ORANG berdendang di pentasnya, orang beraja di hatinya. Pepatah lama yang jarang disebut-sebut ini cocok untuk menggambarkan pribadi Umar Kayam. Ya, tiap orang punya kesukaan masing-masing. Pada saat gaung postmodernisme riuh di sini, Kayam, 61 tahun, mengaku tak cocok dengan aliran baru itu. Entah kalau dia bercanda. "Diskusi tentang itu sih boleh saja. Tapi selera ndak bisa diatur. La, biar saja Kalam ini diurus oleh mereka yang muda- muda, yang posmo kek, posyandu kek, terserah. Saya sih masih di tahap modernis saja," kata Kayam berpidato dengan sangat tidak serius. Malam itu, Selasa pekan lalu di Galeri Cemara Kafe, Jakarta, selaku Ketua Yayasan Kalam, ia menjadi tuan rumah peluncuran jurnal triwulanan Kalam edisi perdana. Edisi pertama Kalam (lihat rubrik Buku) memang bicara seputar postmodernisme. Namun, bekas Dirjen RTF ini mengaku lebih pas menikmati karya seni yang normal saja. "Seni posmo itu kan misalnya seni instalasi, yang aneh-aneh itu. Wah, saya tak ngerti. Kalau musik, saya pilih yang klasik, seperti Mozart. Kalau lukisan, ya, seperti lukisan Mochtar Apin yang objeknya wanita cantik dan posenya wah," kata Kayam lagi sambil menunjuk lukisan almarhum Mochtar Apin yang tengah dipamerkan di galeri milik Toety Herati itu. Sayang, kesehatan penulis roman Para Priyayi ini tak seperti dulu. Karena itu, selama Umar Kayam berpidato, mik dipegangi Antonia Soriente, mahasiswa asal Italia yang sudah lama tinggal di Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini