Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Riwayat Ali Dan Damusrah

Kisah dan pengalaman beberapa orang dari pekalongan yang bekerja di Riyadh, Arab Saudi. (sd)

14 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KULITNYA kuning. Sosok tubuh tinggi, berambut panjang. Usianya di sekitar 25 tahun. Kalau saja tubuhnya masih ceking, barangkali dia ideal untuk menjadi seorang peragawati. Apalagi tidak pemalu, bicaranya polos. Dialah Damusrah. Menjelang hari raya Idul Fitri baru lalu, Damusrah baru saja kembali dari mancanegara. Seperti kebanyakan orang dari luar negeri, ia pun menenteng dua buah kopor besar yang mewah. Seakan-akan hidup di negeri orang memang lebih basah dan royal. Label perusahaan penerbangan yang nyantol di kopornya berkibar-kibar kena angin Kota Pekalongan, Jawa Tengah, membuat orang menyangka Damusrah seorang isteri penggede. Ana Kul Kastir Damusrah baru saja kembali dari kota Riyadh, Saudi Arabia. Ia mudik ke kampungnya yang terselip di Desa Klego, Kotamadya Pekalongan. Di koceknya penuh uang. Tak kurang dari 800 dolar --dengan rupiah sekitar Rp 330 ribu. Ini hasil selama tiga setengah bulan. Bayangkan kalau tiga setengah tahun, berapa. "Saya ingin memperbaiki rumah," kata Damusrah kepada Churozi Mulya dari TEMPO. Sementara itu ia pun mengaku sedang menunggu tiket pesawat untuk kembali ke Riyadh. "Saya ingin naik haji," kata Damusrah menambahkan. Pernyataan yang bikin ngiler tetangga-tetangganya. Tetapi tak ada yang membantah. Ia bukan penipu dan juga bukan rukang mimpi. Ia mengatakan apa sebenarnya yang telah terjadi, meskipun ia memulai semuanya dengan tipuan kecil. Okelah, apa sebetulnya yang terjadi? Tersebutlah Umar Shadeq, seorang juragan di Kota Riyadh pernah berpesan kepada konconya di Pekalongan, agar mencarikannya seorang pembantu rumah tangga. Pilihan jatuh ke pangkuan Damusrah yang pada waktu itu memang lagi butuh pekerjaan. Segala tetek bengek keberangkatan kemudian diurus dengan lancar sekali. Paspor, visa, tiket pesawat, diselesaikan dengan baik berkat kerjasama seorang kawan. Maka terbanglah Damusrah ke Saudi Arabia. Perempuan dari Klego itu dikontrak dua tahun kerja dengan gaji 600 real sebulan. Dalam rupiah kira-kira Rp 72 ribu. Angka yang luar biasa mengingat gaji se)rang bedinde di bilangan Jakarta paling top sekitar lima sampai sepuluh ribu rupiah sebulan. Sebuah kesempatan yang mungkin akan merubah kedudukan para bedinde di masa depan-seandainya ekspor tenaga kerja semacam ini akan meledak di masa datang. Kembali kepada Damusrah. Umar Shadeq agak ragu-ragu ketika menatap wanita itu untuk pertama kalinya. Bukan karena kesehatannya, atau tampangnya tidak memenuhi syarat. Umar hanya khawatir melihat perut Damusrah agak buncit. Tapi kesan itu segera terhapus tatkala Damusrah menyabarkan bahwa semuanya itu bukan apaapa. Apalagi kemudian kerjanya ternyata bagus. Belakangan setelah perempuan itu mulai bisa bicara, ia dapat menjelaskan dengan lebih baik. "Ana kul kastir," katanya kepada Umar. Artinya kira-kira "Saya banyak makan." Tetapi alasan banyak makan itu lama-lama tak dapat dipertahankan. Umar semakin curiga melihat perkembangan perut Damusrah. Soal hamil di negeri onta itu sangat serius. Ia bisa membawa persoalan ruwet. Seorang wanita yang hamil tanpa ketahuan siapa suaminya, bisa jadi fitnah. Terutama buat Umar sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Maka memang tidak bisa lain lagi, kecuali bahwa Damusrah akhirnya mengaku. Bahwa ia bunting. Sudah bunting sejak dari Klego. Umar terpaku. Tapi tatkala ia mendengar pengakuan Damusrah bahwa ia membungkam karena kesulitan ekonomi yang menghajar di kampungnya -- sehingga ia nekat merantau dalam keadhan hamil --Umarpun hiba. Ia dan keluarganya jadi sayang kepada Damusrah. Waktu saat melahirkan bertambah dekat, Damusrah diberikan kesempata memilih. Melahirkan di kampung atau di Riyadh. Damusrah memilih pulang. "Saya malu," katanya kepada TEMPO, "saya tak mungkin mau berbaring dan diladeni orang lain di rumah majikan." Demikianlah awal cerita, mengapa Damusrah kemudian pulang bagaikan nyonya besar. Tubuhnya mengandung bayi yang berusia delapan bulan. Sebelum sopir majikannya mengantar ke pelabuhan udara, Damusrah diberi tip - melaksanakan ibadah umroh ke Mekah dan Madinah dengan biaya juragannya. Siapakah sebetulnya Damusrah? Siapa bapak dari bayi yang dikandungnya? Jawabannya ada di Klego. Sebelum jadi "babu terbang" Damusrah adalah seorang penjual bakso dengan gerobak yang disorongnya sendiri. Ia anak sulung dari bapaknya yang sudah meninggal. Adiknya 3 orang, semua perempuan. Ibunya sudah terlalu tua. Bakso yang diandalkannya tidak berkembang. Damusrah pun bangkrut. Kemudian ia mengambil kerja yang biasa dilakukan oleh kaum pria, "menganji palekat". Tak lama. Ia terpaksa menyerah karena kemampuan phisiknya tidak sesuai dengan lapangan kerja itu. Akhirnya ia menjadi pelayan di sebuah warung penjual es campur di pasar Banjarsari, Pekalongan. Damusrah menemukan jodoh di antara para pembeli es campur. Nama lelaki itu Ali. Damusrah membiarkan dirinya dinikahi Ali 5 Agustus 1976. Tapi kemudian ia melihat bahwa Ali tidak hanya doyan minum es campur. Dia juga doyan kawin. Ali sudah berbini dan mempunyai 5 anak. Seorang penghulu "yang baik hati" di Jakarta sudah menolong pernikahan Ali dan Damusrah meskipun bini tua tidak menyetujuinya. Seperti kebanyakan cerita sedih di negeri ini, maka berantakanlah hidup Damusrah setelah lewat masa perawannya. Ali ternyata tidak punya pekerjaan tetap. Anak pertama hasil pernikahan mereka meninggal di tahun 1977. Ali bahkan terus saja menikmati kehidupan dengan main layang-layang -- sekali lagi: main layang-layang, seperti kehilangan masa kanak-kanak. Dan celakanya Damusrah begitu setia. Dengan sabar dia membantu Ali memegang gulungan benang. Di dalam film, adegan ini mungkin akan romantis sekali. Entahlah sekarang. Setelah melihat Riyadh, tak tahulah apa Damusrah masih suka memegang gulungan benang layang-layang Ali. Seorang Ali yang lain, lengkapnya: Ali bin Saleh Nahdi -- bukan suami Damusrah itu -- menyimpan riwayat lain. Tidak seperti Damusrah yang hanya tiga setengah bulan menghirup udara Tanah Arab, Ali (21 tahun) pernah bermukim di tempat yang sama selama 6 bulan. Waktu ia pulang, di koceknya terdapat tidak kurang dari 600 dollar. Ia juga mencatat prestasi pernah mengirim uang pulang sebanyak seperempat juta rupiah. Dengan modal keberanian dan semangat Ali merantau ke Arab mengunjungi familinya yang warganegara Arab di Jeddah. Di Pekalongan ia merasa sangat sulit cari kerja. Dengan sisa uang yang dimiliki ibunya ditambah pinjam kanan-kiri, ia berhasil mendapatkan paspor, visa dan tiket. Di Jeddah setelah tiga kali pindah-pindah kerja, ia menetap kerja di dealer onderdil Toyota. Gajinya sekitar 1100 real, lebih kurang Rp 135 ribu. Untuk pondokan dan makan ia harus mengeluarkan 600 real. Sisanya ia tabung dan dikirim ke Indonesia untuk mengurus 7 adik dan hutang-hutangnya dulu. Hidup baru Ali di Jeddah berantakan gara-gara peraturan "Muharram". Ketentuan ini menyebutkan bahwa orang-orang asing yang datang setelah bulan "Muharram 1398" atau pertengahan Desember 1977, harus segera meninggalkan Saudi Arabia. Kesempatan mempersiapkan diri diberikan waktu hanya 2 bulan. Yang melanggar peraturan akan ditangkap dan dipenjarakan sarnpai ada yang menanggung biaya pemulangannya. Kalau ternyata tidak ada famili atau penanggung, pelanggar peraturan itu akan dipekerjakan dan upahnya akan dikumpulkan oleh pemerintah Arab Saudi untuk membeli tiket memulangkan yang bersangkutan. Ali tidak berani melanggar peraturan itu. Ia pun pulang ke Pekalongan dengan harapan perusahaannya akan mengirimkan izin tinggal dan tiket untuk kembali ke Jeddah. Rupa-rupanya ia melihat Indonesia bukan tempat bekerja, tetapi hanya untuk mengulur tali layang-layang seperti yang dilakukan Ali suami Damusrah. Dipenggal Lehernya Riwayat Ali dan Damusrah, dialami juga oleh orang lain. Kebanyakan tenaga kerja di tanah yang banyak mengandung minyak itu merasa dirinya beruntung, sehingga mereka senang tinggal di sana. Cuaca memang berbeda sekali dengan di Indonesia. Tapi bagi dua insan di atas sudah dibuktikan, bahwa cuaca tidak banyak berpengaruh pada akhirnya, kalau upah kerja begitu tingginya. Namun demikian, bekerja di Tanah Arab tidak cukup hanya dengan kegairahan mengeruk uang. Harus benar-benar dibarengi oleh ketekunan yang tinggi. Di samping itu tekad benar-benar harus lulus ujian. Tidak seperti Indonesia yang banyak tempat hiburan. Di sana orang juga harus berjuang untuk betah dan melawan rasa sunyi, karena kurang hiburan. Muhammad Syammah, lelaki berusia 32 tahun, sudah menetap di sana selama 4 tahun. Menurut Muhammad, KBRI sekarang mulai menaruh perhatian yang serius terhadap kehausan dan kesepian para "muwallad" -- orang-orang keturunan Arab yang warganegara Indonesia. Untuk mereka yang tinggal di Jedah KBRI berusaha memutarkan film-film nasional. "Sebagai obat rindu kampung dan reuni kecil-kecilan," kata Mohammad. KBRI juga mengedarkan "qustioner" -- atau pertanyaan kepada warga kita di sana untuk mempertipis kesulitan-kesulitan mereka. Yang menggembirakan adalah solidaritas yang tinggi di antara perantau Indonesia. Yang masih terlantar dibantu, ditampung oleh rekan-rekannya sampai berhasil berdikari. Mereka hidup berkelompok-kelompok dengan menyewa rumah atau kamar secara rombongan. Makanpun diatur bersama dengan semangat gotong-royong. Orang yang sulit makan roti -- seperti halnya Ali bin Saleh Nahdi -- dimungkinkan makan nasi setiap hari karena hidup berkelompok ini. Damusrah bini Ali tukang layangan juga tidak doyan roti pada mulanya. Tetapi Umar Shadeq yang mengajaknya makan satu meja bersama-sama keluarganya akhirnya membuat kebudayaan perut Damusrah beralih pada roti. Ia juga mengalami perbedaan perlakuan. Kalau di tanah air, babu biasanya selalu digebrak kalau bangun kesiangan, di rumah Umar, Damusrah malah dilarang bangun terlalu pagi. Setelah sembahyang subuh, ia terpaksa tidur lagi, sampai pukul 8. Rata-rata orang sana bangun antara pukul 9 sampai 10 pagi. Waktu mau pulang, Damusrah bengong lagi. Kopor tuanya dari Indonesia dirampas, diganti dengan 2 buah kopor yang lux. Nyonya Umar sendiri turun tangan mengisi kopor itu, membuat Damusrah berlinang air-mata. Mungkinkah ini sikap umum? Atau khusus terhadap Damusrah saja karena ke-7 anggota keluarga Umar sudah terlanjur sayang kepadanya. Yang jelas Damusrah merasa sebagai manusia yang berharga kembali. Tidak semua bedinde dari Indonesia bernasib seperti Damusrah. Sekali peristiwa seorang bedinde dikirim juga dari Pekalongan. Di lapangan terbang sopir calon juragannya menunggu. Akan tetapi karena calon bedinde itu ragu-ragu ia menolak ikut. Sopir itu sampai tiga kali menawarinya, tapi tetap ditolak. khirnya gagal. Kemudian perempuan itu dibawa oleh seorang sopir taxi. Tak jelas, mungkin diperkosa. Menurut Damusrah nasibnya kemudian menyedihkan. Padahal calon juragannya sudah mengeluarkan tak kurang dari 3 ribu real -- sekitar Rp 350 ribu -- termasuk premi untuk calo di Jawa. Di samping uang, banyak adat kebiasaan yang berbeda yang harus dihadapi. Ini dialami Ali yang bekerja di dealer Toyota itu. Sekali peristiwa, usai sembahyang lohor, Ali melihat banyak orang berkumpul di halaman masjid. Membawa kebiasaan dari Jawa, iapun ikut berkerumun. Ternyata Pemerintah sedang melaksanakan hukuman mati bagi seorang warganya. Hukuman yang mungkin tidak akan pernah dijumpai di Indonesia. Leher orang itu dipenggal di depan umum. Ali buru-buru tutup mata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus