Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Hukum Kadang Jadi Ancaman Bagi Demokrasi

11 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa kali menyambangi Indonesia, Jim Nolan merasa demokrasi di negeri ini tengah berjalan mundur. Kebebasan berpendapat terbatasi, terutama setelah pemerintah menutup 22 situs yang dinilai memuat materi radikalisme. Hal ini, menurut pengacara dan pakar hukum dari aliansi wartawan International Federation of Journalists (IFJ) se-Asia-Pasifik itu, membuat posisi Indonesia sebagai mercusuar kebebasan pers di ASEAN terganggu.

Biang keladinya, menurut Nolan, adalah penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Undang-undang tersebut, kata dia, membuat pers dan warga Indonesia "terjebak" lantaran tak leluasa menyuarakan pendapat dan ekspresi. Apalagi tak ada definisi yang jelas mengenai hak orang lain yang dilanggar dan belum ada aturan tentang pencegahan terorisme di dunia maya.

Terhitung sudah 55 orang menjadi korban kesaktian UU ITE sejak aturan ini diteken pada 2008. Nolan secara khusus menyoroti kasus Florence Sihombing, yang berakhir di penjara akibat menulis kekesalannya mengenai warga Yogyakarta di sebuah media sosial (Path). Setelah menulis, Florence dirundung banyak orang, lalu disidang di Pengadilan Negeri Yogyakarta dan diganjar dua bulan kurungan. Dia juga didenda Rp 10 juta karena melanggar pasal UU ITE yang mengatur soal penghinaan dan keresahan umum.

Selasa siang pekan lalu, Nolan menerima Isma Savitri, Amanda Siddharta, Abdul Manan, dan fotografer Tempo Aditia Noviansyah di Jakarta untuk sebuah wawancara. Pria asal Australia itu selama sepekan ngider di Jakarta dan Yogyakarta dalam rangka Hari Kebebasan Pers Dunia. Ia mewakili IFJ menjadi pembicara di pelbagai diskusi mengenai kebebasan pers, UU ITE, UU Rahasia Negara, dan UU Penistaan Agama.

Dalam setiap diskusi, Nolan menekankan pentingnya jaminan kebebasan pers. Menurut dia, hak itu sebenarnya sudah pernah ada di Indonesia sebelum UU ITE diterapkan. "UU ITE adalah ancaman serius yang berpotensi kejam terhadap kebebasan pers dan berpendapat," ujarnya. "Yang dialami Florence itu adalah kasus yang tak terpikir bisa terjadi di sini."

Nolan bukan sekali ini terlibat penegakan hak berpendapat dan kebebasan pers di Indonesia dan negara Asia lainnya. Pada 2004, ia mewakili IFJ bertandang ke Indonesia untuk meneliti kebebasan pers di sini. Pada tahun yang sama, ia mengikuti jalannya sidang pidana kasus pencemaran nama tiga jurnalis majalah Tempo sehubungan dengan pemberitaan pengusaha Tomy Winata. "Itu bukti bagaimana aturan pidana tentang pencemaran nama bertentangan dengan demokrasi," katanya.

Seperti apa kondisi kebebasan pers di Asia Tenggara?

Indonesia adalah mercusuar kebebasan berpendapat dan demokrasi kendati ada undang-undang yang mengganggu. Saya membandingkan dengan Malaysia, yang pemerintahnya represif. Perdana Menteri Malaysia Najib Razak mengaktifkan kembali undang-undang penghasutan untuk menganiaya warganya yang kritis. Ini benar-benar keterlaluan. Ada seorang kartunis di sana yang dituntut karena gambarnya dianggap menghasut warga setempat.

Negara-negara di kawasan ini memang memiliki ancaman serius dalam hal kebebasan pers. Vietnam, Singapura, juga Thailand punya masalah yang sama dengan Malaysia. Bahkan, di Thailand, situasinya memburuk dalam beberapa tahun terakhir karena kekacauan politik oleh rezim militer.

Nah, dibanding negara-negara tersebut, Indonesia masih cukup baik. Tapi ada hal serius yang memprihatinkan di negeri ini, yakni UU ITE, yang pasal-pasalnya "karet" sehingga rentan disalahgunakan.

Akibat UU ITE itu, Anda melihat ada kemunduran demokrasi di Indonesia?

Bukan hanya UU ITE, tapi juga undang-undang pencemaran nama dan penghujatan. Kombinasi semua itu membuat situasi jadi tambah sulit.

Apa tantangan terbesar kebebasan pers di Asia Tenggara?

Pemidanaan karena pencemaran nama adalah sesuatu yang umum di sebagian besar negara Asia Tenggara. UU ITE sendiri mencakup kasus pencemaran nama, penghujatan, juga pelanggaran lainnya. Ini masalah yang serius karena sekarang hampir semua orang menggunakan media sosial dan Internet. Jadi apa pun bisa digunakan sebagai alat untuk menangkap orang dan menyeretnya ke penjara.

Kasus Florence menunjukkan sejauh mana UU ITE dapat ditarik ke ranah pribadi. Belum lagi jika undang-undang itu dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Jadi, jika berencana membuat pernyataan kritis yang menyerang wali kota, Anda mungkin batal melakukannya karena emoh berakhir di penjara. Sedangkan di Thailand, tindak pidana pencemaran nama kebanyakan berhubungan dengan anggota kerajaan.

Sepertinya jaminan kebebasan berpendapat di Asia Tenggara berjalan sangat lambat....

Ini menyedihkan karena kita tahu kampanye tentang kebebasan berpendapat sudah lama dilakukan. Sayangnya, pemerintah memilih membelenggu kebebasan berpendapat ketika merasa posisinya sudah lemah, seperti yang dilakukan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak saat ini.

Bagaimana kondisi kebebasan pers di ASEAN jika dibandingkan dengan Eropa dan Amerika?

Eropa dan Amerika Utara punya persoalan sendiri dengan hukum keamanannya. Namun, untuk urusan kebebasan berekspresi, di sana tak ada masalah. Di Australia, jaminan kebebasan berekspresi lebih baik dibandingkan dengan negara lain.

Lihatlah Cina, yang memberlakukan sistem sensor, juga beberapa negara di Timur Tengah yang mengalami persoalan serupa. Kondisi yang (lebih) mengerikan terjadi di Afrika. Di benua tersebut, selalu saja ada masalah yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat. Pada Natal tahun lalu, seorang wartawan independen Ethiopia dibungkam karena melaporkan apa yang terjadi di sana.

Lalu aturan seperti apa yang ideal untuk masalah pencemaran nama dan Internet?

Jika ingin membuat hukum yang bakal berdampak serius terhadap pers dan kebebasan berekspresi, pemerintah mesti berpikir sangat hati-hati. Pastikan hukum dirumuskan sangat tepat sehingga ada kejelasan nantinya apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan.

Masalah berikutnya adalah bagaimana hukum tentang pencemaran nama diimplementasikan. Polisi dan jaksa tampaknya belum memiliki pemahaman yang cukup mengenai hal tersebut. Itu terlihat pada kasus Florence di Yogyakarta, yang menurut saya menggelikan. Jadi semestinya ada pedoman bagi aparat penegak hukum untuk menangani kasus, termasuk kemungkinan mereka menyatakan satu kasus tak perlu diadili karena absurd.

Agar undang-undang ini tidak menjadi alat politik?

Ya, aparat penegak hukum harus menyadari yang terpenting adalah kebebasan pers dan berekspresi. Jangan sampai UU ITE jadi alat untuk sensor dan penindasan politik. Maka warga negara tak terbelenggu dalam mengkritik pemerintah, aparat, bahkan lingkungannya. Jika jaksa dan polisi dididik untuk tidak selalu menggunakan hukum dan pengadilan, serta dibekali kewaspadaan dalam menafsirkan hukum, mungkin masalah akan berkurang secara signifikan.

Apakah cukup dengan pedoman itu?

Belum cukup. Butuh aturan yang lebih ketat untuk mengantisipasi terbukanya ruang penafsiran. Untuk kasus penghujatan, misalnya, harus ada aturan yang membuat tuduhan itu terbukti. Bagaimanapun, susah membuktikan apakah seseorang betul menghujat atau tidak.

Yang jadi masalah dari UU ITE sebenarnya materi hukumnya atau pelaksanaannya?

Dua-duanya. Hukumnya sendiri sangat longgar. Kalau tradisi di Amerika Serikat dan Kanada, kasus yang menyangkut kebebasan berpendapat mesti ditangani pengadilan lewat pendekatan yang paling konservatif. Itu untuk memberi ruang yang lebih besar pada kebebasan berpendapat.

Mana ancaman yang lebih mengerikan di Indonesia: UU ITE atau kekerasan terhadap jurnalis?

Dua-duanya mengerikan. Polisi semestinya menjaga jurnalis dari serangan fisik, karena kekerasan terhadap mereka tidak boleh ditoleransi.

Pemerintah Indonesia menutup 22 situs karena isinya dianggap menyebarkan radikalisme. Anda setuju sensor terhadap terorisme dengan cara seperti ini?

Itu adalah bentuk sensor preventif. Tapi, kita mesti tahu, bagaimanapun tidak boleh ada sensor atas kebebasan berpendapat dan pemikiran politik. Jika pandangan Anda memuakkan sekalipun, Anda tetap punya hak untuk menyampaikannya. Ide itu bukan sesuatu yang bisa diatur oleh keputusan pemerintah.

Tapi tentu saja negara-negara otoriter mengandalkan aturan semacam itu untuk memperkuat benteng terhadap terorisme. Di Ethiopia, misalnya, pemerintah menutup surat kabar dan membungkam oposisi dengan dalih bahwa yang disuarakan merupakan ancaman terorisme.

Bagaimana penanganan terorisme di Australia?

Sudah ada debat panjang tentang hal ini, karena ada sejumlah undang-undang yang mengatur soal terorisme. Undang-undang itu memberi peluang pemerintah Australia untuk menyensor sejumlah hal. Yang kemudian menjadi kontroversi adalah bagaimana aturan tersebut berpengaruh terhadap kebebasan jurnalis mendapatkan informasi dari sumber mereka. Misalnya Anda akan menulis keamanan sebuah daerah, bisa saja Anda dianggap melanggar hukum. Ini jadi bahan perdebatan di Australia.

Mungkinkah terorisme dicegah dengan undang-undang, tanpa mengintervensi kebebasan berpendapat?

Sekali lagi, jika ingin membuat undang-undang yang membatasi kebebasan berpendapat, kita harus sangat berhati-hati karena aturan itu bisa disalahgunakan. Memang sangat sulit membuat rumusan yang bisa mengakomodasi pencegahan terorisme. Tapi setidaknya negara tetap tidak campur tangan untuk urusan kebebasan berpendapat.

Jadi, menurut Anda, hukum (kadang) bisa membatasi demokrasi?

Ya, benar. Itu adalah ancaman konstan untuk nilai-nilai demokrasi. Sebab, ketika berpikir akan mengatakan ini-itu, kita tiba-tiba khawatir akan dituduh melanggar UU ITE. Undang-undang tersebut memiliki efek menakutkan terhadap hak berpendapat ketika setiap orang punya kewajiban menghormati hukum. Ini sisi lain keberadaan UU ITE, menurut saya. Majalah Tempo pernah tersangkut pidana pencemaran nama kan terkait dengan pemberitaan pengusaha Tomy Winata? Itu bukti bagaimana aturan pidana tentang pencemaran nama bertentangan dengan demokrasi.

Di Indonesia, persoalan agama bisa menjadi hal yang sangat sensitif. Lalu bagaimana toleransi antar-pemeluk agama bisa dijaga, tanpa mengusik kebebasan berpendapat?

Yang pertama, Anda membutuhkan pemimpin agama yang tegas. Indonesia adalah contoh negara yang memiliki pemimpin agama cukup moderat, yang menghormati nilai demokrasi. Pandangan mereka perlu didorong dan dipromosikan. Perlu dicoba juga untuk tidak mudah menyelesaikan masalah di pengadilan.

Cara kedua adalah dengan memperketat ruang penafsiran terhadap penghujatan agama. Dengan demikian, tidak akan ada ruang terbuka untuk penyalahgunaan hukum. Pihak otoriter yang tak peduli pada toleransi beragama juga tidak akan punya kesempatan mengambil keuntungan.

Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kebebasan berpendapat?

Yang terpenting adalah mengkampanyekan isu-isu tersebut. Di Australia, sekarang tengah menjadi bahan perdebatan, karena menyangkut undang-undang keamanan nasional. Jurnalis dan organisasi media juga terus memberi masukan. Sebab, aturan yang dibikin pemerintah itu berkaitan dengan narasumber yang memberikan informasi penting dan rahasia (whistleblower).

Beberapa waktu terakhir, di Australia, ada sejumlah kasus yang menempatkan jurnalis sebagai pelanggar rahasia pemerintah. Tapi, jika nantinya kasus itu sampai ke pengadilan, hakim biasanya enggan mengganjar jurnalis dengan hukuman berat. Itu bagian dari budaya di sana, yang cenderung tidak suka menghukum jurnalis dan pelapor.

Sedangkan di Indonesia, kondisi seperti itu masih diperjuangkan. Anda tahu pemerintah belum tentu ada di pihak Anda. Bahkan bisa jadi tidak mendukung apa yang Anda lakukan.

Bagaimana perlindungan whistleblower di Australia?

Perlindungannya tidak benar-benar memadai. Perlindungan diarahkan bagaimana agar whistleblower memberikan informasi ke badan pengawas khusus, bukan ke jurnalis. Tapi sampai batas tertentu setidaknya hukum bekerja dalam mendukung whistleblower.

Seorang jurnalis investigasi di Australia lebih memilih berkorespondensi dengan narasumber penting via surat dibanding lewat telepon ataupun pesan pendek. Itu karena metadata memungkinkan semua hal yang terjadi secara elektronik terekam dan bisa ditelusuri. Metadata seperti pedang bermata dua. Itu bisa digunakan untuk memberantas korupsi di pemerintah, tapi bisa juga untuk menelusuri gerak jurnalis yang akan bertemu dan mendapat informasi penting dari narasumber.

Menurut Anda, mengapa banyak perundangan, termasuk di Indonesia, yang tak mendukung kebebasan pers?

Mungkin saja itu bagian dari kepentingan birokrat. Mereka akan lebih merasa bahagia kalau tidak ada kebebasan pers sama sekali, karena mereka tidak bakal diawasi. Semestinya tidak jadi masalah jika pers mengungkap sesuatu yang membuat orang malu, karena itu adalah harga yang harus dibayar untuk hidup dalam demokrasi.

Secara garis besar, bisakah dikatakan kebebasan pers di Indonesia belum membaik?

Kita tahu, sejak Indonesia tak lagi dipimpin Presiden Soeharto, banyak hal berubah lebih baik, meski belum maksimal. Penting bagi lembaga swadaya masyarakat di Indonesia untuk terus melakukan kampanye kebebasan pers ke dalam dan luar negeri. Ini sudah dilakukan oleh organisasi di Myanmar, yang terus mempromosikan kebebasan berekspresi dan pers independen di pelbagai wilayah.

Jim Nolan
PENDIDIKAN: Bachelor in Arts, Queensland University (1973), Bachelor in Law, Macquarie University, Master in Law, Sydney University Law School
KARIER & ORGANISASI: Anggota staf dan advokat di aliansi jurnalis Media Entertainment and?Arts Alliance (1973-1984), Anggota eksekutif NSW Privacy Committee (1984-1987), Pengajar di Sydney University Law School, Anggota yayasan komite editorial Australian Journal of Labour Law, Penasihat hukum sejumlah serikat pekerja termasuk wartawan, Pakar hukum International Federation of Journalists (IFJ), Pembicara di sejumlah acara jurnalistik mewakili IFJ

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus