Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=1 color=brown><B>Anggito Abimanyu: </B></font><BR />Ini Masalah Martabat dan Harga Diri

7 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mundurnya Anggito Abimanyu dari Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan menyisakan sederet pertanyaan. Apakah dia mundur lantaran kecewa batal dipilih menjadi Wakil Menteri Keuangan? Atau karena dia merasa tak cocok dengan Menteri dan Wakil Menteri Keuangan yang baru?

Sebelumnya, ekonom Chatib Basri dan Raden Pardede lebih dulu pergi. Kemudian Sri Mulyani bertolak ke Washington untuk bekerja di Bank Dunia. ”Orang yang menguasai persoalan ekonomi makro makin sedikit,” ujar Anggito.

Selasa pekan lalu, Anggito Abimanyu berkunjung ke kantor Tempo. Secara terbuka dia mengungkap seputar pengunduran dirinya, termasuk hubungan panas-dingin dengan bekas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dia juga menjawab tuduhan miring kedekatannya dengan politikus dan tudingan dia menjanjikan alokasi dana pembinaan wilayah Rp 2 triliun kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Anda sempat dipilih menjadi Wakil Menteri Keuangan, kemudian batal. Bagaimana ceritanya?

Akhir Desember, Bu Menteri (Sri Mulyani Indrawati) ditelepon Istana. Presiden menganggap perlu ada wakil menteri. Semua eselon satu dipanggil untuk memilih calon. Kemudian dilakukan voting dengan menulis nama di atas kertas. Saya bersyukur ada proses bottom-up, yang diusulkan ke menteri. Sebelumnya, Anda lihat, wakil menteri itu top-down semua. Sejam kemudian, kami dipanggil lagi. Yang terpilih saya. Pada 31 Desember, Menteri mengumumkan dalam rapat akhir tahun: Presiden sudah menyetujui saya sebagai wakil menteri.

Awal Januari, saya menghadap Presiden pukul lima sore. Di sana ada Pak Dipo Alam, Sjafrie Sjamsoeddin, Fahmi Idris, dan Fasli Djalal. Kami dimintai CV dan disuruh menandatangani pakta integritas dan kontrak kinerja. Presiden mengatakan, ”Anda saya pilih sebagai wakil menteri karena sudah memenuhi persyaratan.” Tapi besoknya, saat makan siang, Pak Sudi Silalahi mengatakan, ”Anda belum bisa dilantik karena baru eselon I-b. Saya kaget. Lho, kok aneh? Kok, hal simpel begitu terlewat?

Apa tugas wakil menteri yang disampaikan Presiden?

Membantu Presiden, dengan membantu menteri untuk urusan dengan DPR dan urusan internasional. Yang lain-lain bicara dengan menterinya. Saya kirim SMS ke Bu Menteri. Beliau minta saya menyiapkan administrasinya, tata organisasinya. Saya katakan, Biro Organisasi dan Tata Laksana saja yang menyiapkan.

Apa tanggapan Sri Mulyani soal syarat eselon itu?

Saya lapor Bu Menteri. ”Lho, pangkat kamu gimana?” Saya katakan, yang mengurus kan sekretaris jenderal. Ternyata memang ada masalah. Saya ditetapkan Menteri Pendidikan Nasional (sebagai dosen di Universitas Gadjah Mada) pada Agustus, tapi belum diurus. Besoknya beres, langsung diteken Bu Menteri, dibawa ke Sekretariat Negara, supaya diikutkan pelantikan saat itu. Tapi Setneg tak mau, mesti ikut prosedur. Ya, paling seminggu, saya ingat sekali ucapan Pak Sudi. Diuruslah, selesai semua sepuluh hari, kemudian saya terima keputusan presidennya. Tapi tak kunjung dilantik juga. Saya tidak menanyakan karena sibuk mengurus APBN Perubahan, G-20, macam-macam. Saya lari ke sana-kemari, ASEAN, ADB meeting.

Anda kecewa karena tak ada pernyataan apa pun soal gagalnya Anda menjadi wakil menteri?

Selama enam bulan terakhir, saya mengalami petualangan emosional yang sangat tinggi. Saya tak mempermasalahkan hak prerogatif presiden. Sejak awal sudah saya tekankan, tak ada kebencian, kekecewaan, untuk itu. Yang terjadi adalah pada 4 Januari saya menandatangani pakta integritas, diundang suami-istri ke Istana. Bahkan istri saya dipanggil Ibu Ani Yudhoyono, diberi arahan bagaimana menjadi seorang istri wakil menteri. Tak jadi dilantik karena pangkat, tapi urusan itu sudah dipenuhi, dikirim ke Sekretariat Negara. Tapi, pada 21 Mei, yang dilantik orang lain. Saya merasa ini masalah martabat dan harga diri. Kan, tak bisa dibiarkan terus-menerus seperti itu. Ya, sudahlah, saya jadi korbannya. Mudah-mudahan tak ada lagi korban.

Anda merasa harga diri Anda terluka?

Poin saya adalah Presiden sudah mengundang, tapi tak jadi. Kalau orang pasar kan bilang ”your word is your bond”. Ucapan Anda adalah janji Anda.Makanya saya tak ada masalah dengan Pak Agus Marto, Bu Ani.

Anda mungkin tak dikenal Presiden?

Saya kenal beliau sejak beliau masih komandan komando resor militer di Yogyakarta, kemudian di Cilangkap. Terakhir, makan bersama sewaktu kunjungan ke Dubai.

Apa yang Anda inginkan ketika akhirnya tak dipilih?

Ya, dikasih tahu, ditelepon, katakan terus terang, ”Anggito, kamu tak dipilih, ya,” alasannya begini-begini, gender misalnya. Saya legawa, kok.

Kenapa tetap mau mundur?

Ya, sejak awal kan saya sudah mau mundur.

Ada alasan lain?

Saya katakan ke istri sewaktu kami umrah, ”Kita pulang saja, ya, ke Yogyakarta. Ngecharge, kembali ke kampus.” Saya kan punya rumah dan kerjaan juga di sana. Kebetulan juga orang tua saya sakit (Sabtu pekan lalu meninggal).

Kenapa mundurnya baru sekarang?

Iya, karena saya sudah capek. Antara harapan dan kenyataan kok enggak nyambung. Sebagai wakil menteri, saya berharap bisa melakukan pekerjaan yang lebih besar, membuat perubahan yang signifikan.

Kenapa mau menerima tawaran wakil menteri kalau sudah niat mundur?

Selama sepuluh tahun, saya ini seperti Teh Botol: apa pun makanannya, minumnya itu. Saya muter-muter, ganti-ganti posisi, tapi kerjaan saya kan tetap ke DPR. Saya sudah bilang ke Bu Menteri mau mundur. Dia bilang, ”I consider, terus siapa yang ganti kamu?” Jadi, terus terang, di BKF ini masih muda-muda. Ketika itu saya belum punya kader.

Sekarang di Badan Kebijakan Fiskal sudah ada kader?

Sekarang BKF lebih kuat, sehingga bisa lebih baik. Saya pikir kader-kader di sana sudah bagus. Bisa ditinggal.

Sebelum Sri Mulyani ke Bank Dunia, hubungan dia dan Anda seperti tak harmonis….

Memang, dalam beberapa bulan terakhir, hubungan saya dan Bu Menteri panas-dingin. Saya merasa aneh saja, karena hubungan kami biasanya enggak seperti itu. Biasanya, kalau ada masalah, saya dipanggil.

Merasa ada sesuatu?

Beberapa kali beliau seperti menyindir. Satu yang saya rasa sewaktu Biro Organisasi dan Tata Laksana membuat tata organisasi wakil menteri. Dalam satu nota, dia marah betul, kok ini udah kelewatan, begitulah. Tapi marahnya bukan ke saya, ke Sekjen. Saya enggak tahu. Sekjen mengusulkan organisasi wakil menteri seperti ini, lho. Pantas saja Menteri marah, belum dibahas di eselon satu kok tiba-tiba sudah keluar. Istilahnya kok ngebet sekali. Kedua, ada satu hal, tentang klausul dalam hal Menteri Keuangan berhalangan maka wakil menteri yang menggantikan.

Bukan karena ada wewenang wakil menteri membawahi BUMN?

Saya tak tahu karena tak pernah dipanggil dan dibahas. Lagi pula, waktu itu karena staf saya ada ide tentang BUMN, kemudian dibicarakan. Masak, enggak boleh punya ide? Itu kasus Paiton. Katanya saya overstep (melampaui kewenangan).

Sri Mulyani mencurigai Anda berkaitan dengan keluarnya amanat presiden bahwa Hatta Rajasa mewakili Menteri Keuangan di DPR?

Bu Menteri bertanya kepada saya, ”Anggito, kapan saya ke luar negeri?” Waktu itu ada pertemuan ASEAN, ASEAN Plus Three, dan ADB, bersamaan waktunya dengan pembahasan APBN Perubahan. Amanat presiden itu urusan Presiden. Waktu itu suasananya Bu Menteri ditolak DPR. Pak Hatta dan Presiden pasti ya jaga-jaga saja. Masak, saya bisa mengatur Presiden? Pak Hatta tanya, saya jawab, ”Dipersiapkan saja, Pak.” Saya katakan kepada Bu Menteri, ”Jangan lupa, Ibu juga pernah mendapat amanat presiden ketika masih Kepala Bappenas.” Waktu Jusuf Anwar (Menteri Keuangan saat itu) ke luar negeri, Kepala Bappenas menjadi pengurus keuangan. Mungkin dia merasa, kok, enggak dikasih tahu.

Saat itu dia sedang marah kepada Anda?

Ya, jangan tanya saya, dong. Ini enggak ada apa-apa, kok, saya didiamkan.

Seberapa dekat hubungan Anda dengan Hatta Rajasa?

Saya dekat dengan Menko karena tugas pokok dan fungsi saya men-support yang lainnya. Saya belum pernah ke rumahnya. Belum pernah bertemu di luar bidang pekerjaan.

Apakah Anda dekat juga dengan Aburizal Bakrie?

Saya tidak pernah berhubungan dengan dia. Boleh Anda cek. Saya hanya bertemu sewaktu Pak Ical jadi Menko. Setelah itu, baru satu kali di pesawat saat Presiden ke pertemuan ASEAN.

Anda dianggap bisa menyalip Menteri Keuangan yang posisinya genting karena dibidik kasus Bank Century?

Beliau punya hak mengusulkan wakil menteri. Faktanya, saya yang dipilih sebagai wakil menteri. Kalau dia tidak suka sama saya, tak usah mengusulkan nama saya, selesai urusannya.

Dalam kasus Bank Century, Anda dianggap lebih berpihak kepada Menko Perekonomian?

Saya tak pernah bertemu dengan Pak Hatta sendirian. Saat diskusi sebelum pengambilan keputusan kasus Bank Century, siapa pun bisa mengkritik pengawasan Bank Indonesia. Tapi, sesudah kebijakan diambil, Anda bisa lihat bagaimana sikap saya di berbagai tempat. Saya termasuk ikut melobi, memberikan pemahaman kepada mereka yang tak sependapat, seperti partai besar, pimpinan media massa, mengapa bailout itu perlu saat itu, dan itu saya laporkan Bu Menteri.

Anda dianggap lebih bisa didekati politikus DPR?

Lho, itu memang tugas saya. Saya mesti menjelaskan kepada semuanya. Saya yang mewakili ketika Bu Menteri Sri Mulyani dan Direktur Jenderal Anggaran ke Washington. Saya yang mesti menjelaskan kepada DPR. Kepala Badan Kebijakan Fiskal itu 20 persen hidupnya di Senayan, karena tugas pokok dan fungsinya terlibat di DPR. Dua puluh persen lagi di udara dan forum internasional. Kasihan Kepala BKF selanjutnya kalau dianggap negatif terus seperti ini, karena dia pasti melakukan hal seperti itu juga nantinya. Beginilah, dalam dunia sekarang, tak mungkin semua selesai dilakukan di Senayan. Harus ada pembicaraan dan penjelasan di luar. Yang penting tak main uang dan janji-janji. Tak pernah ada janji jabatan. Alhamdulillah, saya juga tak pernah main duit.

Mekanisme lobi di luar gedung DPR itu memang perlu?

Stimulus fiskal itu barang baru, jadi mesti dijelaskan lebih jauh. Seperti orang berjualan menjelaskan barang baru. Itu lobi namanya. Tapi semua ada aturannya, juga lobi. Ada instruksi menteri, bagaimana aturan mengenai lobi.

Berarti semua aktivitas itu diketahui Sri Mulyani?

Saya selalu mengirim SMS kepada Menteri untuk laporan, sehingga Menteri tahu hasilnya dan prosesnya di mana pun dia berada.

Anda punya wewenang dana untuk dialokasikan saat melakukan lobi?

Tidak ada. Saya cuma punya dana untuk makan.

Benarkah Anda menjanjikan alokasi Rp 2 triliun untuk anggota DPR di daerah pemilihannya?

Saya pikir sah-sah saja mereka memperjuangkan untuk daerahnya sendiri. Kan, itu sudah ada di aturan undang-undang mereka. Saya tidak menjanjikan apa-apa. Dan itu dibahas terbuka di Panitia Anggaran.

Secara etika, bolehkah permintaan itu?

Kenapa tidak? Tak ada yang salah.Mereka bisa minta. Tapi realisasinya tergantung proses politik di DPR.

Setelah ini, Anda akan melakukan apa?

Ya, kembali ke kampus. Saya sudah kembali Kamis dua pekan lalu. Selama ini kan saya sebagai pengguna tulisan. Sekarang saya memproduksi tulisan.

Benarkah Hatta Rajasa membujuk Anda agar tidak mundur?

Pak Hatta malam itu cuma mengatakan, ”Kamu jangan mundur. Kamu masih muda, masih dibutuhkan negeri ini.” Saya jawab, ”Saya pertimbangkan.” Tapi keputusan saya sudah final.

Bagaimana dengan Wakil Presiden?

Pak Boediono juga mencegah. ”Jangan, kamu masih muda.” Dia tahu saya. Saya sempat mengatakan, ”Pak Boed, kalau dengar macam-macam di luar tentang saya, jangan percaya. Pak Boed kan tahu saya. Saya punya reputasi. Masak, mau saya hancurkan? Toh, saya juga enggak punya apa-apa. Anggaran pun tak ada.” Pak Boed cuma bilang, ”Saya percaya kamu.”

Anda akan menjadi pengamat dari kampus yang kritis terhadap pemerintah?

Saya pengamat pelat merah. Untuk kebijakan yang saya ikut mendesain, seperti pengurangan subsidi bahan bakar minyak, saya tidak akan bisa kritis.

Anggito Abimanyu

Tempat dan tanggal lahir: Bogor, 19 Februari 1963

Pendidikan:

  • Sarjana Ekonomi Universitas Gadjah Mada, 1985
  • PhD, University of Pennsylvania, Amerika Serikat, 1993

Karier:

  • Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, 2006-2010
  • Kepala Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerja Sama Internasional, 2004-2006
  • Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada
  • Konsultan paruh waktu di Bank Dunia, Washington, DC, 1992-1995

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus