencanaan pendidikannya sudah memperhitungkan hari raya tersebut -- ini karena seorang dosen perguruan tinggi ini kebetulan Ketua Umum PHD Prop. DIY. PHD Pusat sendiri sampai kini tidak berhasil memperjuangkan --sejak 1963 -- agar hari raya Hindu Dharma dilibur nasionalkan. Itu diakui oleh Wayan Surpha, Sekjennya, kepada pembantu TEMPO Nengah Weja. Malah pernah dilontarkan bahwa Pemerintah justru akan mengurangi hari libur nasional. Padahal, kata Wayan Surpha: "Satu pun hari raya Hindu belum dijadikan libur nasional. " Meski begitu menurut I Gst Ketut Kaler, Kepala Bimas Hindu dan Budha Kanwil Departemen Agama Bali, 13 Mei 1978 yang lalu usul itu sudah dibuatkan detailnya, untuk masa libur tahun 1979. Sesuai dengan prinsip Pemerintah mengurangi hari libur, Kanwil Depag Bali bersama PHD Pusat minta agar di tahun 1979 (29 Maret 1979), Hari Raya Galungan I dan II (25 April dan 21 Nopember 1979), Hari Saraswati I dan II (10 Pebruari dan 8 September 1979). Hari raya lain seperti Pagerwesi, Kuningan, Penampahan Galungan dan Manis Galungan, boleh tidak diliburnasionalkan --tetap sebagai libur lokal untuk rali dan Lombok. Dipindah Saja Mungkinkah Pemerintah masih beranggapan umat Hindu cuma menghuni Pulau Bali?. Tak jelas. Tapi PHD Kabupaten Buleleng, Bali, mengeluarkan usul agar PHD Pusat dipindahkan saja dari Denpasar ke Jakarta. Alasannya kepentingan umat -- agar tidak ada anggapan Agama Hindu hanya punya kantong Bali. "Ada benarnya. Karena umat Hindu Dharma di Indonesia yang sekitar 9 juta itu cuma 3 juta saja yang Bali asli," demikian perhitungan yang dikemukakan Asmara. "Tetapi, haruskah semua kepentingan berpusat di Jakarta" Menurut Asmara, soalnya ialah bagaimana menghimbau Pemerintah. Menurut dia, "di Jawa Tengah dan DIY saja pemeluk Agama Hindu sekitar satu juta, tapi yang orang Bali tak ada sepuluh ribu." Jadi keadaan ini patut disayangkan -- apa lagi sudah dicetuskan ketika utusan PHD Pusat berdialog dengan Komisi IX DPR RI 18 Nopember 1975. "Tapi kok anggota DPR/MPR yang beragama Hindu bungkam saja," keluh Asmara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus