ADNAN Buyung Nasution, tokoh hak asasi manusia, pulang ke Tanah Air pada akhir tahun 1992 lalu. Lima tahun ia menetap di Negeri Belanda untuk belajar, dan sepulangnya menggondol gelar doktor. Disertasinya tentang ''Sejarah Konstitusi Indonesia'' dipertahankan di Universitas Utrecht, Belanda. Buyung ternyata tetap dandy dan ''galak''. ''Sikap hidup saya jelas. Saya tidak pernah bengkok,'' kata Buyung, 58 tahun. Memang, untuk menjadi orang ''lurus'' tidak mudah. Sewaktu menjabat jaksa di Jakarta, ia pernah dirumahkan garagara ikut demo KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Ia pun keluar dari kejaksaan karena di lingkungan kerjanya disusupi orangorang kiri. Ia sempat direcall dari anggota DPR/MPR tahun 1968, tanpa sebab jelas. Setelah itu, ia sempat menganggur setahun, lalu mendirikan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) pertama di Indonesia. Setelah peristiwa Malari 1974, ia dipenjara selama 22 bulan, juga tanpa proses. ''Kegagalan'' Buyung terlihat saat membela H.R. Dharsono. Ketika majelis hakim membacakan vonis, dan menyebut katakata ''tim pembela tidak etis'', Buyung kontan menyela. ''Saya protes. Siapa yang tidak etis?'' Sikapnya itu dianggap menghina pengadilan. Izin advokatnya yang dikantongi 18 tahun dicabut sementara. Oleh Mahkamah Agung ia diskors setahun. ''Saya tidak menyangka dampaknya begitu besar, sehingga menghancurkan karier saya di bidang advokat,'' katanya. Kliennya lari, stafnya mengundurkan diri, dan berbuntut kantornya sepi. Ia pun terbang ke Belanda. Dan kini Buyung telah kembali. Apa yang akan dilakukannya mengisi tahun 1993 ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini