Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Om Liem Boleh Bersenang-Senang Saya Belum Pensiun

Pengusaha Liem Sioe Liong secara operasional tidak aktif lagi. Liem telah membentangkan usahanya di berbagai negara dan kini menjangkau kawasan industri pulau Batam. Ia menerapkan manajemen matriks.

10 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIEM Sioe Liong pensiun? Benar sekali. Hal ini dipastikan oleh Johannes Kotjo, Executive Director Salim Group, dalam satu wawancara khusus dengan TEMPO di Wisma Indocement, kantor pusat Salim Group, di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Kamis pekan silam. Berbicara tentang pola manajemen baru dalam "kerajaan" Salim, yang terbagi atas empat kelompok divisi, dan seluruhnya berada di bawah komando Anthony Salim, maka secara transparan muncullah kepastian itu. Bahwa taipan Liem secara resmi tak lagi "bertakhta" di atas singgasananya. "Lantas, Om Liem nggak kerja lagi?" TEMPO mengusut lebih jauh. "Oh, dia jadi chairman kita, dia juga jadi semacam PR kita," jawab Kotjo. "Artinya, secara operasional Om Liem sudah tidak aktif lagi?" TEMPO masih ingin memastikan. "Nggak, nggak lagi," Kotjo menegaskan. "Kalau dia ikut operasional, nanti repot" tambahnya, polos-polos saja. Agar informasi yang terasa bagai kejutan ini tidak diragukan kebenarannya, maka ia pun menjelaskan bahwa seluruh proses pengambilan keputusan dalam korporasi Liem, yang mencakup sedikitnya 200 perusahaan itu, kini ditentukan bersama. "Kita yang menentukan," ucap Kotjo, seraya menegaskan bahwa "kita" itu adalah tim pengambil keputusan: Presiden Direktur Anthony Salim dengan para executive director beserta jajaran di bawahnya yang terkait. Misalkan tiba-tiba Om Liem muncul -- menurut sekretarisnya dia memang tiap hari menampakkan diri di kantor, menerima tamu, dan sebagainya -- pengambilan keputusan tetap dilakukan, tanpa campur tangan orang gaek itu. Diakui oleh Kotjo, dulu Om Liem masih sering nimbrung, bilang mau begini dan begitu, tapi sekarang sudah tidak lagi. Tapi sejak kapan Liem Sioe Liong, entrepreneur terkemuka di Indonesia itu, tidak aktif lagi? "Sebenarnya, sih, sejak tiga empat tahun yang lalu," jawab Kotjo, seraya mengingat-ingat. Sungguh ironis. Tahun silam, ketika sebuah majalah ekonomi terbitan Jakarta masih sibuk menduga-duga kemungkinan mundurnya Sudono Salim, maka pada kenyataannya sang bos sudah pensiun selama dua tahun. Juga selama satu tahun terakhir, sampai laporan ini diturunkan awal pekan ini, tidak ada pernyataan resmi mengenai pengunduran diri sang taipan. Sementara itu, kalangan bisnis terus bertanya-tanya, bagaimana kalau Liem mundur, siapa penggantinya, apa dampaknya, dan seterusnya. Tidak terlalu salah, memang, kalau orang salah duga. Sepanjang satu tahun terakhir saja, Liem banyak tampil di depan umum bahkan lebih sering dari tahun-tahun sebelumnya. Ia hadir dalam banyak pesta cocktail -- sebagian dalam rangka peresmian bank-bank baru -- ia banyak senyum bahkan di depan begitu banyak kamera. Dia terus dikejar-kejar wartawan, tapi selalu berhasil menghindar. Menarik untuk dicatat, bahwa dalam semua kesempatan itu Om Liem selalu tampak bugar, demikian pula istrinya. Bahkan dalam peletakan batu pertama peresmian kawasan industri di Pulau Batam, Rabu pekan lalu, Liem tampak berseri-seri. Memasuki usia larut senja -- kalau tak salah Liem Sioe Liong yang ber-shio Naga Api lahir pada 1916 -- dalam kondisi fisik yang tidak kurang suatu apa, tentu saja adalah satu kemenangan yang patut dinikmati. Apalagi, pada saat yang sama, nama Liem Sioe Liong masih tercantum di majalah Fortune (September 1989) dalam deretan orang terkaya di dunia. Dan belum lagi sederet kebanggaan lain. Liem muda mulai meletakkan batu pertama bisnisnya di Indonesia sejak usia 22 tahun, yang kini terbentang di 26 negara. Kini kelompok bisnisnya dikelola oleh tangan-tangan tepercaya dan jauh dari kemungkinan ambruk. Kendati di mata sebagian orang citranya tak terlepas dari cacat. Dan roda-roda korporasi Grup Salim terus menggelinding melakukan bermacam ekspansi. Semua itu berperan hampir mutlak dalam ekonomi sebuah negara berkembang seperti Indonesia, dan terlalu kongkret hingga harus tetap diperhitungkan dalam situasi dan kondisi politik yang bagaimanapun juga. Mesin bisnis raksasa, yang diluncurkan oleh Liem Sioe Liong pada 1950-an dengan nama CV Waringin, kini berkembang biak menjadi lebih dari 200 nama dengan laba seluruhnya US$ 6 milyar dan aset total yang terpaut sedikit di bawah seluruh aset Pertamina. Ini diungkapkan oleh Johannes Kotjo, yang dengan yakin juga memperkirakan bahwa dalam lima tahun ke depan, aset total Grup Salim pasti bisa mengejar punya Pertamina. Kekayaan Liem pribadi oleh majalah terkemuka Fortune (September 1989) ditaksir US$ 2 milyar, dihitung dari nilai saham-sahamnya di BCA (24%), Bogasari Flour Mills (67,6%), dan First Pacific Holdings (69%) yang berpusat di Hong Kong. Tapi para pengamat di sini meragukan ketepatan taksiran Fortune, karena begitu banyak perusahaan milik Liem yang melaba tapi tak masuk hitungan. Jika Fortune menggeser posisi Liem dari peringkat ke-27 ke peringkat ke-32, maka sebaiknya hal ini tidak diterima sebagai angka mutlak. Kecenderungan Liem tak suka "mengumbar" hal-hal sekitar diri dan kekayaannya memang selalu menimbulkan pelbagai isu dan salah tafsir. Menurut Johannes Kotjo, permintaan Fortune untuk wawancara dengan Liem Sioe Liong sudah tiga kali ditolak. Dan salah sangka itu ataupun salah angka itu berlanjut, tapi Om Liem tenang-tenang saja. Dia condong untuk tidak menggubris, padahal banyak sekali "benang kusut" yang bisa diluruskan, andai kata ia bersedia sedikit saja angkat bicara (satu-satunya wawancara TEMPO dengan Liem Sioe Liong dan putranya Anthony Salim berlangsung enam tahun silam wawancara dilakukan oleh Fikri Jufri). Ketika nama 10 pembayar PPh perorangan terbesar tahun silam diumumkan, nama Liem Sioe Liong tercantum di peringkat ke-2. Masyarakat setengah tak percaya. Mengapa Atang Latif, mengapa bukan Liem? Pada 1988, nama Liem bahkan tak masuk dalam daftar. Dalam keterangannya kepada TEMPO, Johannes Kotjo malah menyatakan, "Sebenarnya dia (Liem Sioe Liong) tetap nomor satu. Sekarang nomor dua, karena Pak Atang Latif nomor satu. Mengapa? Karena dia jual Suzuki. Kalau yang normal-normal, yang nomor satu, ya Si Om." Memang, pada 1988, kabarnya Atang Latif menjual seluruh saham PT Indomobil kepada Sudono Salim. Mungkin karena itulah, Liem tergeser ke posisi kedua. Tapi, ah, entahlah. Mungkin daftar 10 pembayar PPh terbesar tahun ini akan bisa lebih memastikan akumulasi kekayaan Liem, yang di ASEAN (menurut majalah Warta Ekonomi) diperkirakan berada pada peringkat ke-3 (sesudah Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei Darussalam dan Tan Yu dari Filipina). Dan di Asia, Liem kira-kira berada di peringkat ke-9, di bawah para taipan Jepang, Taiwan, dan Hong Kong. Hal lain yang menarik dan menimbulkan pertanyaan satu dua pengamat adalah bagaimana Kelompok Liem bisa melakukan ekspansi besar-besaran, justru ketika ekonomi Indonesia sedang dilanda ujian teramat berat (terancam resesi devaluasi pada 1983 dan 1986 dan kejatuhan harga minyak, 1986). Dalam tinjauan selintas, beberapa hal bisa dicatat. Di sektor perbankan, Liem sukses mengembangkan BCA, sesudah sebelumnya tersendat-sendat. Ini sebagian mungkin karena paket deregulasi 1983, sebagian lagi, kata orang, bisa jadi berkat "tangan dingin" Mochtar Riady. Sukses yang sama juga dicatat oleh industri automotifnya, juga sekitar 1983, ketika penjualan kendaraan niaga Suzuki mencatat lonjakan besar. Tahun berikutnya, Liem menjalin kerja sama dengan pengusaha minyak sawit Bimoli, Eka Tjipta Widjaya dari Sinar Mas Group. Langkah ini juga mencatat sukses besar, dan Salim Group kini, di samping memiliki kilang minyak sawit terbesar, juga bersama Sinar Mas mengelola perkebunan sawit terluas di Indonesia. Kerja sama penting lainnya dirintis Liem di sektor konstruksi, bersama Ciputra dari Grup Pembangunan Jaya. Salah satu langkah besar Liem yang kurang mujur adalah investasi yang dibenamkannya pada PT CRMI (Cold Rolling Mill Indonesia), yang menghasilkan baja tipis di Cilegon, Jawa Barat. Pabrik yang dibangun dengan utang yang ditandatangani di Hong Kong sebanyak US$ 552 juta itu ternyata masih harus disuntik dana dari bank pemerintah di Indonesia. Belum lagi memikirkan untuk membayar bunganya. "Kalau mikir itu pusing, bisa sampai US$ 50 juta satu tahun. Rasanya tangan, kaki, pinggang sudah diikat sekarang," kata Liem Sioe Liong dalam wawancara khusus dengan TEMPO, enam tahun silam. Adapun krisis Indocement -- menurut Kotjo akibat salah strategi -- akhirnya bisa diatasi, tentu berkat kiat Liem juga. Ini terlepas dari isu-isu di luar, yang menuding Indocement pertama kali diselamatkan oleh go public terbatas, dengan melepas 181.932.300 lembar saham seharga Rp 364 milyar kepada pemerintah. Ini terjadi pada 1985, dan sempat menghebohkan. Tapi, setelah berjalan empat tahun, Indocement kembali memerlukan injeksi dana. Berbekal SK dari Menteri Keuangan J.B. Sumarlin, Indocement, yang ketika itu belum lagi melaba (utangnya sekitar Rp 300 milyar), diizinkan terjun ke Bursa Efek Jakarta -- kali ini untuk go public sungguhan. Dana yang ditarik Rp 600 milyar, emisi terbesar untuk Asia Tenggara. Peristiwa itu juga menjadi buah bibir berkepanjangan, sementara harga saham Indocement pekan ini terdongkrak naik menjadi Rp 15.000 (harga perdana Rp 10.000). Kepada TEMPO Om Liem mengatakan harga saham melambung sampai Rp 16.500 Senin pekan ini. Bagaimana membuat rugi menjadi untung merupakan satu dari sejumlah kiat Om Liem yang barangkali sulit ditiru pengusaha lain. Tapi bukan berarti si Om Liem sama dengan Raja Midas, tokoh dari mitologi Yunani, yang tiap sentuhannya menghasilkan emas. Benar bahwa Liem Investors di Hong Kong tak henti-hentinya melakukan akuisisi. Tapi, seperti diakui Liem sendiri, beberapa perusahaannya "ada yang tidak aktif lagi". Pengalamannya membuat dia tak begitu ingin menancapkan kaki di negeri-negeri yang sudah makmur. Di sana tak mudah bersaing. "Lebih baik di negeri yang masih susah, seperti di Uni Soviet, dan di RRC, kalau sudah ada normalisasi," katanya. Seperti halnya di Indonesia, ekspansi Salim Group di mancanegara tiap kali menjalarkan kejutan, khususnya buat pengusaha yang bisnisnya merugi hingga terpaksa dioperkan ke Om Liem. Tapi bisnis memang acap dituding kejam, dan Liem Sioe Liong agaknya memahami kenyataan ini. Dan bagaimana soal pensiun? "Kalau saya sudah pikun, atau sudah lumpuh, baru saya pensiun," tuturnya tegas. Kini Om Liem memang tak sesibuk dulu, dan mungkin sudah waktunya untuk lebih banyak bersenang-senang. Namun, bukan berarti kendali bisnis sudah tak lagi di tangannya. Dialah chairman, cikal-bakal, pemegang saham terbesar, PR, orang yang paling banyak tahu dan paling diperhitungkan di Salim Group. Tapi, kalau Anda ingin tahu siapa presdirnya, jawabnya tentu Anthony Salim, putra ketiga yang siap menerima tongkat estafet bila saatnya tiba, kelak. Isma Sawitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus