TIGABELAS orang warga negara asing jadi bahan pembicaraan rapat
intern Komisi IlI/Hukum DPR minggu lalu. Mereka dinilai telah
berjasa terhadap Indonesia, dan hingga kini belum juga disahkan
jadi warganegara republik ini. Mereka telah bermukim di
Indonesia puluhan tahun lamanya, telah mengganti nama mereka
dengan nama Indonesia dan banyak di antaranya memiliki bintang
jasa dan turut membantu dalam perang kemerdekaan.
Tiga dari 13 orang tersebut tokoh terkenal. Drh. So Ik Gwan
M.Sc.PhD alias Iwan Tomohon Budiarso -- diusulkan oleh
Departemen Pertanian karena jasa-jasanya terhadap departemen
ini. Budiarso kini Kepala Bagian Patologi Fakultas Kedokteran
Hewan. Dia lahir di Klaten 44 tahun lalu.
Tony Pogacnic (65 tahun) telah tinggal di Indonesia 21 tahun.
Diusulkan jadi warga negara oleh Departemen P&K: dianggap telah
berjasa terhadap kemajuan persepakbolaan sini. Isteri Tony juga
orang Yugoslavia, dan mertua perempuan Tony ketika meninggal
dikubur di Indonesia. Tahun 1954 datang ke Indonesia karena
tenaganya diperlukan PSSI. Ketika tidak terpakai lagi, pernah
Tony tinggal di Bali dan memiliki sebuah motel di Kuta. Motelnya
dijual ketika ia diperlukan lagi sebagai pelatih tim Pra Piala
Dunia. Kabarnya gaji Tony sebagai pelatih AS $ 1.000. Kini
tinggal di Jakarta.
Tahun 1973, bintang film Farouk Afero pernah mengajukan
permohonan kewarganegaraan. Farouk lahir di Pakistan. Usia 5
tahun dia dibawa ayahnya, Haji Asgar Ali ke Indonesia. Tahun
1952 dibawa kembali ke Pakistan waktu itu usianya 13 tahun.
Tahun 1956 kembali lagi dan tinggal di Jakarta.
Farouk main film pertama dalam Segenggam Tanah Harapan. Tahun
1963 menikah dengan gadis Indonesia bernama Octarina. Telah
beranak, dan "saya tidak pernah merasa sebagai orang asing di
bumi ini," ujarnya. Tidak faham kebudayaan tanah di mana dia
lahir, ayah tiga orang anak ini berkata lagi: "Saya akan mati di
bumi ini dan harus dikubur di bumi ini." Lagi: "Saya makan, saya
hidup dan saya mendapat nama di republik ini. Bagaimana saya
bisa meninggalkan."
Ketika menikah dia tidak mendapat kesulitan apa-apa. KTP pun
dimilikinya, dengan catatan khusus: "Kewarganegaraannya masih
dalam penyelesaian." Kartu pengenalnya sebagai artis film juga
dicantumi "dalam pengesahan" untuk kolom kewarganegaraan. Karena
ada pengaduan dari sepupu Farouk "yang jadi buronan polisi
karena kasus penipuan" (demikian Farouk), keanggotaan Parfi-nya
dibekukan untuk sementara. "Ini tindakan sepihak oleh Parfi,"
ujarnya, karena dia merasa tidak ditanya lebih dulu.
Tahun 1970, pada Festival Film Asia di Taipeh, Farouk mendapat
piala Aktor Pendukung Terbaik untuk film Noda Tak Berampun.
Tahun berikutnya jadi Aktor Harapan III - versi PWI -- untuk
film Matinya Seorang Bidadari. Tahun lalu dalam Festival Film
Indonesia di Bandung Farouk dianggap pemegang peran pendukung
terbaik untuk film Laila Majenun.
Beberapa tahun lalu dia berdemonstrasi tunggal dengan mencukur
habis rambutnya. Banyak orang menganggap aksinya itu over
acting. Kata Farouk: "Saya merasa bertanggungjawab akan
jatuh-bangurmya perfilman nasional." Waktu itu bioskop-bioskop
hampir tidak memutar film Indonesia dengan alasan tidak laku
alias bikin rugi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini