Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

tokoh

Narendra Wicaksono Naik Sepeda Sampai Mekah Menyuarakan Tragedi Kanjuruhan

Narendra Wicaksono, warga Klaten, bersepeda hingga Mekah untuk menjalankan umrah sekaligus menyiarkan Tragedi Kanjuruhan.

30 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Narendra Wicaksono, warga Klaten, bersepeda hingga Mekah untuk menjalankan umrah.

  • Perjalanannya melintasi delapan negara sekaligus menyuarakan ketidakadilan yang menimpa korban Tragedi Kanjuruhan.

  • Indonesia mengenang Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang akibat gas air mata polisi pada 1 Oktober 2022.

HANYA ada dua hal di benak Narendra Wicaksono saat berniat menempuh perjalanan bersepeda dari rumahnya di Klaten, Jawa Tengah, ke Mekah: umrah dan menyuarakan Tragedi Kanjuruhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat sebagian warga Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila, ada segelintir orang yang mengenang duka setiap 1 Oktober. Pada tanggal itulah, dua tahun lalu, 135 suporter Arema FC meninggal akibat terimpit dan terinjak saat hendak menyelamatkan diri dari serangan gas air mata yang dilontarkan polisi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Peristiwa ini juga membuat lebih dari 580 penonton mengalami luka-luka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Narendra, 27 tahun, menganggap korban Tragedi Kanjuruhan tak kunjung mendapat keadilan. Bencana paling mematikan kedua dalam sejarah sepak bola setelah Tragedi Estadio Nacional di Peru pada 1964 ini hanya menyeret tiga pelaku—polisi, panitia pertandingan, dan pengurus klub—yang divonis 1-1,5 tahun penjara.

Langkah awal Narendra sebelum memulai safari dengan jarak lebih dari 10 ribu kilometer itu adalah menemui keluarga korban yang tergabung dalam Yayasan Keadilan Tragedi Kanjuruhan pada 6 Januari 2024 di Malang. Dia juga berziarah ke makam Munir Said Thalib, aktivis hak asasi manusia, di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Sisir Kota Batu.

Dia kembali ke rumahnya di Klaten, Jawa Tengah, pada 13 Januari 2024 untuk minta restu orang tua. Mantan karyawan perusahaan perkebunan ini telah merancang perjalanan bersepeda tersebut sejak beberapa tahun lalu. Awalnya, orang tuanya menentang. Namun, karena tekad anak sulung dari dua bersaudara ini telah bulat, pasangan pedagang bahan makanan itu pun menyetujuinya. "Syaratnya, video call dengan ibu setiap hari," kata Narendra di kantor redaksi Tempo pada Rabu, 11 September 2024.

Narendra memulai gowesan pertama di Klaten pada 15 Januari 2024. Modalnya berupa sepeda Polygon, pakaian, tenda, alat makan dan memancing, uang tunai Rp 500 ribu, serta kartu ATM dengan rekening berisi Rp 3 juta. "Target saya sehari 100 kilometer," ujarnya.

Eks pendukung Persis Solo ini memanfaatkan jaringan suporter sepak bola dan komunitas pesepeda di setiap kota yang dia singgahi untuk berdiskusi serta bermalam. Saat di Brebes, Jawa Tengah, misalnya, dia menelepon komunitas suporter di Cirebon, Jawa Barat, untuk minta izin singgah keesokan harinya. Begitu di Cirebon, dia menghubungi rekannya di Indramayu. Begitu seterusnya. Tema pembahasannya, ya, Tragedi Kanjuruhan.

Di Jakarta, selain berdiskusi dengan Jakmania, kelompok suporter Persija, dia mampir ke kantor imigrasi Jakarta Barat untuk membuat paspor. Dia mendaftar secara online dan mendapati antrean di sana paling singkat.

Narendra melintasi sembilan provinsi, dari Jawa Tengah hingga Jambi, lalu naik feri ke Kepulauan Riau. Dari Batam, dia memilih langsung menyeberang ke Johor Bahru, Malaysia, lewat Pelabuhan Stulang Laut. Opsi lewat Singapura tertutup karena rekan-rekannya, orang Indonesia yang bekerja di Singapura, masih di kampung halaman setelah Idul Fitri. 

Di Batam, dia terkena musibah. Kartu ATM-nya tertelan. Narendra tak ada waktu untuk mengurus kartu pengganti karena feri sudah memanggil. Walhasil, dia harus mencari sumber penghasilan di negeri jiran. Selama di luar negeri, dia memanfaatkan jaringan Perhimpunan Pelajar Indonesia atau PPI sebagai penghubung awal, lalu dikenalkan ke warga Indonesia di kota-kota yang dia singgahi. Narendra kerap mendapat tawaran sumbangan dari orang-orang yang dia temui. Namun dia menolaknya dan memilih bekerja untuk mengais bayaran.

Di Ipoh, kota sekitar 200 kilometer di utara Kuala Lumpur, misalnya, dia ikut bekerja sebagai kuli pembangunan rumah orang Indonesia dan dibayar 150 ringgit—setara dengan Rp 550 ribu sehari. Lanjut ke arah utara, di Pulau Penang, dia bertemu dengan aktivis pendidikan dan diajak menjadi guru bagi anak-anak keturunan Indonesia yang tak berdokumen kewarganegaraan—biasanya dari orang tua yang menikah secara tak resmi. Dia mengajar bahasa Inggris dan geografi. "Total saya mengumpulkan setara dengan Rp 7-8 juta," katanya.

Dengan uang tunai di tangan, Narendra tak perlu lagi bekerja selama di Thailand. Karena warga Indonesia tak sebanyak di Malaysia, dia lebih sering bermalam di pom bensin atau menggelar tenda. Dia kerap memancing ikan dan makan tanaman liar. "Ternyata di Thailand juga ada genjer, tapi tidak dikonsumsi," ujarnya.

Narendra merasa beruntung karena berkenalan dengan seorang pesepeda di dekat perbatasan di Thailand bagian selatan. Pesepeda itu adalah pengacara yang tinggal di Bangkok. Dia mengajak Narendra bermalam di rumahnya.

Mereka mendiskusikan jalur perjalanan Narendra. Rencana melintasi Myanmar terpaksa dikubur karena negara itu dilanda perang. Opsi memutar lewat Cina di utara akan menyulitkan karena pembatasan Internet dan tertutupnya akses Google. Padahal Narendra sangat bergantung pada Google Maps. "Dengan berbagai pertimbangan itu, saya memutuskan terbang langsung ke New Delhi," kata Narendra.

Karena itu, dia mengajukan visa India dan Pakistan yang memakan waktu dua pekan. Selama menunggu visanya rampung, Narendra berkeliling Bangkok dan sekitarnya untuk menemui komunitas muslim di sana. Dia mengabarkan bagaimana suatu institusi di Indonesia seperti memiliki impunitas meski jelas-jelas melakukan kekerasan dan menewaskan banyak orang di Stadion Kanjuruhan pada dua tahun lalu.

Narendra mengemas sepedanya dalam kardus dan terbang dengan Air India. Di New Delhi, dia disambut petugas Kedutaan Besar Republik Indonesia dan diperkenalkan ke para mahasiswa yang tergabung dalam PPI. India menjadi negara favoritnya sepanjang safari ini. Dia mendapati orang-orang India sangat ramah dan terbuka menyambut pendatang. "Kalau tidak ada masjid, saya numpang salat di kuil mereka," kata dia. Kendala bahasa dia atasi dengan bantuan Google Translate.

Selama 21 hari di sana, dia membongkar stereotipe bahwa orang India doyan jajanan jorok. "Pedagang kaki lima di sana persis sama seperti di Indonesia," ujar Narendra. "Pedagang yang mengobok-obok makanan dengan tangan dan sebagainya itu hanya untuk konten video."

Sayangnya, kegembiraan itu terhalang cuaca. Narendra baru mengarungi tiga negara bagian di India—Uttar Pradesh, Delhi, dan Haryana—saat tumbang di jalan yang membelah ladang gandum Sonipat, Negara Bagian Haryana, sekitar 50 kilometer di utara New Delhi.

Siang itu, Google Maps menunjukkan suhu 40 derajat Celsius. Sengatan matahari membuat jantung Narendra tiba-tiba berdegup kencang, perutnya mual, dan pandangannya kabur. Dia langsung menepi dan merebahkan diri. Rohit, sales obat yang mengendarai sepeda motor, menolong dan memapahnya ke warung makan. Setelah kesadarannya pulih, Narendra menelepon KBRI, menanyakan warga Indonesia di kota itu. Terhubunglah dia dengan pria asal Medan, Sumatera Utara, yang menjadi dosen di Fakultas Hukum di Jindal University—dia hanya mengenal nama marganya, Nasution, dan berumur sekitar 40 tahun akhir atau awal 50 tahun. Dia mengajak Narendra beristirahat dan bermalam di apartemennya.

Mendapati Narendra hendak bersepeda melintasi Pakistan, Nasution melarang dengan alasan suhu di sana jauh lebih panas ketimbang India. "Sama saja bunuh diri," kata dia meniru pesan Nasution. Negara-negara berikutnya juga sama-sama panas pada periode tersebut. Mereka pun merancang rute lanjutan dan pilihannya jatuh ke penerbangan ke Istanbul, Turki. "Alhamdulillah, Pak Profesor bantu beli tiketnya."

Narendra mendarat di Istanbul beberapa hari menjelang hari raya kurban yang jatuh pada 16 Juni 2024. "Yang saya ingat, salat Idul Adha di Hagia Sofia," kata dia. Dibangun sebagai gereja oleh Kekaisaran Bizantium pada abad VI, bangunan ini menjadi katedral terbesar hingga seribu tahun berikutnya. Setelah beberapa kali beralih fungsi, bangunan ini kembali dijadikan masjid oleh pengadilan Turki empat tahun lalu.

Istanbul memiliki lima klub sepak bola dan tiga di antaranya termasuk tim elite Eropa, yaitu Galatasaray, Fenerbahce, dan Besiktas. Hampir setiap orang, Narendra melanjutkan, gila bola. Karena itu, mereka langsung nyambung saat dia menyampaikan kabar soal Tragedi Kanjuruhan. Menurut warga Turki, suporter sepak bola di sana juga kerap bikin gaduh di stadion. Namun tidak sampai menjadi sasaran kekerasan aparat. "Kalau sampai ada insiden, klub terkena hukuman. Beda dengan di Indonesia," kata Narendra.

Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Istanbul melarang Narendra melanjutkan perjalanan lewat Suriah akibat perang. Dia disarankan terbang langsung ke Yordania, negara di selatan Suriah yang berbatasan dengan Arab Saudi. Narendra lalu dihubungkan dengan Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia dan mendarat di Amman.

Narendra Wicaksono di kamp pengungsi Palestina di Yordania. Dok. Narendra Wicaksono 

Di ibu kota Yordania itu, Narendra bergabung dengan kelompok relawan yang digalang Eko Sulistio, yang banyak membantu pengungsi Palestina, selama satu pekan. Tiga pekan sisa masa berlaku visanya, dia manfaatkan untuk menyusuri Laut Mati dan mengunjungi kota kuno, Petra. Dia terus bersepeda hingga ujung selatan Yordania, yaitu Teluk Aqaba, yang berbatasan dengan Arab Saudi.

Dia masuk Arab Saudi lewat Haql, kota kecil di ujung utara Teluk Arab. Jaraknya sekitar 1.100 kilometer di utara Mekah dan tak mungkin ditempuh dengan bersepeda. Beruntung dia bersirobok dengan sopir bus asal Madura, Jawa Timur, yang melayani trayek Haql-Mekah. "Sudahlah tidak bayar, dikasih uang saku pula, ha-ha-ha," kata Narendra.

Narendra menuntaskan impiannya menunaikan umrah pada 17 Juli 2024. "Bertepatan dengan hari ulang tahun ibu saya," ujar dia. Narendra menghabiskan sepuluh hari di Mekah, sepuluh hari di Madinah, dan sepuluh hari di Jeddah. Dia menumpang bermalam di apartemen mahasiswa Indonesia di sana.

Puas beribadah, Narendra hendak balik ke Yordania untuk kembali membantu para pengungsi Palestina. Namun dia ditolak masuk negara itu karena tidak dapat mengajukan visa on arrival. Sementara itu, dia telah mendapat cap keluar dari Arab Saudi. Dia diizinkan kembali ke wilayah Arab Saudi, tapi karena masa berlaku visanya habis, terancam denda overstay 100 rial—setara dengan Rp 400 ribu—per hari. Pilihannya adalah terbang ke Istanbul atau langsung ke Asia Tenggara.

Narendra Wicaksono mengenakan pakaian ihram saat hendak menunaikan ibadah umrah di Mekah, Juni 2024. Dok. Narendra Wicaksono 

Narendra memilih Singapura yang dulu gagal dia datangi. Dia menilai negara pulau tersebut punya posisi strategis dalam upayanya menyiarkan ketidakadilan yang menimpa korban Tragedi Kanjuruhan. Dia tiba di sana menjelang peringatan hari kemerdekaan Singapura, 9 Agustus. Dia kembali mengunjungi teman-temannya di Malaysia sebelum pulang ke Tanah Air pada 9 September 2024. 

Bersepeda di delapan negara dalam delapan bulan membuat Narendra ketagihan. Kini, dia merancang safari berikutnya, di Amerika Selatan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus