PURA Banguntopo, tempat persembahyangan Hindu Dharma di Dukuh
Plumbon Kelurahan Banguntapan Kabupaten Bantul, Yogya, penuh
sesak hari Rabu 27 September lalu. Balai ibadat berukuran 30 x
12 meter itu luber sampai ke halaman. Ini adalah hari raya besar
umat Hindu Dharma yang disebut Galungan, jatuh setiap 210 hari,
atau 6 bulan menurut perhitungan Bali.
Ada sebab lain kenapa pura ditempat terpencil, yang belum
rampung benar ini, diserbu umat. Parisadha Hindu Dharma
Kecamatan Banguntapan menyelenggarakan persembahyangan di sore
hari, tepatnya mulai pukul 3 sore -- sementara di pura yang
lebih megah seperti Pura Wirabuwana di Kompleks AKABRI Magelang,
atau di Kompleks Asrama Saraswati Yogya, upacara diselenggarakan
pagi. Padahal, kalau pagi, ada kesulitan bagi umat Hari Raya
Galungan -- di luar Bali dan Lombok -- bukan hari libur.
Untuk umat di Bali atau Lombok memang tidak ada masalah. Sehari
sebelum Galungan, yakni hari Selasa disebut Penampahan Galungan
-- kantor sudah libur. Jadi 3 hari libur penuh. Bagi sekolah,
dari SD sampai universitas libur Galungan selalu penuh 2 minggu.
Tetapi bagi umat di luar Bali dan Lombok, untuk meninggalkan
pekerjaan di kantor diperlukan izin. "Memang tidak ada kesulitan
mengurus izin," kata drs Asmara, Sekretaris Parisadha Hindu
Dharma (PHD) Propinsi DIY. Tetapi menurut Asmara, minta izin itu
sendiri pekerjaan yang berat, karena harus menjelaskan betapa
pentingnya hari tersebut.
"Yang celaka adalah mahasiswa yang sedang menghadapi ujian atau
yang oleh suatu sebab tidak berani minta izin karena dirasa
bertele-tele. Terpaksa melewatkan hari raya itu," tambah Asmara.
Nampaknya itulah yang menjadi sebab, mengapa ketika
persembahyangan diadakan sore hari, orang melimpah.
Ujian Mahasiswa
Asmara, tokoh kelahiran Bali yang sejak 1954 berdomisili di
Yogya, adalah pegawai P&K Prop. DI Yogyakarta. Ia bercerita, di
tahun 1967 pernah kesulitan minta izin untuk absen di hari
Galungan -- ini juga dialami umat Hindu Dharma lainnya di Jawa
Tengah. Tetapi sejak 1970-an kesulitan tidak ada lagi, berkat
telah berdirinya PHD di tingkat kabupaten. Untuk Jawa Tengah
misalnya, sudah 17 kabupaten punya PHD. Sedang di Prop. DIY
semuanya ada PHD Tk. Il dan bahkan sudah berkembang ke PHD
kecamatan.
Namun bagi para pelajar dan mahasiswa, "ujian, semesteran,
praktikum dan kegiatan yang tak bisabolos, perencanaannya tidak
memperhitungkan hari raya Hindu Dharma," kata Asmara. "Jadi
mahasiswa jelas memilih ujian dari sembahyang."
Meskipun ada kekecualiannya. PTPN Veteran, dalam perencanaan
pendidikannya sudah memperhitungkan hari raya tersebut -- ini
karena seorang dosen perguruan tinggi ini kebetulan Ketua Umum
PHD Prop. DIY.
PHD Pusat sendiri sampai kini tidak berhasil memperjuangkan
--sejak 1963 -- agar hari raya Hindu Dharma dilibur nasionalkan.
Itu diakui oleh Wayan Surpha, Sekjennya, kepada pembantu TEMPO
Nengah Weja. Malah pernah dilontarkan bahwa Pemerintah justru
akan mengurangi hari libur nasional. Padahal, kata Wayan Surpha:
"Satu pun hari raya Hindu belum dijadikan libur nasional. "
Meski begitu menurut I Gst Ketut Kaler, Kepala Bimas Hindu dan
Budha Kanwil Departemen Agama Bali, 13 Mei 1978 yang lalu usul
itu sudah dibuatkan detailnya, untuk masa libur tahun 1979.
Sesuai dengan prinsip Pemerintah mengurangi hari libur, Kanwil
Depag Bali bersama PHD Pusat minta agar di tahun 1979 (29 Maret
1979), Hari Raya Galungan I dan II (25 April dan 21 Nopember
1979), Hari Saraswati I dan II (10 Pebruari dan 8 September
1979). Hari raya lain seperti Pagerwesi, Kuningan, Penampahan
Galungan dan Manis Galungan, boleh tidak diliburnasionalkan
--tetap sebagai libur lokal untuk rali dan Lombok.
Dipindah Saja
Mungkinkah Pemerintah masih beranggapan umat Hindu cuma menghuni
Pulau Bali?. Tak jelas. Tapi PHD Kabupaten Buleleng, Bali,
mengeluarkan usul agar PHD Pusat dipindahkan saja dari Denpasar
ke Jakarta. Alasannya kepentingan umat -- agar tidak ada
anggapan Agama Hindu hanya punya kantong Bali. "Ada benarnya.
Karena umat Hindu Dharma di Indonesia yang sekitar 9 juta itu
cuma 3 juta saja yang Bali asli," demikian perhitungan yang
dikemukakan Asmara. "Tetapi, haruskah semua kepentingan berpusat
di Jakarta" Menurut Asmara, soalnya ialah bagaimana menghimbau
Pemerintah. Menurut dia, "di Jawa Tengah dan DIY saja pemeluk
Agama Hindu sekitar satu juta, tapi yang orang Bali tak ada
sepuluh ribu." Jadi keadaan ini patut disayangkan -- apa lagi
sudah dicetuskan ketika utusan PHD Pusat berdialog dengan Komisi
IX DPR RI 18 Nopember 1975. "Tapi kok anggota DPR/MPR yang
beragama Hindu bungkam saja," keluh Asmara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini