Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kay Rala Xanana Gusmao: "Saya Menaruh Harapan pada Amien Rais"

9 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanggal 12 November tujuh tahun silam. Mata dunia menyorot sebuah peristiwa Dili, sebuah kejadian yang di kemudian hari disebut sebagai tragedi Santa Cruz, suatu peristiwa yang kemudian menyebabkan puluhan warga Timor Timur (Timtim) tewas. Peristiwa itu dimulai dengan sebuah misa pemakaman Sebastiao Gomes di Gereja Motael, yang tewas akibat kerusuhan 28 Oktober. Upacara khidmat itu kemudian berubah menjadi arena unjuk rasa karena kebetulan Komisi Hak Asasi Manusia PBB tengah berkunjung. Unjuk rasa yang kemudian diakhiri dengan penembakan terhadap anak-anak muda Timtim itu hingga kini menjadi sebuah luka yang tak mudah dilupakan.

Lalu, di manakah sosok Xanana Gusmao saat itu?

Menurut pemerintah Indonesia, Xananalah yang melakukan provokasi dalam insiden ini. Sebagai pimpinan tertinggi Falintil--pasukan gerilyawan yang menginginkan Timtim merdeka--Xanana hari itu tengah berada di dekat Dili. Tapi apakah memang dia yang berperan? Bagi Xanana, yang bernama lengkap Kay Rala Xanana Gusmao, peristiwa itu adalah satu kejadian yang menimbulkan perasaan yang campur aduk. Setiap kali ia mengingat apa yang disebutnya sebagai tragedi Santa Cruz, "Ada rasa sedih. Namun, seiring dengan waktu, kepedihan itu menguap. Dan kami harus berjuang kembali," ujar Xanana.

Lucunya, meski sudah jelas Xanana dianggap pejuang di mata warga Timtim, ia tak lebih seorang dari kriminal senjata api dan bos gerombolan pengacau keamanan (GPK) di mata pemerintah Indonesia.

Penjara Cipinang, tempat ia menjalani total hukuman 20 tahun, menjadi saksi betapa populernya pria kelahiran Manututo, 20 Juni 1946 ini. Pada hari Rabu dan Minggu komandan Falintil ini sibuk meladeni puluhan tamu dari dalam dan luar negeri. Ze, sebutan akrab Xanana, tak ubahnya selebriti yang menghadapi puluhan penggemar. Di LP Cipinang Xanana biasanya muncul di ruang besuk pukul 10.00 dan menyapa tamu-tamunya dalam bahasa Tetum, Portugis, Inggris, atau Indonesia, tergantung kepada siapa ia berbicara. Khusus untuk teman-teman dekat dan kerabat, ada tambahan bonus: pelukan dan ciuman.

Pria setinggi 178 cm ini memang tampan dan rapi, jauh dari kesan gerilyawan yang pernah 18 tahun hidup di hutan-hutan di berbagai kawasan pegunungan Timtim. Pencinta sepak bola itu menjalani kehidupan yang berbeda di dalam bui dibandingkan dengan kehidupan belasan tahun di hutan bersama dengan tentara Falintil. Di Cipinang ia bisa lebih tenang memikirkan rencana yang digagasnya sejak 1975: Timor Leste Merdeka (Timor Timur Merdeka).

Perjalanan Presiden Conselho Nacional Resistencia de Timorese (CNRT) atau Gerakan Perlawanan Nasional Rakyat Timtim ke Cipinang itu adalah akhir dari safari panjang di hutan-hutan kawasan pegunungan Timtim, di mana Xanana berseteru dengan tentara Indonesia selama 16 tahun. Perlawanannya patah pada Jumat subuh, 20 November 1992. Di sebuah rumah di desa Labane Barat, Dili, pasukan baret merah pimpinan Kapten Teddy Laksamana menyergap bos gerilyawan Falintil itu, yang baru selesai mandi.

Tanggal 20 Mei 1993 ia divonis hukuman bui seumur hidup--dikurangi menjadi 20 tahun tahun penjara oleh grasi Presiden Soeharto pada 17 Agustus 1993--oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Dili. Ia sempat dikurung di Lembaga Pemasyarakatan Kedungpane, Semarang, sebelum akhirnya dipindahkan ke Cipinang pada pertengahan 1993. Xanana mengaku rindu benar kembali ke Timtim. Ia mencintai keindahan bukit-bukit di seputar Baucau, yang amat akrab dengannya semasa ia di hutan. Sesekali, bila kenangan melankolik pada tanah kelahirannya itu tak lagi tertahankan, ia menuangkan perasaannya dengan melukis. Berikut adalah petikan wawancaranya dengan wartawan TEMPO Yusi A. Pareanom, Leila S. Chudori, dan Hermien Y. Kleden.


Apa yang sebenarnya terjadi di Santa Cruz tanggal 12 November 1991?

Pembantaian Santa Cruz tidak bisa dianggap peristiwa yang berdiri sendiri. Kita harus melihat kejadian-kejadian sebelumnya. Saat itu kami sedang mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan parlemen Portugal. Ini kesempatan terbaik untuk memberitahukan pada dunia tentang keinginan kami, yaitu menentukan nasib sendiri.

Apa yang sesungguhnya direncanakan saat misa pemakaman di Santa Cruz?

Anak-anak muda ini menemui saya di tempat persembunyian di Dili. Mereka bertanya apa yang harus dilakukan. Setelah berunding, kami sepakat untuk melakukan pemakaman secara damai bagi korban yang jatuh. Lagipula banyak orang yang sembunyi karena ngeri. Namun kami meremehkan ABRI. Kami tidak menyangka bahwa militer bisa bertindak sekejam itu di Santa Cruz. Saya betul-betul tidak percaya ini bisa terjadi. Sebab, secara psikologis, saya berpikir tak mungkin ada insiden, mengingat saat itu Indonesia tengah jadi sorotan setelah batalnya kunjungan parlemen Portugal. Ternyata saya keliru.

Anda menyesal telah salah perhitungan?

Tidak. Saya tidak menyesal, hanya merasa sakit bahwa peristiwa itu bisa terjadi.

Apa yang mereka lakukan dalam persiapan ini?

Biasalah, anak-anak muda itu ingin membuat aksi yang hebat-hebat. Saat itu saya juga tahu bahwa intel militer telah mengawasi perkembangan situasi. Namun tiba-tiba pada saat-saat terakhir Jakarta melarang delegasi Portugal itu datang, dengan argumen yang tidak dapat diterima.

Saat penembakan itu berlangsung, Anda berada di mana?

Di dalam kota Dili tidak jauh dari Santa Cruz. Saya bisa mendengar letusan senjata. Saya berpikir, "Oh, my God, now they are killing my people." Bagaimana ini bisa terjadi? Mengapa demonstrasi damai harus dilawan dengan kebrutalan? Saya menitikkan air mata. Tapi pasukan gerilya saya datang dan berkata pada saya, "Kakak, jangan menangis."

Apakah pasukan Anda tidak membalas tembakan?

Tidak. Sebagai pasukan gerilya mereka tahu apa yang harus dilakukan. Saya sendiri bukan ahli gerilya.

Di mana para korban dimakamkan?

Di dua tempat. Pertama, di Hera, lima kilometer sebelah timur Dili. Kedua, di sebelah barat Dili. Palang Merah Internasional berusaha mengikuti kendaraan yang mengangkut jenazah tapi akhirnya tercecer. Terus terang, kami tidak tahu pasti di mana letak yang sebenarnya. Terlalu banyak kamuflase. Jalan-jalan yang akan dilewati truk pengangkut jenazah sudah dilubang-lubangi, sehingga sulit diikuti.

Ada keluarga Anda yang menjadi korban?

Tidak. Tetapi mereka semua adalah "keponakan" saya.

Tampaknya Anda saat itu bisa leluasa bergerak di Dili?

Jaringan klandestin kami sangat rapi. Semua terselubung. Mereka hanya mengizinkan saya bergerak di dalam kota bila semuanya sangat aman.

Apakah Anda punya peran dalam penembakan massal di Santa Cruz?

Saya punya peran? Anda bercanda. Pemerintah Indonesia memang menuduh saya memprovokasi penembakan itu.

Apa sekarang strategi perjuangan Anda?

Saat ini kami sedang mencoba segala cara untuk menyosialkan permasalahan Timtim ini. Saya sadar, tidak semua orang paham dengan yang sebenarnya terjadi di sana. Maka bantuan media massa akan sangat berarti. Kami punya kekuatan moral. Bila kami gagal, kami yakin anak cucu kami akan meneruskan. Tetapi sepertinya saatnya kok sudah dekat (wajah Xanana terlihat cerah).

Dari mana datangnya keyakinan ini?

Setelah reformasi, ada tanda-tanda nasib Timtim akan membaik. Saya yakin, paling lama 20 tahun dari sekarang, kami sudah bisa merdeka. Apalagi kalau Megawati atau Amien Rais yang menjadi pemenang pemilu. Bisa-bisa hanya sampai tahun 2000, ha-ha-ha....

Anda masih percaya dengan perlawanan bersenjata?

Sejak 1987 atau 1988 kita sudah tahu bahwa tidak mungkin kita mampu mengusir ABRI dari Timor dengan senjata. Namun perlawanan senjata bukannya tidak mempunyai arti. Perlawanan senjata memiliki tempat tersendiri dalam kondisi ini.

Apa komentar Anda soal otonomi yang ditawarkan pemerintah Habibie kepada Timtim?

Dalam hal ini, sebetulnya saya tidak bisa berbicara sebagai pribadi. Saya harus berbicara berdasarkan keinginan rakyat. Otonomi itu tidak penting. Yang penting adalah niat baik (dari pemerintah Indonesia) yang harus kami hormati. Otonomi ini, menurut saya, harus dilihat sebagai periode transisional. Kami harus membuktikan kemerdekaan tidak akan datang kalau kita tidak melakukan sesuatu. Dan kemerdekaan itu tidak bisa diperoleh secara drastis. Dalam rangka itulah kami memegang komitmen tentang otonomi sebagai suatu usaha yang berkesinambungan ke arah Timor Leste Merdeka.

Jadi, otonomi ini diterima sebagai bagian dari perjalanan menuju referendum?

Otonomi itu kami terima sebelum referendum disetujui untuk dilaksanakan. Pada dasarnya kami mau meyakinkan rakyat Indonesia bahwa persoalan ini adalah masalah antara pemerintah RI dan kami, orang Timtim, bukan antara orang Timtim dan seluruh rakyat Indonesia.

Seandainya referendum itu dilaksanakan dan rakyat memilih integrasi. Apa yang akan Anda lakukan?

Tentu kami harus mengikuti kehendak rakyat Timtim, kendati secara pribadi saya tidak percaya rakyat akan memilih integrasi dengan Indonesia.

Anda akan meninggalkan Timtim seandainya integrasi menjadi suara mayoritas?

Kenapa harus pergi? Saya akan tetap tinggal di Timtim. Pada dasarnya kami bukan antiintegrasi. Yang kami lawan adalah cara-cara pemerintah Indonesia memaksakan ide integrasi dengan cara represif.

Apa yang akan Anda lakukan pada orang-orang Timtim prointegrasi jika pada akhirnya rakyat Timtim menolak integrasi?

Kami selalu mengatakan pada segenap rakyat Timtim bahwa dalam perjuangan (untuk mencapai kemerdekaan) kami belajar dari banyak hal: kesalahan kami (Timtim) pada masa lalu serta pengalaman negara lain, termasuk dalam hal rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi nasional hanya bisa terjadi bila semua orang bisa duduk dengan rendah hati serta tahu dan mengakui kesalahan sendiri. Semua rekonsiliasi nasional harus dimulai dari jalur politik, bukan jalur hukum. Banyak orang yang kehilangan sanak-keluarga selama masa perang. Kalau kita memikirkan semua pembunuhan yang terjadi, kita terbakar oleh rasa marah dan dendam.

Apakah itu artinya Anda juga akan memaafkan sosok seperti Gubernur Abilio Soares, yang dikenal sangat berpihak kepada integrasi?

Saya tidak mau menyebut nama per nama. Ada orang-orang yang saya istilahkan punya "tangan penuh darah". Ada yang punya "tangan penuh rupiah". Ada lagi yang punya tangan "penuh rupiah berdarah". Terhadap semua itu saya bisa mengatakan dengan ikhlas, "We have no revenge".

Dibandingkan dengan beberapa publikasi yang pernah Anda buat beberapa tahun silam, sikap ini terdengar bijaksana. Apakah penjara telah mengubah Anda?

Saya sering merenung bahwa yang paling penting dari seluruh perjuangan ini adalah Timor Leste Merdeka. Untuk mencapai itu kami harus bisa melupakan hal-hal yang kurang penting.

Perubahan sikap Anda ini apakah karena Anda merasakan ada perubahan tertentu dalam sikap pemerintah Indonesia?

Reaksi kami sangat bergantung pada aksi-aksi yang dilancarkan pemerintah Indonesia. Jika pemerintah Indonesia mengajak bicara baik-baik, ya kita ladeni. Kalau di sana mengajak bicaranya dengan cara keras kepala, tentu reaksi kami pun tidak lebih dari itu, yaitu sebagai orang yang keras kepala.

Perubahan sikap apa yang Anda rasakan dari rezim baru ini?

Yang amat saya hargai adalah perubahan sikap Menteri Luar Negeri Ali Alatas. Sebelum reformasi, Ali Alatas hanya mau berunding dengan suatu kondisi, yaitu Portugal harus menerima integrasi Timtim dengan Indonesia. Namun dalam perundingan segi tiga Agustus lalu, di New York, yang dihadiri Menlu Ali Alatas, Sekjen PBB Kofi Anan, dan Menlu Portugal Jaime Gama, saya lihat Alatas sudah bisa berunding tanpa persyaratan itu. Hal ini merupakan perubahan dari pemerintahan Habibie, meskipun memang belum ada perubahan yang berarti menyangkut hal-hal yang lebih.

Anda menyebut-nyebut perlunya saling memaafkan dalam proses rekonsiliasi. Kesalahan apa dari tentara Falintil yang membuat mereka perlu meminta maaf?

Apa saja yang sudah dituduhkan harus kita jernihkan. Ada dosa kolektif yang harus ditanggung oleh dua belah pihak. Harus ada pendekatan baru dalam sikap menuju proses (perundingan) baru.

Anda berjuang di hutan lalu masuk penjara sebagai kriminal. Sedangkan Ramos Horta hidup bebas di luar negeri, lalu mendapat Hadiah Nobel pula. Komentar Anda?

Dia telah memperjuangkan apa yang menjadi bagiannya. Ketika pecah perang di Timtim, Ramos dan kawan-kawan lain kebetulan sedang ke luar negeri. Dan mereka terus berada di sana, berjuang dalam jaringan internasional. Orang mengatakan banyak hal yang buruk tentang Ramos Horta. Misalnya, katanya, ia suka memainkan uang. Itu tidak benar. Kami sama-sama berjuang. Dia berjuang di luar negeri, saya berjuang di sini. Kami sangat dekat, ibarat jiwa dan raga yang tak terpisahkan. I am the body and he is the soul.

Anda tidak keberatan dengan gaya Ramos Horta yang cenderung bermewah-mewah?

Kami dapat menerimanya karena ia sedang dalam misi bangsa kami. Dan tentu saja kami tidak bisa meminta ia untuk berpakaian seperti gembel. Ingat, ia dalam misi diplomatik. Di hutan saya berpakaian seragam tentara. Tapi di sini saya tidak bisa diminta memakainya bukan?

Bagaimana Anda mendorong anak-anak muda Timtim menerima ide Timor Leste Merdeka yang belum ketahuan bentuknya?

Anda jangan menyangka pemuda-pemuda Timtim itu seperti pemain sinetron. Mereka sudah biasa hidup susah. Mereka datang belajar ke Jawa dalam keadaan serba kekurangan, tapi mereka bertahan. Tahun 1990-1992 di Timtim ada semacam gerakan perjuangan di kalangan pemuda Timtim untuk melawan tentara Indonesia. Para pemuda Timtim sudah berjuang sejak berada dalam kandungan ibunya. Ketika ibu mereka menangis karena kekejaman tentara Indonesia, tangis itu menjadi national anthem bagi orang Timtim.

Ada kesan para pemuda Timtim itu "keporto-portoan". Mereka, misalnya, memilih lari ke Portugal, padahal Portugal kan pernah menjajah Timtim selama ratusan tahun?

Saya rasa hal itu tak dapat dipisahkan dari hubungan politik, sejarah, dan budaya. Dalam hubungan dengan perjuangan Timtim Merdeka kami merasa paling banyak mendapat dukungan dari Portugal. Negara-negara Barat yang hebat-hebat itu, yang kampiun demokrasi, tidak mau berhadapan dengan Indonesia bila bicara soal perjuangan demokrasi bagi tanah air kami. Adapun Portugal lain, tetap mendukung perjuangan kami. Portugal memang pernah menjadi menjajah Timtim. Dan hubungan kami pada masa itu adalah hubungan antara penjajah dan orang terjajah. Kami memang tidak punya memori tentang kemerdekaan di bawah penjajahan Protugal, tapi kami pernah mengalami masa-masa yang lebih baik. Portugal sebagai penjajah tidak merusak kebudayaan kami. Di kota, misalnya, yang berlaku memang hukum pemerintah penjajah. Tapi di desa-desa yang berlaku adalah hukum adat.

Bila Timtim akhirnya merdeka, kira-kira bahasa nasional apa yang akan digunakan?

Bahasa Tetum akan menjadi bahasa nasional. Untuk bahasa resmi kami akan menggunakan bahasa Portugis. Sedangkan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia akan menjadi bahasa bisnis.

Anda punya perkiraan, kapan bisa bebas?

Saya menaruh harapan pada Amien Rais. Bila ia menjadi presiden pada tahun 2000, saya yakin saya bisa bebas kembali.

Kenapa Amien Rais?

Karena ia meletakkan demokrasi menduduki tempat yang tinggi dalam platform pendirian partainya. Jika orang menaruh demokrasi pada tempat setinggi itu, masa ia membiarkan begitu saja orang yang memperjuangkan demokrasi bagi tanah airnya?

Anda punya kontak dengan Amien Rais?

Sejauh ini belum ada.

Ada kabar yang menyebutkan Anda pernah bertemu Habibie atau utusannya Habibie.

Belum. Habibie kan terlalu tinggi. Tentu saja saya ingin (bertemu Habibie), tapi tidak ada tanda-tanda bahwa saya dianggap dapat membantu penyelesaian Timtim. I’m a criminal, remember? Ha-ha-ha. Tapi kalau betul ia mau bertemu dengan saya, saya akan senang.

Saat bertemu dengan Nelson Mandela, apa saja yang Anda bicarakan?

Pertemuan dengan Mandela itu sangat bernilai. Apalagi beliau bisa melakukan itu pada zaman pemerintahan Soeharto. Perhatian dari beliau menunjukkan perjuangan rakyat kami tidak sia-sia. Dalam pembicaraan itu ia menyatakan dukungan pada penyelesaian yang adil. Mandela juga menasehati untuk memperhatikan masalah rekonsiliasi nasional. Beliau berkata, tanpa merangkul semua, penyelesaian itu tidak akan terjadi.

Apakah Anda pernah mengalami penyiksaan selama dalam tahanan?

Secara fisik, tidak pernah. Tetapi secara psikologis mereka menganiaya. Pada waktu pertama kali saya ditangkap, tentara tidak memberi kesempatan saya untuk tidur. Itu membuat saya kehilangan kapasitas untuk berpikir dan berkonsentrasi. Perlakuan ini saya terima di Denpasar dan di markas Bais (Badan Intelijen Strategis). Saya dipaksa mengaku menjadi warga negara Indonesia, makanya saya sempat menolak diwawancarai.

Bagaimana dengan tuduhan bahwa Anda bertanggung jawab terhadap terbunuhnya tentara Indonesia?

Saya bilang pada mereka bahwa itu benar. Bahkan saya mengakui semua aktivitas yang dilakukan gerilyawan. Masalahnya, saya adalah komandan mereka.

Bagaimana hubungan Anda dengan Uskup Belo?

Secara politis, sangat bagus. Kami memberi dukungan satu sama lain karena tujuan kami satu, yakni: memerdekakan tanah air kami. Pidato Uskup Belo saat menerima Nobel sangat bagus ketika menyebut bahwa semua umat manusia terlahir merdeka.

Apakah Anda tidak merasa kehilangan keluarga selama ditahan?

Tentu saja saya merindukan mereka. Tetapi rakyat Timor telah mengembangkan perasaan baru bahwa keluarga sendiri tidak lagi sedemikian berharganya seperti halnya dalam kehidupan normal. Keluarga hanya bagian kecil. Coba lihat "adik perempuan" saya ini (Xanana menunjuk salah seorang pengunjung. Bagi Xanana semua pengunjung dari Timor adalah saudaranya). Suaminya saat ini telah mengalami kerusakan mental yang sangat berat. Ia menerima siksaan apa saja yang pernah terlintas di otak manusia. Saat ini suami adik saya ini sedang menjalani masa tahanannya. Dia datang ke sini untuk minta tolong karena ia mengalami kesulitan dalam membiayai anak ke sekolah. Saya nanti mengatur agar adik saya yang lain bisa membantu. Nah, mendengar kesulitan yang semacam ini, kecemasan terhadap anak sendiri berkurang. Apalagi anak saya sekarang di luar negeri menjalani kehidupan yang lebih baik dan tanpa teror.

Kapan Anda terakhir bertemu dengan keluarga?

Pertemuan terakhir dengan anak-anak tahun 1996, ketika mereka menjenguk ke sini. Sedangkan istri saya datang tahun 1994.

Apa perbedaan perlawanan yang dilakukan semasa penjajahan Portugal dan sekarang?

Yang paling membedakan adalah kondisi represifnya. Zaman Porto setelah pendudukan Jepang selesai, kami telah mendengar bahwa Angola dan jajahan Porto yang lain telah merdeka. Kami bukannya tidak mau merdeka, tapi belum merasa mampu pada saat itu. Maka perlawanan yang kami lakukan lebih pada perlawanan di bidang budaya dan sosial, yang sifatnya lebih teoretis, misalnya kami enggan mematuhi peraturan yang ini atau itu dan kami juga tidak mau membayar pajak. Namun saat itu situasinya tidak represif. Setelah tentara Indonesia masuk, yang kami hadapi adalah senjata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus