Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kebrutalan di Laut Tengah

Pasukan parakomando Israel menewaskan paling tidak sembilan relawan di kapal Mavi Marmara yang sedang melakukan misi kemanusiaan. Ada desakan mengadili pelaku serangan di Mahkamah Internasional.

7 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebahagiaan menyeruak tatkala mereka mendengar suara lemah Surya Fahrizal melalui sambungan telepon dari Israel. Sepuluh orang itu seketika melakukan sujud syukur. Suara takbir pun meledak di ruang crisis center insiden kapal Mavi Marmara, Kedutaan Besar Indonesia di Amman, Yordania, Kamis pekan lalu.

Surya, wartawan majalah Suara Hidayatullah, masih dirawat di Rumah Sakit Ramban di Haifa, Israel. Pemuda kelahiran 28 tahun lalu itu korban tembak peluru tajam tentara Israel dalam penyerbuan mereka ke kapal Mavi Marmara, yang membawa bantuan kemanusiaan untuk Jalur Gaza, Palestina.

Cedera yang dialami Surya serius. Peluru masuk di dada kanan, mematahkan tulang iga kedelapan, dan berbelok ke bawah, merusak sebagian jaringan levernya. Sampai kini peluru masih bersarang di tubuhnya. ”Jauh lebih berat dari apa yang saya khawatirkan,” kata Arief Rachman, dokter relawan dari Medical Emergency Rescue Committee (Mer-C).

Seorang lagi warga Indonesia, Okvianto Baharuddin, aktivis Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina (Kispa), masih dirawat di Rumah Sakit Bagcilar Devet Hastanesi, Istanbul, Turki. ”Masih memerlukan empat sampai lima hari lagi untuk rawat inap,” ujar Duta Besar Indonesia di Yordania, Zainulbahar Noor, yang sebelumnya berbicara dengan Okvianto.

Siku Okvianto saat ini dilapis gipsum. Menurut dokter setempat, dia harus dioperasi lagi karena ada pecahan peluru di dalamnya. ”Kalau tidak diambil akan meracuni darahnya,” Zainul menambahkan.

Kedua warga Indonesia itu termasuk korban cedera akibat serbuan parakomando Israel ke kapal Mavi Marmara. Para aktivis kemanusiaan itu terluka akibat ditembak dan digebuki tentara negara Zionis itu. Sepuluh relawan lain tewas ditembak peluru tajam, sembilan di antaranya berkebangsaan Turki.

Mavi Marmara ingin memasok kebutuhan bagi warga sipil Palestina di Jalur Gaza, yang banyak menderita akibat blokade Israel. Di atas kapal itu ada pemenang Nobel Perdamaian asal Irlandia Utara, Mairead Corrigan, Edward Peck, bekas Duta Besar Amerika di Mauritania, anggota parlemen Eropa, dan beberapa orang Yahudi tua yang selamat dari holocaust.

l l l

Senin dini hari dua pekan lalu itu kapal Mavi Marmara baru saja masuk di tengah Laut Mediterania. Sekitar pukul empat pagi, empat fregat—kapal tempur cepat—parakomando Israel memepet Mavi di kanan-kirinya. Di atas Mavi, dua helikopter tempur berputar mengangkut tentara mengenakan balaclava alias penutup wajah dan menyandang senjata siap bidik.

Mavi Marmara adalah pemimpin konvoi enam kapal dalam misi kemanusiaan Gaza Flotilla atau Kebebasan Gaza. Mavi berbendera Turki, sedangkan kapal-kapal lain berasal dari Swedia, Aljazair, dan Yunani. Tiba-tiba peluru berdesingan mengenai lambung kapal dan beberapa penumpang. ”Orang di belakang saya langsung jatuh. Seingat saya dia korban pertama,” kata Mohammad Yasin, wartawan TVOne dari Indonesia.

Beberapa jam sebelum penyerbuan parakomando Israel, ketegangan sudah menyelimuti Mavi Marmara. Dengan mata telanjang para penumpang melihat belasan kapal perang Israel membuntuti dan berusaha mengepung Mavi. Semula mereka menyangka aksi itu cuma untuk menakut-nakuti. Ketika Mavi Marmara dipepet, para penumpang mulai sibuk mencari kayu dan besi, bahkan ada yang membawa katapel, untuk melawan.

Serangan berlanjut dari udara. Pasukan parakomando Israel turun menggunakan tali dari helikopter. Para wartawan mulai berteriak-teriak dan masuk ke ruang pers. ”Mereka sudah di sini, mereka sudah di sini,” begitulah pekik yang didengar Yasin. Di kapal itu memang ada sekitar 20 jurnalis dari berbagai negara. Mereka antara lain dari Al-jazeera, Kutz TV Libanon, Press TV London, dan Harbour TV Turki.

Turunnya tentara dari helikopter memancing kemarahan penumpang lain. Dua tentara Israel langsung disambut pukulan bertubi-tubi, tapi aktivis asal Turki mencegah kemarahan penumpang. ”Saya melihat kening satu orang tentara Israel berdarah, tapi tidak parah,” kata Yasin. Senjata jenis Uzi dirampas para aktivis dari serdadu itu.

Melihat kawannya terluka, tentara Israel murka. Mereka makin banyak turun dari helikopter dan meletuskan senapan. Suasana di atas kapal Mavi Marmara menjadi kacau. Tembakan peluru karet menumbangkan sejumlah relawan, termasuk beberapa orang yang berdiri di dekat Fitri Moeslim Taher, Ketua Tim MER-C. ”Korban pertama yang saya seret itu Usamah, aktivis yang tinggal di London tapi berasal dari Palestina. Dia tidak bisa bernapas,” ujar Fitri.

Korban kedua jatuh lagi akibat peluru karet. Korban ketiga yang tumbang ternyata sudah tidak bernyawa pada saat disaksikan dari tepi dek oleh Fitri dan Arief. ”Saya lihat keningnya, tepat di antara mata, benjol,” Fitri melanjutkan. Ternyata korban ditembak dari belakang kepala, tapi peluru masih bersarang di keningnya.

Tak lama terdengar pengumuman dari pengeras suara kapal, dalam bahasa Inggris, yang menyatakan menyerah. Ketua Ýnsan Hak ve Hürriyetleri Ýnsani Yardým Vakfý (IHH), Bulent Yildirim, membuka kemejanya yang berwarna putih dan mengikat di satu tiang. Anggota Knesset Hanin Zubi melambaikan kain putih. Perempuan berdarah Arab itu juga mengibaskan kardus bekas minuman kemasan berhuruf Ibrani. Dalam waktu sejam, kapal sudah dikuasai tentara Israel.

Semua penumpang kemudian diikat tanpa kecuali. Orang yang luka ringan dikeluarkan dari rombongan, lalu mereka yang sakit dibawa dengan tandu. Berikutnya, orang tua dan orang Eropa yang mendapat keistimewaan. Akhirnya yang tinggal adalah orang-orang berambut hitam, termasuk orang Arab dan Turki. Mereka digeledah satu per satu. Para jurnalis mendapat giliran pertama digeledah seluruh tubuh.

Abbas al-Lawati, jurnalis dari Uni Emirat Arab, menuturkan bahwa salah seorang tentara Israel dengan menggendong anak kecil—anak seorang relawan Turki—di tangan kanan, menodongkan senjata dengan tangan kiri ke arah kapten. ”Dia meminta kapten mengarahkan kapal ke Pelabuhan Ashdod, Israel.”

l l l

Serangan brutal Israel segera menuai gelombang kecaman dari seluruh penjuru dunia. Presiden Venezuela Hugo Chavez mengutuk Israel sebagai negara teroris dan pembunuh, seraya meneriakkan ”Hidup rakyat Palestina”! Ekuador memanggil pulang duta besarnya dari Tel Aviv. Nikaragua membekukan hubungan diplomatik dengan negara Zionis itu.

Perdana Menteri Turki Recep Tayip Erdogan memprotes keras Israel dan memanggil pulang duta besar dari Tel Aviv. Dia meminta dunia internasional membentuk tim independen untuk menyelidiki masalah ini. Ribuan rakyat Turki menyerbu konsulat Israel di Istanbul. Di depan sidang PBB, Erdogan mengecam Israel. Turki saat ini menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang berada di Kanada, langsung pulang ke Israel dan membatalkan pertemuan dengan Presiden Amerika Barack Obama. Amerika dalam dilema karena Turki dan Israel sama-sama sekutu dekatnya di Timur Tengah. Obama menegaskan perlunya penyelidikan atas tragedi itu, tapi menahan diri untuk mengecam Israel. ”Hubungan kami tak renggang, Amerika adalah sekutu terbaik kami,” kata Dianne Morrison, juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel, melalui surat elektronik.

Situasi paling serius bagi Israel adalah kemarahan Turki. Erdogan sudah memutuskan mengurangi kegiatan diplomatik dengan Israel. Deputi Perdana Menteri Bulent Arinc menyatakan kerja sama ekonomi dan pertahanan dengan negeri itu akan segera dikurangi. ”Pelaku kriminal ini harus diseret ke Mahkamah Internasional.”

Selama ini Turki—di samping Mesir dan Yordania—adalah negara muslim yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel di kawasan Timur Tengah. ”Kalau Israel tak minta maaf ke Turki, mereka akan kehilangan sekutu terbaik di wilayah ini,” kata Duta Besar Turki untuk Amerika, Namik Tan. Pernyataan Netanyahu yang menyalahkan penumpang dan aktivis Turki yang tewas, ”Hanya membuat mereka hidup dalam tempurung. Mereka sudah dicaci-maki dunia,” Tan menambahkan.

Toh, Netanyahu tetap berkilah bahwa pasukan parakomandonya hanya membela diri. Dia menyebut ada pukulan dan tembakan ke arah pasukannya yang mendarat di kapal Mavi Marmara. Memang ada pukulan dengan besi, kayu, dan katapel. ”Tak ada senjata api. Israel bohong,” kata aktivis dari Kanada, Kevin Neish. Dia menambahkan, ”Yang betul, sewaktu peluru mulai berdesing dari senapan mesin, orang-orang berlindung dengan apa pun yang bisa dipegang, pipa besi, potongan kayu, apa pun itu.”

Sejak 2007 misi membantu warga Palestina sudah dilakukan sejumlah organisasi kemanusiaan. Mereka berusaha menembus blokade Israel atas Jalur Gaza. Ada kapal yang berhasil sampai ke pantai Gaza tapi kebanyakan digiring ke Pelabuhan Ashdod, di selatan Israel. Kapalnya ditinggal dan penumpangnya dideportasi.

Tindakan brutal Israel kali ini membawa berkah bagi warga Palestina yang dikurung Israel di Gaza. Rabu pekan lalu, Presiden Mesir Husni Mubarak memerintahkan perbatasan dibuka sampai batas waktu yang tak ditentukan. Sahar Bahloul, warga Gaza yang sudah lama menderita sakit, akhirnya bisa pergi ke Kairo untuk berobat. ”Saya mengalami gangguan pernapasan, dan cuma mungkin dirawat di Kairo,” katanya.

ND, Yophiandi, Ahmad Taufik (Yordania)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus