Pertengahan bulan lalu, Universitas Nasional memperingati ulang tahun rektornya, Sutan Takdir Alisjahbana, secara terbuka. Pada usia 82 tahun, ayah sembilan anak ini -- yang terkenal sebagai "ayah" bahasa Indonesia dan ahli filsafat -- masih tegar. Ia menjabat Ketua International Association for Art and the Future, anggota Akademi Jakarta, Direktur Balai Seni Toyabungkah, anggota perkumpulan ilmiah dalam dan luar negeri. Pikiran "Barat" yang dilontarkannya 55 tahun lampau, dalam Polemik Kebudayaan, masih tetap diyakininya sampai kini. Sebagian kisah hidupnya ini dituturkan kepada Muchsin Lubis, atas permintaan TEMPO. SAYA dilahirkan pada 11 Februari 1908 di Natal, Tapanuli Selatan, yang terletak di pantai barat Sumatera. Ibu saya orang Natal. Orang Natal itu bukan suku Mandailing, juga bukan Batak. Kesan saya, adat-istiadat dan bahasanya adalah Minangkabau. Saya masih ada hubungan keluarga dengan Sutan Sjahrir yang juga dari sana, dan Mr. Muhammadsjah yang dulu jadi Rektor Universitas Cendana, Kupang. Sebenarnya, ayah saya dari Natal juga. Tapi, ayahnya merantau ke Tengahpadang, Bengkulu. Rupanya, sejak neneknya sudah meninggalkan Natal. Ayah saya berdarah Jawa. Namanya Raden Alisjahbana gelar Sutan Arbi. Gelar Raden itu suatu ketika diakui Kesultanan Yogyakarta. Malah, dia disuruh mengamat-amati kubu Sentot Alibasjah di Bengkulu itu. Nah, dilihat dari jurusan ini, saya ini orang campuran. Ketika saya berumur 4 tahun, kami meninggalkan Natal. Ayah saya guru SD di Semangka, yang terletak di Teluk Semangka. Dia lalu pindah ke Curup, lalu ke Kerkap, kira-kira 25 km dari Bengkulu. Di Kerkap itulah, saya sekolah di HIS Bengkulu. Ayah saya lalu dipindahkan ke Ipuh yang jauh terpencil, dekat Mukomuko. Tentulah, hubungan dengan orangtua terlampau jauh. Kalau hendak ke Bengkulu, harus naik truk, lalu menyeberangi Sungai Ketaun yang cukup lebar. Sampai di seberang, naik gerobak sapi tiga hari tiga malam, baru sampai ke Ipuh. Kiriman uang dari Ayah selalu terlambat. Lagi pula, gajinya tak seberapa. Di HIS, saya tidak pernah mempunyai buku, namun semuanya berjalan lancar. Angka saya paling tinggi, tujuh, di sana-sini angka lima. Tapi, tiap tahun, saya naik kelas. Ketika kelas 6, tanpa setahu Ayah, saya ikut ujian masuk Kweekschool, Sekolah Raja di Bukittinggi. Saya lulus. Rupanya, Ayah setuju saja. Di Kweekschool, ketika itu 1920, semuanya prei. Malah dapat uang Rp 5 sebulan. Tapi, baru 3 bulan, sekolah itu dipindahkan ke Kweekschool yang baru didirikan di Lahat, Sumatera Selatan. Kemudian, sekolah itu dipindahkan lagi ke Muaraenim. Lambat-laun, saya menjadi anak terpandai. Sewaktu di Muaraenim, saya sudah tertarik pada perkumpulan pemuda. Waktu pulang ke Bengkulu, sepupu saya, Raden Navis, yang belajar di Jawa, sangat berminat dengan gerakan Jong Java dan Jong Sumatra. Pulang ke Muaraenim, saya mengirim surat ke pengurus di Jakarta, akan mendirikan Jong Sumatra di Muaraenim. Jakarta tidak keberatan. Karena orang lain tidak berminat jadi ketua, maka saya menjadi ketuanya meskipun saya yang terkecil di sekolah itu. Waktu itu, saya berumur 13-14 tahun, dan mulai menulis di Jong Sumatra. Karangan saya yang pertama dimuat dalam bahasa Belanda, Tani Briven, artinya Surat-Surat Petani. Menceritakan bagaimana orang bertani. Pada 1925, saya dikirim ke Hogere Kweekschool di Bandung, setahun sebelum menamatkan kelas terakhir. Saya satu-satunya murid yang dikirim karena saya yang terpandai di kelas. Dengan cepat saya masuk inti dalam Jong Sumatra. Saya sangat berminat pada Sukarno, ketika mendengar pidatonya menyambut Stockhuis, seorang sosialis. Ketika itu, saya melihat dia pandai sekali berpidato. Ucapannya yang saya ingat betul, "Rakyat yang miskin dan lapar itu juga rakyat yang perutnya keroncongan." Ketika itu, dia mendirikan Study Club dengan Darmawan, Iskak, dan Ir. Anwari. Sekolah Hogere Kweekschool itu di Tegalega, Bandung, di depan pacuan kuda. Dan kalau kita pergi ke Braga, selalu melalui rechbenberg. Di sana tempat tinggal Ir. Sukarno, Ir. Anwari, Mr. Iskak. Kalau saya lewat di depan rumah mereka, saya merasa bangga melihat orang-orang Indonesia, akademisi, cendekiawan, yang sadar berjuang untuk bangsanya, menjadi pedoman kami anak-anak muda. Ketika pemilihan pengurus Jong Sumatra berikutnya, saya diangkat menjadi wakil ketua. Ketuanya, Ir. Semawi dari THS. Waktu itu, bangkit gerakan Indonesia Muda, yang dibentuk dari Jong Java dan Jong Sumatra, serta golongan lain. Di situ, saja kenal dengan Tabrani, Ketua Jong Java, dan Koco Sungkono. Saya juga kenal dengan Sjahrir. Kami sering rapat di rumah Sukarno atau Anwari. Sewaktu sekolah di Bandung itu, saya mulai banyak membaca. Mengarang dalam bahasa Belanda, boleh jadi, saya terpandai di sana. Ketika itulah saya menulis buku Tak Putus Dirundung Malang. Ketika kelas 2, selesai dua chapter. Saya mau menulis tentang sesuatu yang sedih betul. Pada 1928, saya tamat dan diangkat menjadi guru di Palembang. Gaji saya Rp 110. Ketika diangkat, kami diperbolehkan meminjam 3 bulan gaji, yang saya katakan untuk membeli sepeda dan pakaian. Sisanya masih banyak, saya kirimkan kepada Ibu. Saya memang dekat dengan Ibu. Tapi, suatu hari, sepupu saya dari Bengkulu mengabarkan bahwa Ibu meninggal dunia. Saya kaget. Malam-malam, saya menangis terus. Uang yang saya kirimkan itu dipakai untuk menguburkannya. Seminggu kemudian, saya sakit jantung dan saya dapat perlop 3 bulan. Saya pergi ke Bandung, masuk rumah sakit di Cimahi. Tiga minggu di rumah sakit, penyakit saya mulai sembuh, saya menyelesaikan Tak Putus Dirundung Malang di Bandung, 1928. Lalu, saya kirimkan ke Balai Pustaka. Balai Pustaka gembira dengan bahasa saya, meskipun bahasanya kebelanda-belandaan, tapi bersemangat. Nur Sutan Iskandar banyak mengubahnya, yang tidak saya senangi sama sekali. Bahasa saya dibuatnya menjadi bahasa Melayu Biasa. Saya katakan, bahasa Melayu saya, yang bagaikan anak air di pegunungan yang lancar, tiba-tiba menjadi rawa karena banyak diubah. Saya mendapat honor Rp 250. Setahun kemudian, 1929, saya mengawini Raden Ajeng Rohani, yang masih mempunyai hubungan keluarga di Bengkulu. BALAI PUSTAKA DAN POLEMIK KEBUDAYAAN Saya merasa kurang enak jadi guru. Karena anak-anak selalu dapat nilai lima, saya jadi tidak sabar. Sering betul saya menampar. Malah, suatu hari, saya menampar seluruh kelas. Rupanya murid-murid itu pergi ke surat kabar Pertja Selatan. Keesokan hari, muncul tajuk berita "Guru Yang Ganas". Karena jadi guru tidak sabar, saya melamar ke Balai Pustaka, yang mencari redaktur untuk Panji Pustaka. Tidak diterima. Tapi, saya diterima jadi redaktur di bagian buku. Waktu itu, Adinegoro yang menjadi redaktur Panji Pustaka. Saya lalu pindah ke Jakarta, 1930. Anak tertua saya, Samiati, lahir di Jakarta. Mula-mula saya tinggal di Gang Abu, Pecenongan, lalu pindah ke Jalan Kesehatan. Saya juga melanjutkan pelajaran mengambil kursus malam di Hoofdakte Cursus. Nah, di Balai Pustaka itulah, saya mulai cepat-cepat menulis Dian Yang Tak Kunjung Padam. Di rumah saya menulis Anak Perawan Di Sarang Penyamun kemudian menulis Layar Terkembang. Sebelumnya saya sudah menulis cerita pendek, yang isinya akan dimasukkan ke Layar Terkembang. Baru tiga bulan, Adinegoro meletakkan jabatannya karena menjadi redaktur di Pewarta Deli di Medan. Saya dipindahkan ke Panji Pustaka. Di samping itu, saya mulai jadi pembantu Pewarta Deli dan Suara Umum, Surabaya. Sebagai pemimpin Panji Pustaka, saya mengadakan gerakan Sastra Baru pada 1933. Saya memuat sajak-sajak dan suatu brief "Memajukan Kesusasteraan". Dari sana, saya buat kritik tentang kesusastraan yang lama, pantun, syair yang telah mati. Saya mulai memuji karangan-karangan baru dan sajak-sajak baru. Orang-orang muda banyak berkumpul di sekitar saya. Di sanalah, saya berkenalan dengan Armijn Pane dan Amir Hamzah yang selalu mengirimkan sajak-sajaknya. Kami membicarakan penerbitan majalah kesusastraan yang lepas dari Balai Pustaka. Majalah itu semata-mata untuk bahasa Indonesia, sastra dan kebudayaan umum. Hal itu diketahui Daaler, seorang Indo yang bekerja di Balai Pustaka. Dia cukup terkenal sebagai anggota Volksraad, yang selalu memihak Indonesia. Kemudian dia mengubah namanya menjadi Dahlan, dan meninggal di Yogyakarta. Daaler mempertemukan kami dengan percetakan Kolf di Pecenongan. Percetakan yang terbesar ketika itu. Ia bertanya kepada Kolf, mengapa tidak menerbitkan majalah sastra. Kami diperkenalkan sebagai tiga sastrawan Indonesia yang terdidik. Usul itu diterima Kolf. Kolf hendak menerbitkan majalah yang tebal dengan kertas yang bagus. Ia lalu menyebarkan pamflet dan daftar isian yang ingin berlangganan majalah Pujangga Baru. Ternyata yang membalas dan mengirimkan uang hanya 301 orang. Tentu saja, tidak mencukupi. Lalu, saya meminta Kolf untuk menerbitkan majalah yang kecil, 32 halaman, dengan kertas bersahaya. "Tuan tak perlu mengembalikan uang itu. Mereka yang sudah mengirimkan uangnya, akan kami kirim majalah." Kolf setuju. Ternyata, peminatnya menurun. Tinggal kira-kira 120 atau 130 orang saja. Tentu saja, kami tidak bisa mencetak di Kolf lagi. Lalu, pindah ke percetakan lain. Dengan uang secukupnya itulah kami mencetak. Malah, kalau ada kekurangan untuk prangko dan sebagainya, sebagai orang yang berpenghasilan Rp 150 sebulan, saya menutupi kekurangannya Rp 5 sebulan. Meskipun pembacanya tidak banyak, Pujangga Baru amat besar pengaruhnya. Banyak yang menyumbangkan tulisan, antara lain, Prof. Husein Djajadiningrat, Maria Ulfah Santoso, Amir Sjarifuddin, Mr. Sumanang, Poerwadarminta. Pendeknya, ada sekitar 20 orang intelek Indonesia yang menjadi inti gerakan Pujangga Baru itu. Pertemuan-pertemuan Pujangga Baru yang sering diadakan di gedung Perguruan Rakyat dekat Jalan Kenanga. Di situ, banyak sekali mahasiswa Indonesia yang mengajar, antara lain, Suwirya, Wilopo, Sumanang. Pada suatu ketika, kami mengundang Soedjatmoko untuk berceramah. Pendeknya, itu pusat kaum intelek di Jakarta. Sejalan dengan itulah saya tumbuh. Saya terus membaca, belajar, dan bergaul dengan mahasiswa dan cendekiawan dari kalangan akademis. Meskipun saya sendiri, ketika itu, tidak mempunyai latar belakang akademis. Kejadian penting dalam hidup saya ketika itu, istri saya meninggal dunia, 1935, meninggalkan 3 anak. Paling kecil, Sofjan Alisjahbana -- sekarang memimpin berbagai majalah -- waktu itu berumur 10 bulan. Yang tertua, Samiati -- sudah meninggal -- dan Iskandar Alisjahbana, yang beberapa tahun lalu menjadi Rektor ITB. Kejadian itu sangat mengguncangkan saya, sehingga saya menulis kumpulan sajak Tebaran Mega. Saya berjuang mengatasi kesulitan tersebut. Saya mesti belajar lagi. Saya jadi agresif. Dalam usia 27 tahun pada 1935 itu, saya menghadiri Kongres Pendidikan Indonesia di Solo. Di situ, saya mendengar semua pemimpin Indonesia mengkritik kebudayaan Barat, yang dikatakan sebagai egoisme besar, intelektualisme, dan materialisme. Semuanya mau pulang ke pesantren. Pulang ke kebudayaan mereka semula. Ketika itu, saya merasa aneh. Kok, ganjil betul? Orang yang belum mempunyai kepribadian kok menganggap dirinya antiegoisme? Padahal, orang Indonesia ini belum punya ego yang membuatnya mencintai dirinya sendiri, mencintai hak-haknya sebagai manusia. Sedangkan di Eropa, orang sadar betul akan haknya. Pemerintah tak boleh mengganggu gugat. Di sana, lahir yang dinamakan human right. Lalu, mengapa antiintelektualisme? Orang Indonesia belum punya intelek. Seharusnya, tumbuhkan intelektualisme Indonesia ke masa depan dan secerah mungkin. Juga, mengapa antimaterialisme? Aneh. Bagaimana bangsa yang mati kelaparan kok malah antimaterialisme? Rebutlah materi itu untuk bangsa Indonesia, supaya mereka mendapat hidup yang layak. Jadi, saya balik semuanya itu. Saya kritik. Saya katakan, bentuklah ego Indonesia yang kuat. Ketika saya menyangkal dan menyerang sikap yang antiintelektualime, antiegoisme, dan antimaterialisme itu, banyak sekali yang menyambut dan memberi komentar. Kritik saya itu disambut oleh Sanusi Pane, Purbacaraka, Dr. Amir. Komentar Dr. Sutomo dimuat dalam Pujangga Baru. Semua itu saya jawab satu per satu, terus-menerus, yang sekarang disebut Polemik Kebudayaan itu. Intinya, saya katakan: Kita mesti menyambung sejarah. Ubahlah sejarah kita. Sejarah ini yang membuat kita dijajah. Pokoknya, pikiran saya berbeda betul dengan mereka. Yang jelas, saya mau modernisasi. Malah saya katakan, keterbelakangan kita berarti kurang modern. Nah, itulah kejadian yang sangat penting dalam hidup saya. Tambah lama, saya tambah yakin bahwa mereka salah. Saya yang menang. Pendidikan kita sekarang ini adalah pendidikan yang modern. Coba pikir. Di zaman nenek moyang kita dulu, orang Belanda -- yang kecil jumlah bangsanya, datang ke sini dengan beberapa buah kapal layar dapat menaklukkan kita semuanya. Alangkah bodohnya nenek moyang kita dulu. Alangkah tidak bertenaganya. Jadi, kita tidak banyak bisa belajar dari nenek moyang kita dulu. Kalah! Kenapa kita bisa kalah? Sebabnya, bangsa Belanda sudah melewati zaman Renaissance. Zaman Renaissance adalah zaman pembebasan manusia dari Abad Pertengahan -- abad di mana yang berkuasa adalah Tuhan, yang dinamakan Teosentris. Sejak Renaissance, Teosentris menjadi Antroposentris, yakni manusia menjadi pusatnya. Kita, yang sudah dijajah Belanda, lalu dibukanya sekolah untuk beberapa orang Indonesia. Bagi orang Indonesia, yang berasal dari kebudayaan Indonesia itu, terbuka dunia baru. Dunia yang dibuka oleh Renaissance. Membuka dunia ilmu, teknologi, industri, dan kemajuan. Berduyun-duyun orang mau masuk sekolah Belanda. Akhirnya, orang yang sudah belajar pada Belanda ini, memberontak kepada Belanda. Jelas. Sebab, bangsa Belandalah yang mengajar mereka arti merdeka. Saya belajar di sekolah, bahwa bangsa Belanda berjuang 80 tahun untuk kemerdekaannya. Sebab itu, Ki Hajar Dewantara -- yang dulu Suwardi Suryaningrat -- protes waktu Belanda merayakan kemerdekaannya di sini. "Kami di negeri yang tidak merdeka, kalian merayakan kemerdekaan kalian." Suwardi Suryaningrat belajar kemerdekaan itu dari Belanda. Kita ini "dimerdekakan" oleh Belanda. Jadi, sebenarnya, kita belajar kemerdekaan dari orang Eropa. Karena orang Eropa sudah melalui Revolusi Prancis, 1789, "Liberte, Egalite, Fraternite". Akhirnya, kebudayaan kita sekarang ini adalah kebudayaan modern. MEKAR DALAM PERGERAKAN Di Pujangga Baru, selain Maria Ulfah, ikut juga Sugiarti, tamatan hoofdakte dari Belanda. Sedangkan saya, di Indonesia saja belum tamat. Rupanya, orang mau mendekatkan saya dengan Sugiarti. Salah seorang di antaranya, Mr. Hikmadsjah, ahli bahasa Jerman dan Prancis. Saya disuruhnya mengirimkan novel Layar Terkembang kepada Sugiarti. Novel itu terbit pada 1937. Sugiarti ini belajar bahasa Indonesia kepada Amir Hamzah. Dia sangat terkesan dengan roman tersebut. Akhirnya, saya diundangnya ke rumah untuk membicarakan Layar Terkembang. Lambat-laun, tumbuh kekaguman saya padanya. Namun, ini bertentangan dengan orangtuanya, karena saya duda dengan 3 anak. Hubungan kami terombang-ambing, naik turun. Suatu hari, ketika kami pergi menonton, rupanya ketahuan. Kakak laki-lakinya mendatangi saya. "Engkau harus tahu diri. Engkau harus putuskan hubungan dengan adik kami. Sadarlah akan kedudukanmu." Semuanya saya jawab dengan singkat dan tegas. "Bicaralah dengan adikmu, semuanya akan selesai." Kejadian itu memukul saya. Keesokan harinya, saya menemui profesor yang bekerja di Balai Pustaka. Dia dosen bahasa Melayu di Rechts Hoge School. Saya mau belajar di Rechts Hoge School. Padahal, saya tidak memiliki diploma untuk ke perguruan tinggi. Saya disuruh menemui Prof. Ter Haar. Umur saya ketika itu 29 tahun. "Kirimkan karanganmu yang terbaik, kami akan mempertimbangkannya," katanya. Saya diterima jadi mahasiswa, pada 1942, sebelum Jepang mendarat. Saya mengikat janji dengan Sugiarti. Tak lama setelah itu, dia dipindahkan ke Jember. Tiga bulan sebelum Jepang menyerah, kami menikah. Kawin lari. Ketika Jepang masuk, saya diminta Mr. Sudjono untuk membantunya di Gunseigaku, di bagian penerjemahan undang-undang dan berita-berita yang datang dari Markas Besar. Tapi, saya tidak menyenangi pekerjaan itu. Jepang lalu mendirikan Komisi Bahasa Indonesia, dan saya diangkat jadi sekretaris ahli. Sekretaris yang sesungguhnya adalah Mr. Suwandi. Lalu, didirikan Kantor Bahasa, dekat Balai Pustaka, dan saya menjadi kepalanya. Di sana, saya dekat dengan Subadio Sastrosatomo, Miriam Budiardjo. Kami seia-sekata bekerja keras untuk bahasa Indonesia. Sebabnya jelas. Suatu ketika, Jepang pasti memaksakan bahasanya. Kami lalu menentukan istilah-istilah ilmu yang diajarkan di sekolah. Dulu, tiap-tiap sekolah memakai istilah sendiri-sendiri. Kami menyeragamkan istilah tersebut. Semuanya berjalan lancar. Kami berhasil menghimpun 400.000 istilah dalam bahasa Indonesia. Kegairahan kami sangat besar. Kami tahu dan yakin bahwa pekerjaan itu tidak ada hubungannya dengan peperangan Asia Timur Raya. Semata-mata hanya untuk kesatuan bangsa Indonesia. Di Kantor Bahasa itu, berkumpul juga sastrawan-sastrawan muda. Yang paling terkenal dan paling berani ketika itu adalah Chairil Anwar. Dia itu seperti anak nakal, bergaul dengan semua golongan kebudayaan ketika itu. Dia selalu datang untuk membaca, berolok-olok, dan bermain-main dengan orang di Kantor Bahasa. Chairil dekat sekali dengan Ida Nasution, gadis muda sebaya Miriam. Ida sangat berminat dengan sastra dan menulis esei yang sangat tajam. Waktu itu, pihak Jepang mendirikan Pusat Kebudayaan -- yang diketuai Sanusi Pane -- yang mempunyai beberapa seksi. Salah satu, seksi Sastra Indonesia yang diketuai Armijn Pane dan penulisnya H.B. Jassin. Suasana di sana demikian berkembangnya, hingga bukan saja bicara tentang sastra dan hukum, tapi juga menjadi pusat desas-desus politik. Lambat laun, dalam rapat-rapat, ada saja teman yang menyampaikan berita tentang politik Jepang. Terutama dari Subadio Sastrosatomo, yang banyak mempunyai teman di kalangan mahasiswa. Ketika itu, terutama sekali Soedjatmoko dan Miriam keduanya adik Subadio -- serta Surya Santosa sadar akan keadaan gawat ketika itu. Sutan Syahrir juga sering ikut berkumpul di sana. Pusat perlawanan semua itu adalah di Fakultas Kedokteran, yang berhubungan rapat dengan Subadio dan Soedjatmoko. Sementara itu, keadaan di tahun 1945 bertambang runcing. Kesadaran pemuda bertambah besar. Kita mesti tahu mau dibawa ke mana. Suatu hari, pemuda-pemuda ini menghendaki pimpinan, suatu pegangan. Saya usulkan untuk membuat suatu rancangan perjuangan. Rancangan perjuangan saya ini bersifat intelektual dan kebudayaan. Menghendaki bagaimana perjuangan selanjutnya untuk mencapai negara demokrasi. Saya tulis lengkap tentang perwakilan rakyat, perwakilan di luar negeri, dan sebagainya. Sayang, saya tidak punya lagi tulisan tersebut. Suatu hari, Surya Santosa ditangkap. Di kantungnya, ada tulisan rancangan saya itu. Padahal, surat saya berikan hanya kepada Prof. Sutomo Condronegoro dan satu lagi kepada Subadio Sastrosatomo. Rupanya, Subadio yang memberikan kepada Surya Santosa. Akhirnya, saya ditangkap Jepang, dimasukkan sel di Tanah Abang. Di dalamnya, ada kira-kira 10 orang tahanan. Orang-orang ini penuh borok. Pendeknya, dalam tempo 3 hari, badan saya sudah penuh nanah, hingga baju saya lengket. Tempat tidur papan penuh kutu busuk, dan dari pecahan dinding keluar binatang. Kalau saya meletakkan badan, binatang-binatang itu terus menyerbu. Sikap saya lain. Saya harus menciptakan kerja. Dalam hati saya ada dasar pendirian, malah dapat saya katakan filsafat saya. Kita tidak bisa menderita kalau kita tidak mau menderita. Semua ini tergantung kepada saya, mau jadi neraka atau mau jadi surga. Dan sel saya mau saya jadikan surga bagi saya. Pekerjaan saya ada dua, berpikir dan mendidik orang yang di sel itu. Saya nasihati dan saya ajari membaca. Saya pikir, "Apa arti hidup ini?" Jadi, saya jalani hidup ini dengan tekad yang keras. Kalau tidak begitu, tidak bisa. Waktu diperiksa, saya ambil keputusan untuk jujur saja. Berbohong pun tidak ada gunanya. Kertas itu pasti sudah ada di tangan mereka. Kalaupun saya harus mati, lebih baik mati dengan benar, tak usah berbohong lagi. Saya keluarkan semua pikiran saya tentang politik, nasionalisme, demokrasi, agama, dan pergerakan nasional. Saya mendapat kepuasan sendiri dari pemeriksaan tersebut karena saya membuka hati saya sendiri. Pemeriksaan itu berjalan lama sekali, dari pukul 8 pagi hingga pukul 13 siang. Akhirnya si pemeriksa bertanya, "Jadi, kalau begitu, Anda tidak percaya bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaannya kepada Indonesia?" Saya jawab, "Melihat kelakuan bangsa Jepang di Indonesia ini, saya tidak percaya bahwa bangsa Indonesia betul-betul akan diberi kemerdekaan oleh bangsa Jepang." Mendengar ucapan saya yang terus terang itu, dia terhenyak beberapa lama. Perlahan-lahan dikeluarkannya dari saku, sebuah foto istri dan anak-anaknya. Lalu, diperlihatkannya kepada saya. "Saya juga tidak senang dengan kelakuan bangsa saya di negeri ini." Ada perasaan dekat pada saya. Setelah itu, saya diizinkan membaca buku yang dibawa dari rumah. Nah, inilah kesempatan baik untuk membaca buku filsafat yang paling berat. Saya pelajari filsafat Kahn. Setelah 3 bulan ditahan, saya dibebaskan. Ketika Jepang menyerah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, ketika itu terpikir pada saya, bahwa lapangan saya adalah menulis dan mendidik. Mendiang istri saya meninggalkan emas, sedikit. Saya jual emas itu, lalu saya beli kertas satu gudang. Mulailah saya mencetak di Jalan Percetakan Negara sekarang. Saya menerbitkan majalah Pembangunan. Sesudah proklamasi, jelaslah, Sjahrir menjadi pusat pemuda-pemuda. Teman-teman Sjahrir, seperti Subadio Sastrosatomo, Soedjatmoko, Soedarpo dekat dengan Partai Pendidikan Nasional, yang sesudah perang, menjelma jadi Partai Sosialis Indonesia. Sejak semula, saya memang dekat dengan Sjahrir. Ia itu bukan saja masih keluarga saya, tetapi pikirannya sejalan dengan pikiran saya yang liberal. Sebagai seorang pendidik yang ikut serta dalam pergolakan pemuda di Jakarta, saya merasakan bahwa kita dari kaum cendekiawan mesti bertindak. Saya berinisiatif mengadakan Perkumpulan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan yang saya ketuai. Wakil ketuanya, Prof. Sarwono Prawirohardjo, dan sekretarisnya, Mr. Ismail Thayeb dan Mr. Prayitna. Pendeknya, di sana berkumpul kaum cendekiawan Indonesia, seperti Ir. Karim, Leimena, Sumitro Djojohadikusumo. Artinya, untuk menjaga agar pemuda-pemuda kita jangan hanyut ke tangan NICA. Ketika itu, Belanda berkuasa, sedangkan Pemerintah Indonesia sudah pindah ke Yogya. Kami mengorganisir kursus-kursus. Tentang sosiologi, ekonomi, politik, dan sebagainya. Saya sendiri mengadakan kursus filsafat, yang kemudian saya kumpulkan menjadi buku Pembimbing ke Filsafat. Setelah itu, kami mendirikan suatu universitas darurat bersama Suwandi, Prof.Dr. Mulia, Soediman, menandingi Universiteit van Indonesia yang kepunyaan Belanda. Di sana, saya memimpin bagian sastra. Walaupun tidak mendapat sokongan sedikit pun dari Pemerintah di Yogya, kami menganggap diri kami orang Yogya. MENJELAJAH DUNIA, MENANGGUK ILMU Suatu ketika, saya berselisih dengan Ali Sastroamidjojo, yang ketika itu jadi menteri pendidikan. Tahun 1948, ketika diadakan Kongres Filsafat di Belanda -- yang didukung Unesco -- saya mendapat undangan. Nah, ketika saya berangkat, saya langsung dipecatnya. Kepergian saya itu dianggapnya berkhianat -- menerima pekerjaan dari pihak Belanda. Meskipun sebelum berahgkat -- ketika itu saya anggota Partai Sosialis Indonesia -- saya bicara dengan Sjahrir dan teman-teman lainnya. Semuanya mengatakan, "Pergi saja." Pulang dari Belanda, saya memusatkan perhatian sepenuhnya pada percetakan, penerbitan, dan majalah yang saya terbitkan itu. Perusahaan saya sangat maju, dan saya sering bekerja sampai pukul 24.00. Di Jalan Sabang, saya beli rumah yang menjadi toko bukunya. Dengan demikian, ketika itu, saya mendapat uang yang boleh dikatakan banyak. Selain itu, saya sering ke Eropa. Antara lain, saya mengunjungi Kongres Pers di Laussanne, Swiss, bersama Achdiat Kartamihardja. Sesudah kongres itu, saya mau mendalamkan pikiran saya tentang Eropa, mau mengetahui kebudayaan dan pikiran Eropa itu. Dan saya ingin sekali mengetahui, apakah pikiran orang Eropa tentang Amerika yang ketika itu telah mengundang saya. Eropa telah turun derajatnya sebagai pemimpin dunia, dan pusat dunia telah diambil alih oleh Amerika. Dalam usaha saya untuk mengetahui sikap Eropa terhadap Amerika itu, yang saya anggap penting adalah pertemuan dengan Karl Jaspers, salah seorang filsuf terbesar abad ini, di Bazel, Jerman Barat. "Bagaimana pikiran Tuan tentang kebudayaan Amerika?" Jawabnya, "Amerika itu kaya, ilmunya jauh, teknologinya kuat. Tetapi, tentang kebudayaan, Eropa masih tetap pusat kebudayaan. Kebudayaan mereka datang dari Eropa." Mendengar ucapannya itu, bangkit dalam pikiran saya suatu perbandingan. "Kalau Tuan bercakap demikian, seingat saya, ada hubungan antara Asia dan Eropa. Kalau saya bertanya kepada orang Asia tentang Eropa, maka jawaban yang saya berikan kurang lebih sama dengan jawaban yang Tuan berikan tentang Amerika. Eropa itu kaya, maju ilmu dan teknologinya. Tetapi, cahaya masih tetap datang dari Asia. Dengan demikian, kedudukan Eropa terhadap Amerika sudah sama dengan kedudukan Asia terhadap Eropa." Sesudah habis perang, di luar negeri, saya terkenal sebagai ahli bahasa, yang menggerakkan bahasa Indonesia. Malah, ada orang yang mengatakan saya adalah Ayah Bahasa Indonesia. Yang sangat menarik perhatian adalah Tata Bahasa Baru yang saya terbitkan, yang menempuh jalan yang baru sekali. Pada 1950, saya diundang Unesco untuk ikut membicarakan soal pelajaran bahasa. Dalam perdebatan di sana, kelihatan pada saya, kecenderungan orang menekankan, "belajarlah bahasa sendiri dulu, baru mempelajari bahasa asing." Saya menentang pendirian itu. Saya menganggap, makin cepat diajarkan bahasa asing, makin bertambah baik. Dalam hal itu, saya masih ingat betul, kecakapan bahasa Inggris saya jelek sekali. Tetapi, ketika itu, saya agak keras kepala mempertahankan keyakinan saya. Pada 1952, bersama Dr. Syafruddin, saya mendapat undangan untuk menghadiri seminar yang dipimpin Dr. Kissinger di Harvard selama 2 bulan. Sesudah itu, saya keliling Amerika. Waktu itu, istri saya, Sugiarti, diundang pihak pendidikan Amerika. Kami bertemu di Los Angeles. Tapi, itu menjadi peristiwa yang menyedihkan saya. Pagi- paginya kami bertemu, siang hari kami pergi ke rumah Assaat. Waktu istri saya membantu di dapur, tiba-tiba ia mendapat serangan jantung. Hari itu juga ia wafat. Tinggallah saya seorang diri lagi bersama lima anak. Yang tertua, Samiati, ketika itu justru baru diterima di Cornell University, sebagai pembantu Prof. Atkins. Iskandar, barangkali sudah 2 tahun di ITB Bandung. Sedangkan Sofjan, kalau tak salah, sudah masuk tahun pertama pada Fakultas Ekonomi UI Jakarta. Selain itu, dua anak yang ditinggalkan oleh Sugiarti, yaitu Mirtati, umurnya sekitar 6 tahun, dan adiknya Artaria, berumur 3-4 tahun. Dengan lima anak di tengah bermacam-macam pekerjaan, jelas bagi saya, saya mesti mencari ganti istri. Untuk mengurus anak-anak. Sewaktu kongres penulis seluruh dunia di Berlin, 1953, saya berusaha melihat kemungkinan, dapatkah saya kawin dengan seorang Eropa. Bagi saya, jelas, kebudayaan Eropa harus saya kuasai, selanjutnya akan berkuasa dalam abad kita. Nah, pada kongres itulah, saya bertemu dengan Dr. Margret Axer yang ketika itu menjadi redaktur kebudayaan pada surat kabar di Koblenz. Dia doktor bahasa dan sastra Jerman, yang juga menguasai sastra Inggris. Sebenarnya, semuanya berlaku amat cepat, kalau tak salah, tidak sampai 3 bulan, kami menikah di Koblenz. Ketika itu, pekerjaan saya yang terpenting adalah mengurus percetakan dan penerbitan Pustaka Rakyat. Sejak semula, sikap saya terhadap penerbitan itu, tidak mesti bisnis. Ada suatu idealisme. Idealisme itu kenyataan dalam penerbitan kembali majalah Pujangga Baru. Kemudian saya lanjutkan perjuangan saya untuk bahasa Indonesia, dengan menerbitkan majalah Pembina Bahasa Indonesia. Pikiran saya tentang ilmu bahasa dan linguistik berbeda dari pikiran ilmu linguistik yang lain. Sejak dari semula saya yakin, mesti dilakukan penerjemahan besar-besaran, sehingga menjadi bahasa Indonesia modern yang lengkap buku-bukunya. Pekerjaan penerbitan itu mengisi hati saya. Saya lebih tertarik pada pekerjaan akademi, kebudayaan, filsafat, dan ilmu. Jadi, pada 1954, saya terima jabatan pendidikan masyarakat untuk memberi ceramah tentang krisis ilmu, melalui RRI tiap minggu. Ada 33 ceramah sampai 1955. Dalam menulis ceramah itu, keyakinan saya bertambah kuat, bahwa yang dinamakan etik itulah yang menentukan kelakuan manusia dalam kebudayaan. Keyakinan saya, bahwa etik itu adalah inti sari, pokok dari tia-tiap kebudayaan. Ceramah-ceramah itu hendak saya jadikan buku. Suatu hari, saya mengundang Prof. Berling, teman dekat saya. Ketika itu, ia menjadi profesor filsafat di Universitas Indonesia. "Mengapa engkau tidak membuat disertasi filsafat tentang itu?" katanya. Seminggu kemudian, karangan-karangan itu saya berikan kepadanya untuk membuat rancangan tesis. Pada 1955-1956, saya duduk di Konstituante mewakili Sumatera Selatan dari PSI. Di Konstituante, ada perdebatan saya dengan Mohammad Natsir dari Masyumi. Waktu itu, saya mempertahankan sosialisme yang demokratis. Sosialisme demokrat menghendaki negara demokrasi yang sekuler. Manusia bebas beragama. Natsir menghendaki negara Islam. Memang, dalam pemilihan pertama itu, banyak sekali partai. Akhirnya, Pancasila itu merupakan kompromi untuk sebuah negara kesatuan. Ketika itu, bangkit gerakan di Sumatera dan Sulawesi yang meminta otonomi lebih besar dari pemerintahan Sukarno. Kita yang berasal dari luar Jawa menganggap bahwa uang -- yang banyak datang dari daerah-daerah -- itu dihabiskan di Jakarta dan Pulau Jawa. Saya terlibat dengan gerakan itu. Dengan beberapa orang Sumatera Selatan di Jakarta, saya menggabungkan diri dengan orang-orang Palembang. Kami sering mengadakan rapat di Jakarta dan Palembang, meminta otonomi yang lebih besar, uang yang dihasilkan daerah itu dipakai untuk membangun daerah. Waktu itu, dengan tidak diduga-duga, saya diangkat menjadi Ketua Badan Kesatuan Adat Seluruh Sumatera. Tentu, orang tahu bahwa saya adalah pelopor modernisasi. Saya terangkan, kita harus mengembangkan adat kita sepenuh-penuhnya. Ketika saya ke Jakarta, teman-teman saya, terutama Soedjatmoko, agak heran, di satu pihak saya begitu populer menjadi ketua himpunan adat itu. Sebaliknya, saya juga ditertawakan karena mau menerima adat yang pada hakikatnya saya serang hingga saat itu. Keadaan itu keadaan yang ganjil. Tetapi, dalam politik, apa yang tidak ganjil? Nah, tak berapa lama sepulang dari Sumatera Barat, rumah saya digeledah Polisi Militer. Saya dikenai tahanan kota. Suatu ketika, pada 1957, saya mendapat undangan dari Tokyo, untuk menghadiri kongres yang diadakan Pen Club. Sebagai tahanan kota, tidak mungkin saya ke Tokyo. Tapi, karena saya kenal dengan Perdana Menteri Ir. Juanda, saya katakan padanya tentang itu. Sambil tersenyum, Juanda berkata, "Kirim saja surat kepada Jenderal Nasution tentang hal itu, dan minta izin padanya untuk pergi ke Tokyo. Salinan surat itu kirimkan kepada saya." Di luar dugaan, semua paspor dan visa selesai dalam beberapa hari saja. Tetapi, dalam surat izin ke Tokyo itu dituliskan, kalau pulang ke Indonesia, dengan sendirinya saya mendapat tahanan kota lagi. Tapi mujurlah, ketika kongres itu, ada berita dari Indonesia bahwa tahanan kota tersebut telah dihapuskan. Pulang ke Indnesia, saya terus mengerjakan tesis saya bagi Prof. Berling. Akhir 1957, tesis saya serahkan kepadanya. Tetapi, karena krisis Irian Barat dia meletakkan jabatan di UI Jakarta, dan pulang ke negerinya. Sedangkan saya pergi ke Eropa untuk kongres di Paris. Permulaan pemberontakan Permesta, saya berada di Muenchen bersama anak saya Iskandar, yang sedang belajar di Technische Hoogschule. Selama di Jerman itu, sebagian besar waktu saya habiskan di perpustakaan untuk melanjutkan penyelidikan pemikiran saya tentang nilai-nilai yang menjadi pokok tesis saya pada Prof. Berling. Saya memutuskan untuk tinggal di Eropa. Di sanalah saya sampai pada suatu kesimpulan, yang menjadi inti sari filsafat saya, yaitu perbedaan antara etik pribadi dan etik masyarakat. Dalam teori saya sekarang, pribadi itu adalah pusat dari kata hati yang menyebabkah individu itu menjadi otonom. Sedangkan yang dinamakan watak itu adalah istilah dari sosiologi, di mana watak individu itu ditetapkan oleh masyarakat. Masyarakat yany mendidiknya supaya menjadi orang berwatak. Pendidikan watak adalah pendidikan dari luar. Pada akhir 1958, ketika saya sudah agak jauh dalam teori saya, saya mengirim surat kepada Rockefeller, adakah kemungkinan mereka memberi bantuan kepada saya untuk pergi ke Amerika. Dalam waktu singkat, rupanya, orang Rockefeller dan Stadford, Center for Advance Study for the Behavioral Sciences, setuju mengundang saya, pertengahan 1959, selama setahun. Masa itu sebenarnya masa yang paling baik, paling tenang, dalam hidup saya. Di Bronx, lahir anak laki-laki saya yang bungsu. Tetapi, ketika masa setahun itu habis kenyataannya, buku saya belum selesai. Tetapi dapat diperpanjang oleh bantuan dari Asia Foundation. Kira-kira pada Desember 1960, selesailah manuskrip buku itu. Bagi saya, merupakan kepuasan yang besar sekali mengerjakan pekerjaan itu hampir 7 tahun lamanya. Ketika selesai dan mesti meninggalkan centre mau ke manakah saya sekarang? Pulang ke Indonesia, keadaan masih bergolak, dan Sukarno masil berkuasa. Sedapat mungkin, saya hendak mempertahankan tinggal di luar negeri. Mujurlah. Dengan menghubungi East West Centre di Hawaii -- yang baru berdiri setahun -- saya mendapat undangan sebagai visiting scholar. Setahun di Hawaii, pada permulaan 1962, menjadi soal lagi. Mau ke mana sekarang. Keadaan di Indonesia belum memungkinkan untuk bekerja dengan tenang. Dalam memilih-milih itu, saya teringat Malaya, yang ketika itu namanya Persekutuan Tanah Melayu. Tiba di Malaysia, saya membantu Dewan Bahasa dan Pustaka. Ketika itu, saya datang ke sana mengusulkan penulisan pengembangan bahasa Melayu. Kalau tak salah, pada 1963, Prof. Roolvink -- yang menjadi kepala Mulays Studies di University of Malaya -- meletakkan jabatan. Saya diusulkan menjadi penggantinya. Nah, dengan demikian, saya diangkat menjadi profesor dan kepala Malays Studies, dengan kontrak 5 tahun. Tugas saya yang terpenting adalah: Bagaimana membawa orang Melayu ke arah modern. Dalam hubungan ini, saya melihat semuanya dari jurusan kebudayaan. Sastra Melayu harus mesti dimasukkan ke dalam sastra modern. Dengan demikian, Malay Studies dirombak sama sekali, dijadikan 4 jurusan. Jurusan linguistik, sastra, masyarakat, dan keempat, jurusan umum. Dalam jurusan sastra, saya masukkan sastra Eropa dan Amerika untuk dibandingkan. Fakultas-fakultas lain marah. Apa hubungannya sastra Eropa dan sastra Amerika dengan sastra Melayu? Bagi saya, tidak lain, supaya membuka pikiran orang Melayu akan dunia modern. Bagi saya, sastra modern itu adalah sastra dunia yang berpokok kepada sastra Eropa dan Amerika. Selama di luar negeri, Sofjan yang mengurus percetakan yang saya tinggalkan. Kemudian dibantu anak saya Samiati -- setelah tamat dari Cornell bekerja di PBB -- yang pulang ke Jakarta. Percetakan berjalan baik. Sofjan sendiri sangat tertarik pada pekerjaan ini, hingga dia meninggalkan tesis terakhirnya di Ekonomi UI untuk belajar grafika di Amerika. Dia tak menyelesaikan pelajaran ekonominya, karena jadi direktur percetakan Dian Rakyat. Suatu hari yang penting adalah konfrontasi dengan Malaysia. Sebelum hal itu terjadi, anak-anak mengirim surat kepada saya, supaya meninggalkan Malaysia. Sebab, kalau konfrontasi terjadi, saya berada di negara musuh. Ketika konfrontasi berlangsung, mungkin orang menduga saya berdiri di pihak Malaysia. Saya sendiri tidak mengerti apa yang dikehendaki Indonesia dalam konfrontasi itu. Sukarno memerintahkan untuk menyita semua milik saya di Indonesia, karena dianggap memihak kepada musuh. Juga percetakan yang dipimpin Sofjan itu. Bagi saya, tidak ada alasan untuk memutuskan kontrak itu, karena pada dasarnya saya tidak mengerti dan tidak setuju dengan konfrontasi tersebut. Sebelum percetakan itu diambil Pemerintah, Ibu Suryamihardjo mertua Sofjan, bertemu dengan Sukarno membicarakan pembeslahan percetakan tersebut. Akhirnya, percetakan itu tidak jadi pindah ke tangan Pemerintah, sampai saya pulang pada 1968. Percetakan itu menjadi besar. Bermacam-macam buku dan majalah diterbitkannya: Femina, Gadis, Ayahbunda. Dalam hal ini, saya mesti mengakui bahwa Sofjan sangat berhasil. Dan sering saya katakan kepadanya, saya tidak akan sanggup membuatnya sebesar itu. Sepulang dari Malaysia, saya diminta jadi Rektor Universitas Nasional (Unas) dan jadi Ketua Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK), yang saya dirikan pada 1946. Ketika itu Unas tidak punya apa-apa. Suatu ketika, ada aturan dari Kopertis, bahwa ketua yayasan tak boleh jadi rektor sendiri. Ketua yayasan saya kembalikan kepada Dr. Sukmadi. TOYABUNGKAH Pada 1969, saya diangkat menjadi Ketua Akademi Jakarta. Ketika itu, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mau mengubah Taman Ismail Marzuki menjadi pusat kebudayaan. Maksudnya, Akademi Jakarta ini sebagai suatu badan kesenian, badan sesepuh kesenian, namun tidak mengadakan ilmu. Suatu ketika, untuk bagian ilmu, diangkat Mr. Sunario. Tapi, rupanya bagian ini tidak berkembang. Sehingga, sampai sekarang, yang ada itu Akademi Jakarta sebagai Akademi Kesenian. Sebagai anggota Akademi Jakarta, saya harus memikirkan dan barangkali bertanggung jawab akan perkembangan seni di Indonesia. Maka, saya dirikan Balai Seni Toyabungkah. Toyabungkah tempat yang paling tandus di Bali. Kalau orang bertanya, mengapa Pak Takdir sampai ke sini, saya sendiri menganggapnya agak ganjil. Sebenarnya, asal mulanya pada 1967, ketika saya boleh pulang ke Indonesia. Saya ke Bali. Suatu hari, saya makan di restoran di Penelokan, yang melihat ke bawah ke Danau Batur. Bagi saya, pemandangan itu indah sekali. Saya tanya kepada pemilik restoran, apakah saya bisa membeli tanah di bawahnya. Katanya, tentu murah sekali, karena tidak ada orang yang mau ke sana. Saya ingat, banyak orang asing datang ke Bali sebagai penggemar seni, seperti Bonet dan Walter Spies. Mereka manusia penuh kreatif. Karena inilah, saya teringat, apa sebenarnya yang dilakukan orang Indonesia supaya dapat menandingi orang-orang asing ini? Pikiran itu membuat hati saya menjadi panas. Dengan spontan, hari itu juga, saya pergi ke bawah dan mengambil keputusan untuk membeli tanah di Toyabungkah. Pada kongres kaum orientalis sedunia di Paris, saya mendapat kesempatan untuk mengetahui kedudukan Paris sebagai pusat kebudayaan. Terus terang, avant garde yang diperlihatkan kepada saya lebih banyak memperlihatkan keeksentrikan. Saya kecewa. Paris bukanlah kota pusat kebudayaan lagi seperti yang saya harapkan, dalam dunia yang penuh pertentangan sekarang ini. Dari Paris, saya ke New York mengunjungi Lincoln Centre. Saya ingin menginterviu direktur Lincoln Centre, sebab saya ingin mendapat pikiran tentang seni zaman sekarang maupun perkembangannya di masa yang akan datang, berhubung saya telah membeli tanah di Toyabungkah. Tak satu pun pertanyaan saya itu dijawabnya. Jelaslah bagi saya, kedudukannya sebagai direktur itu hanyalah mengumpulkan uang, bukan berpikir tentang seni. Kira-kira Mei 1970, ketika mengunjungi konperensi di Bologna. Malam, saya tiba di Roma. Ketika pagi menjelang siang, pesawat yang saya naiki hendak take off, tiba-tiba mesin terbang itu terlempar ke bawah. Pesawat itu terbakar. Mujur, pesawat bisa dihentikan dan pintu darurat dibuka. Saya merebahkan diri dan meluncur ke bawah. Saya jatuh. Kaki dan tangan saya patah. Saya dirawat di rumah sakit Katolik di Roma, kira-kira 3 bulan. Dua tahun setelah itu, saya menuntut 200 ribu dolar pada perusahaan Scandinavian Air Service (SAS). Tapi, akhirnya saya mendapat 50 ribu dolar. Dengan uang inilah saya bayar tanah Balai Seni Toyabungkah, yang ketika itu sangat murah. Kalau tak salah, harganya Rp 250 per meter. Yang sangat membantu saya mendirikan Balai Seni Toyabungkah, ketika itu, Wayan Sudira dan Zulkarnain Jamin. Melalui Wayan Sudira, dicari penabuh dan penari, dan saya beli seperangkat gamelan. Balai Seni Toyabungkah bukanlah hanya bermain-main mengulang tari yang sudah ada di Bali. Pusat itu adalah pusat perenungan dan penciptaan, A Centre for Reflection and Creation. Kita mesti mencipta. Tari yang pertama kali dibuat adalah Terang Bulan di Danau Batur. Tari yang kami ciptakan itu memakan waktu 8 bulan. Penarinya dari berbagai-bagai tempat, kira-kira 30 orang penabuh dan penari. Ketika itu, nama Ni Ktut Reneng sering disebut orang. Suatu hari, dia datang ke Balai Seni Toyabungkah. Saya bercakap-cakap dengan dia dan saya bawa berkeliling. Akhirnya, "Pak Takdir, saya mau tinggal di sini," katanya. Sejak saat itulah Ni Ktut Reneng menjadi bagian dari Balai Seni Toyabungkah. Usaha untuk menciptakan tari ini mendapat kegairahan karena datangnya Ni Ktut Reneng. Dalam menciptakan tari-tarian, dia memang aktif. Ni Ktut Reneng adalah seorang tua yang sudah di atas 70 tahun, dan menari sejak usia 7 tahun. Pada waktu kecilnya, malah membawakan tari Sang Hyang Bidari. Dalam tari itu, si penari kecil sampai kesurupan. Pada suatu ketika, Ibu Reneng membawa Jero Puspowati, penari terkenal -- di zaman Bung Karno -- yang telah melawat ke luar negeri, antara lain Rusia. Dengan demikian, eksperimen di Balai Seni Toyabungkah dapat dilakukan dengan lebih ramai dan terbuka. Pada umumnya, masyarakat di sana girang melihat kami. Lambat-laun, orang-orang di sekitarnya bukan saja mendapat kesempatan kerja di Balai Seni Toyabungkah, tapi anak-anaknya juga mulai ikut belajar menari. Di Toyabungkah, Ni Ktut Reneng terus menciptakan berbagai-bagai tari. Salah satu yang penting adalah tari Perempuan di Persimpangan Jalan, yang berpokok pada 8 sajak saya. Selain itu, bermacam-macam tari diciptakan, misalnya tari Dari Gelap Terbitlah Terang, Seluruh Alam Semesta, Bunga Mekar di Toyabungkah. Pada 1978, saya memberanikan diri mengadakan International Conference on Art and the Future, konperensi intenasional pertama tentang seni di masa depan. Selain di Jakarta dan Yogyakarta, semua peserta pergi ke Toyabungkah selama 3 hari. Dalam rapat di Balai Seni Toyabungkah, semua peserta sepakat membuat suatu organisasi untuk melanjutkan usaha seni di masa datang. Lalu didirikanlah International Associations for Art and Future. Saya ditunjuk sebagai ketua panitianya, dan Nyonya Padma dari India sebagai sekretaris. Setelah konperensi tersebut, diterbitkan Newsletter Art and Future, yang dikirimkan ke seluruh dunia, dari Balai Seni Toyabungkah. Selain itu, saya juga berusaha mengumpulkan buku-buku kesenian tentang Bali dan kesenian dunia lainnya. Sekarang, ada sekitar 1.000 buah buku, berasal dari seluruh dunia. Toyabungkah juga mendapat bantuan dari kedutaan-kedutaan asing dan Asia Foundation. Jadi, kalau orang datang ke Balai Seni Toyabungkah, selain melihat tari-tariannya dan perpustakaannya, banyak yang datang untuk bertukar pikiran tentang seni di masa depan. Seperti rombongan penari dari Tenri Kyo University, Jepang. BAHASA INDONESIA DAN BUDAYA Kita sudah menciptakan suatu prestasi luar biasa, yaitu menciptakan bahasa untuk suatu daerah yang luas. Yang kalau diletakkan di peta benua Eropa, terbentang dari Irlandia sampai Laut Kaspia. Jadi, jauh lebih besar dari Eropa Barat. Di daerah yang 400-500 jumlah bahasa yang sangat berbeda-beda. Bedanya jauh lebih besar antara bahasa Jerman dan bahasa Inggris, malah lebih besar antara bahasa Jerman dan bahasa Prancis. Itu sebenarnya, pada pikiran saya, adalah achievement. Ciptaan linguistik tentang bahasa yang paling besar dalam abad ini. Itulah bahasa Indonesia. India belum berhasil. Mungkin mereka tidak berhasil. Sampai sekarang, masih bunuh-bunuhan karena bahasa. Sri Lanka yang kecil juga tidak berhasil. Cina pun masih jauh terbelakang. Tetapi, sesudah menciptakan bahasa itu, coba pikirkan. Dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi kita, tidak ada satu mata pelajaran pun yang perlu memakai bahasa asing. Oh, di India saja, masih banyak menggunakan bahasa asing. Di Cina pun, belum tentu. Jadi, hebat betul Sumpah Pemuda itu. Tapi, kalau kita lihat follow-up-nya, tidak betul. Mestinya, setelah menciptakan suatu bahasa yang seluas itu -- suatu bahasa terbesar di dunia -- kita mesti mengisi bahasa tersebut. Kita gagal dalam menerjemahkan sebanyak mungkin buku-buku seperti orang Jepang, apa yang dia perlukan, tidak usah dengan bahasa asing. Ini kegagalan kita. Kegagalan masyarakat, juga kegagalan pemerintah. Kita mesti berdisiplin. Disiplin itu hanya dapat dilakukan di sekolah. Sekolah harus menekankan dengan benar-benar, disiplin tentang tata bahasa, juga tentang kata-kata. Kalau terlampau banyak kata-kata daerah yang dimasukkan, ya, kacau lagi kita. Orang daerah ini mengerti, orang daerah itu tidak. Jadi, memasukkan kata-kata daerah itu pun, terutama sekolah dan pers pun, harus hati-hati. Kalau tidak perlu, jangan. Dan, satu lagi yang berbahaya, bahasa kita terlampau banyak akronim. Coba, baru-baru ini saya membaca di surat kabar, "pilkades". Saya pikir, apa pula ini? Rupanya, ringkasan dari "pemilihan kepala desa". Apa mesti begitu? Itu tidak ada gunanya sama sekali. Pemilihan kepala desa, sudah. Nah, lagi, seperti ringkasan budikbud... apa itu namanya... mendikbud. Buat apa? Menteri Pendidikan sudah cukup. Kata Menteri Pendidikan, kita semua sudah tahu. Tidak akan salah paham. Atau Menteri Pengajaran. Jadi, ini harus dikurangi sama sekali. Sebab, kalau begitu, bukan saja orang Indonesia yang tidak bisa membaca, tapi orang asing yang belajar bahasa kita semakin tidak mengerti. Betul sekali keluh-kesah Prof. Ismail Husin, dari Malaysia. Katanya, sekarang ini, pengaruh bahasa Indonesia ke Malaysia berkurang. Karena orang Malaysia tidak mengerti lagi surat kabar Indonesia. Terlampau banyak akronim dan terlampau banyak bahasa daerah. Kata-kata Jawa terlalu banyak. Satu dua kata memang tidak bisa dielakkan. Kata-kata dari bahasa Minangkabau juga banyak masuk. Pendeknya, kita harus bertanggung jawab dan berhati-hati memasukkan kata-kata daerah. Jangan terlampau banyak. Kadang-kadang, ada yang istimewa. Seperti kata kiat, dari Minangkabau. Orang Jawa tidak mengerti arti kata ini. Kita memang tidak bisa membatasinya benar-benar, tapi pihak guru mestinya bertanggung jawab di sekolah, termasuk pihak jurnalis yang ikut membikin bahasa. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang besar. Bahasa Melayu itu sebagian dari bahasa di Singapura, Malaysia, dan Brunei. Orang Indonesia jangan bodoh memisahkan diri dari mereka. Malah, mestinya harus memimpin untuk bekerja sama. Saya telah lama mengusulkan supaya jangan diadakan berbagai-bagai pusat pembinaan bahasa. Adakan satu saja untuk Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei, sehingga kata-kata dan aturannya berlaku untuk semua bangsa ini. Akhirnya, bahasa ini menjadi bahasa internasional. Selangkah lagi, adakan kerja sama yang erat. Misalnya, mengadakan satu ensiklopedi untuk daerah Asia Tenggara ini. Terjemahkan Encyclopedia Britannica. Jepang sudah melakukannya. Tidak banyak ongkosnya, ya, 10 juta dolar -- dalam tempo 7 tahun sudah selesai. Oleh Jepang, 60 persen diterjemahkannya, 40 persen ditambahkan tentang soal-soal Jepang. Kalau untuk ASEAN, boleh juga ditambahkan tentang ASEAN. Jadi, bahasa Indonesia sekarang ini masih bahasa terkebelakang, karena buku-bukunya tidak cukup. Orang yang hanya pandai berbahasa Indonesia, horisonnya terlampau kecil. Langitnya terlampau rendah. Akibatnya, orang muda kita sekarang belum dapat jalan. Pengetahuannya terlampau sempit, dan kesadarannya terlalu sedikit. Mau membaca, buku tak ada, bahasa Inggris tidak pula dikuasai. Mau belajar ke luar negeri, tidak dapat pula, melihat ke dalam negeri, juga tidak pandai. Soalnya, menurut saya, pemerintah kita kurang berusaha. Masih bicara tentang national identity, dan sebagainya. Mestinya bukan begitu. Tapi, soal bagaimana merebut ilmu, dan merebut teknologi. Dalam pertemuan rektor perguruan tinggi swasta, saya katakan, Malaysia mempunyai mahasiswa di luar negeri sehanyak 65 ribu orang. Kita, yang sepuluh kali lebih besar dari Malaysia, mestinya mempunyai 650 ribu mahasiswa di luar negeri. Yang ada, tidak sampai 50 ribu orang. Dan dari 50 ribu itu, 80 persen keturunan Cina. Pemerintah tidak melihat itu. Pada rapat itu saya katakan, "Saya menuntut pada Pemerintah, tiap tahun harus mengirimkan 5.000 mahasiswa yang terpandai." Saya dengar, Taiwan mempunyai 100 ribu mahasiswa di Amerika Serikat. Di Harvard saja, 10 persen orang Taiwan. Pemerintah kita masih tidur. Masih tidur tentang penerjemahan buku-buku. Masih tidur tentang perlunya merebut ilmu di luar negeri. Padahal, ini penting betul. Jadi, pada pikiran saya, maka itu orang selalu bicara tentang kebudayaan luhur nenek moyang kita dan sebagainya. Padahal, yang patut ditakuti dari kebudayaan Barat itu sebenarnya hanya pada seni rock and roll, kumpul kebonya. Malah, itu yang diambil. Saya betul-betul tidak mengerti, mengapa film-film di RCTI itu seratus persen dari Amerika. Kenapa? Saya malu sekali. Kita tidak punya pendirian. Bagi saya, bukan itu yang Barat. Bagi saya, Barat itu adalah ilmu pengetahuannya, teknologinya, disiplinnya, kebersihannya. Jiwa kita masih terbelakang. Kita masih berpikir tentang national interest, religious interest, ideological interest. Padahal, sekarang ini the human interest mesti di atas. Sebab, kita bisa hancur. Dalam perlombaan senjata, kalau kita berperang, manusia habis -- hanya dengan bom atom. Kalau begitu, tidak bisa tidak, sekarang kita menuju federasi dunia. Dalam federasi dunia, tidak ada lagi persenjataan. Polisi sudah cukup. Ini soal filsafat. Orang belum mengerti revolusi jiwa yang berlaku sekarang, karena menyatunya semua kebudayaan. Sekarang ini saya katakan, kebudayaan Cina kebudayaan saya, kebudayaan India kebudayaan saya, kebudayaan Eropa kebudayaan saya. Saya lahir tidak saya minta jadi orang Indonesia. Kalau saya selagi bayi waktu itu diculik dan dibawa ke Jepang, saya jadi orang Jepang. Budi manusia itu sama. Saya hidup dalam semua kebudayaan. Istri saya orang Eropa, tidak ada perselisihan. Jadi, yang diminta dari kita sekarang ini adalah kesanggupan kita mengerti manusia, mengerti semua kebudayaan. Dan dalam mengerti itu, kelihatan pada kita bahwa semua umat manusia itu saudara kita, yang sama-sama terbuang ke muka bumi ini dalam waktu yang pendek. Tugas kita adalah: Bagaimana membuat bumi kita ini sebaik-baiknya untuk masa yang akan datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini