Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 16 Agustus 1945, Sukarno dan Mohammad Hatta diundang Admiral Tadashi Maeda, komandan basis militer Jepang di Batavia, ke rumahnya, yang sekarang terletak di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta. Sukarno didorong segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Teks proklamasi dibikin Sukarno malam hari, dan keesokan paginya sudah tertulis di secarik kertas dan hendak ditik. Tapi mesin tik milik Maeda cuma ada dalam bentuk huruf kanji. Tak banyak yang tahu bahwa ajudan Maeda, Satzuki Mishima, lalu bergegas ke rumah Dr Hermann Kandeler, bekas komandan basis marinir Jerman di Batavia, untuk meminjam mesin tiknya. Kandeler menyuruh Mishima mengambil mesin tik itu di kantornya di Pelabuhan Tanjung Priok.
Mishima kemudian membawa mesin tik milik Jerman itu ke rumah Maeda. Lalu Sekretaris Sukarno, Sayuti Melik, mengetik teks proklamasi itu, sebelum akhirnya ditandatangani Sukarno dan Hatta. Inilah kisah baru yang diceritakan Horst H. Geerken. Sayangnya, mesin tik yang dipajang di Museum Perumusan Naskah Proklamasi sekarang, menurut Geerken, bukan mesin tik yang dipakai Sayuti Melik. Sebab, setelah dipakai, mesin tik yang berlogo Adler (lambang negara Jerman) itu dikembalikan kepada Dr Kandeler.
Hubungan Jerman dan Jepang saat pendudukan Jepang di Indonesia, kata Geerken, sangat erat. Tentu lebih dari sebatas pinjam-meminjam mesin tik itu. Menurut Geerken, ketika Jepang masuk ke Indonesia, banyak warga Jerman menderita. Itu karena tatkala Jerman menginvasi Belanda, 10 Mei 1940, pemerintah Belanda membalas menyiksa warga Jerman di Hindia Belanda. Warga Jerman, yang sebelumnya hidup harmonis berdampingan dengan warga Belanda, diambil paksa dari rumah-rumah dengan todongan bedil dan sikap kasar.
Mereka ditangkap dan diasingkan ke berbagai tempat pengasingan di Jawa (Ngawi, Ambarawa, Tangerang, dan sebagainya), Sumatera, dan Kalimantan. Para suami dipisahkan dari istri dan anak-anaknya. Semua laki-laki di atas 16 tahun dikerangkeng. Ribuan tawanan dikurung di dalam tempat sempit dengan sanitasi buruk, bercampur dengan tikus dan serangga berbahaya. Banyak yang mati di situ karena asma dan sakit paru-paru atau terjangkit lepra.
Orang Jerman yang sudah punya paspor Belanda pun ditangkap. Dr Ralph von Koenigswald contohnya. Dia ilmuwan yang datang ke Batavia atas undangan pemerintah Hindia Belanda untuk ambil bagian dalam ekspedisi geologi di Jawa pada 1930. Pada, 1937, Koenigswald mengubah kewarganegaraannya dari Jerman ke Belanda. Namun ia tetap dipenjarakan di Ambarawa dan Ngawi. Semua perusahaan dagang Jerman di Hindia Belanda juga disita. Termasuk perkebunan teh milik Emil Helfferich di Puncak seluas lebih dari 4.000 hektare. Koran Deutsche Wacht pun ikut dibredel.
Setelah Jepang masuk pada 1941, barulah semua tahanan Jerman dibebaskan, diganti dengan orang-orang Belanda, termasuk perempuan dan anak-anak. Tentara Jepang di bawah komando Jenderal Hitoshi Imamura mengalahkan tentara Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) tanpa perlawanan berarti. Setelah Jepang merampas semua harta kekuasaan Belanda, warga Jerman kembali menempati posisinya di perusahaan dagang miliknya, yang sebelumnya dirampas Belanda, dan kembali hidup normal.
Atas saran Laksamana Donitz, Hitler kemudian membangun basis-basis marinir di Singapura, Penang, dan Hindia Belanda. Di Hindia Belanda, basis marinir Jerman tersebar di Bandung, Surabaya, Batavia, dan Sabang. Jepang sudah lebih dulu membangun basis marinirnya di Batavia dan Sabang. Kedua basis marinir itu bekerja sama dengan baik. Markas besar pangkalan marinir Jerman di Surabaya berada di Tunjungan Boulevard. Di situ juga terdapat Hotel Oranje, yang sekarang berubah nama menjadi Hotel Majapahit.
MENURUT Geerken, salah satu hal yang disarankan Walther Hewel kepada Hitler adalah merangkul Pembela Tanah Air (Peta). Peta dibentuk Sukarno pada zaman Jepang, 1943. Ide Hitler itu terlaksana dengan mulus karena ia berteman baik dengan Jenderal Kekaisaran Jepang Oshima Hiroshi, yang sejak 1940 menjadi Duta Besar Jepang untuk Jerman. Hitler malah sudah berteman baik ketika Hiroshi masih menjabat atase militer di Berlin pada 1936.
Jalan mulus itu diperlicin oleh Hewel, "informan" Hitler yang paling berjasa tentang masalah Asia Timur, yang juga berteman baik dengan Hiroshi. Hewel menyatukan tiga kepentingan: Hitler sebagai penyedia dana, Hiroshi sebagai organisator dan distributor peralatan militer yang dikirim dari Jerman ke Hindia Belanda, serta Laksamana Donitz-yang sejak 1941 naik pangkat menjadi panglima perang-yang menyediakan kargo pengangkut peralatan militer itu di kapal-kapal selam Jerman yang berangkat ke Hindia Belanda.
Geerken banyak mendengar cerita dari para veteran pejuang kemerdekaan bahwa kapal-kapal selam Jerman yang datang ke pangkalan marinir di Batavia dan Surabaya sarat dengan kargo berbagai peralatan perang. Geerken menyebutkan Hitler telah mengirim setidaknya 55 U-Boote (kapal selam) sampai akhir 1945 ke wilayah Malaka, Singapura, dan Hindia Belanda. Kiriman persenjataan itu tidak cuma untuk mendukung kekuatan basis marinir Jerman di Hindia Belanda, tapi juga buat mendukung perjuangan Peta.
Jerman menyerah kepada Sekutu pada 5 Mei 1945, menyusul Jepang pada 15 Agustus 1945. Namun, menurut Geerken, banyak marinir Jerman yang tidak mau pulang ke Jerman. Sebagian memilih tinggal di Indonesia dan memberikan pendidikan militer di Akademi Militer di Yogyakarta. Kapten August Friedrich Hermann Rosenow, misalnya. Dia bekas kapten kapal ekspedisi jalur Hamburg-Amerika, Hapag, yang berlayar ke Hindia Belanda sejak sebelum Perang Dunia I. Dia pernah diasingkan Belanda ke Sumatera dan mengungsi ke Jepang pada era Perang Dunia II.
Setelah Hindia Belanda diduduki Jepang pada 1942, Rosenow kembali ke Jawa dan bertemu dengan Presiden Sukarno. Kepada Sukarno, ia menyarankan Indonesia mendirikan sekolah militer, yang kemudian terwujud menjadi akademi militer di Yogyakarta, yang waktu itu tempat belajarnya masih bersamaan dengan sekolah Jerman di Sarangan, Jawa Timur. Rosenow menjadi pengajar di situ. Rosenow kemudian berjasa melahirkan Angkatan Laut Republik Indonesia dan mendidik calon-calon pelaut militer Indonesia. Para calon pelaut tersebut-atas kerja sama yang dibina Rosenow dengan Jerman-kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah pelayaran Werft H.C. Stlcken & Sohn, Hamburg, Jerman, sejak 1952. Rosenow adalah penasihat penting Sukarno bidang kelautan.
Sukarno sendiri memerintahkan anggota Peta belajar bahasa Jerman di sekolah Jerman di Kota Sarangan-agar bisa mengikuti materi pendidikan militer di Yogya itu. R.E. Martadinata adalah anggota Peta yang pernah bersekolah di situ dan fasih berbahasa Jerman. Presiden Sukarno juga diketahui beberapa kali berkeliling ke berbagai pulau dengan pesawat Dornier DO 24K. Ini pesawat Jerman pesanan Belanda sebelum Perang Dunia II meletus, 1939. Waktu itu ada 42 pesawat yang dipesan Belanda dari Jerman. Tapi, karena Belanda kalah, pesawat-pesawat itu kemudian diserahkan kepada tentara Peta. Di era kemerdekaan, 1970, DO 24K masih digunakan Direktur Pertamina A.R. Ramly untuk mengecek sumber minyak di Kalimantan. Kini pesawat itu masih bisa dilihat di bandar udara militer Kalijati.
Mobil resmi kenegaraan Presiden Sukarno beberapa saat setelah Indonesia merdeka juga adalah Mercedes-Benz G5 hitam buatan Jerman. Mobil itu sekarang dipajang di museum Sukarno di kota kelahirannya di Blitar, Jawa Timur. Mobil tersebut merupakan kendaraan militer Jerman di basis marinir Batavia dan Surabaya. Jerman, dalam buku Geerken, walhasil banyak disebut kontribusinya untuk kemerdekaan. Dan ingat, nama Indonesia diperkenalkan pertama kali ke dunia internasional oleh Adolf Bastian, dokter kapal dan ilmuwan Jerman.
Sri Pudyastuti Baumeister
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo