Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama Kay Rala Xanana Gusmao, 58 tahun, kembali menyedot perhatian publik Indonesia. Dua pekan lalu, Xanana bertemu dengan Wiranto, bekas Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI, yang kini menjadi calon presiden dari Partai Golkar. Pertemuan di Bali itu berhasil menghaluskan cap negatif Wiranto sebagai penjahat hak asasi Timor Timur. Stempel buruk itu merupakan buntut dari pembantaian massal yang diduga dilakukan ABRI dan milisi pro-Jakarta pasca-jajak pendapat di "Provinsi Timor Timur" pada 1999.
Xanana tak cuma bertemu dengan Wiranto. Sebagai Kepala Negara Timor Leste, Xanana juga telah "bermurah hati" membatalkan surat penangkapan Wiranto. Surat panas itu tiga pekan lalu dikeluarkan oleh Serious Crime Unit, sebuah badan khusus di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). "Timor Leste tak perlu menangkap Wiranto. Masa lalu adalah masa lalu," ujar Xanana.
Banyak tafsir atas perubahan sikap Xanana yang sekonyong-konyong itu. Yang terang, Timor Leste memang sedang dililit kemiskinan. Lihat saja kondisi "istana kepresidenan" yang terletak di sebuah gedung yang pernah terbakar di Rua De Caicoli, Dili. Saat Tempo News Room berkunjung, Istana itu tak dijaga oleh pasukan pengawal. Rumput liar tumbuh di halaman. Tak ada protokoler yang ketat dan garang. Penyekat ruang di kantor kepresidenan itu hanya berupa tripleks yang tidak dicat. Di ruang tunggu, hanya ada sofa merah jambu yang sudah kehitam-hitaman, sebuah televisi 21 inci, dispenser, dan sebuah tempat sampah. Tak ada yang lain.
Mengapa Xanana membebaskan Wiranto? Apakah ia telah menjadi pragmatis? Bagaimana pula kondisi Timor Leste kini? Wartawan Tempo News Room Faisal Assegaf bulan lalu mewawancarai Xanana. Selama wawancara di ruang kerjanya, Xanana menghabiskan dua batang Marlboro. Untuk melengkapi wawancara itu, wartawan Tempo Setiyardi menghubunginya lewat sam-bungan telepon. Berikut kutipannya.
Anda bertemu dengan Wiranto di Bali. Apa agenda utama yang dibicarakan?
Kami membicarakan banyak hal yang menyangkut kepentingan kedua negara. Bagi saya, Pak Wiranto merupakan tokoh penting yang dimiliki Indonesia. Sebagai negara baru, Timor Leste perlu mendengar banyak dari para tokoh dan pemimpin Indonesia.
Apakah soal surat penangkapan Wiranto yang dikeluarkan Serious Crime Unit juga dibicarakan?
Ya, itu sempat disinggung. Tapi kami lebih banyak bicara tentang prinsip-prinsip besar yang menyangkut kedua negara.
Apakah Anda sadar pertemuan itu menjadi komoditas politik bagi Wiranto?
Saya sadar bahwa Wiranto sedang menjadi calon presiden Indonesia. Dia tentu bisa saja memanfaatkan pelbagai isu. Tapi, dari sisi saya dan Timor Leste, Wiranto dan Indonesia merupakan faktor penting. Kami tidak akan bisa maju tanpa dukungan Indonesia.
Apakah Wiranto menjanjikan sebuah kompensasi atas pertemuan penting itu?
Tidak ada kompensasi sama sekali. Saya bisa bicara dengan Pak Wiranto. Saya selalu bekerja dengan prinsip. Jadi, tidak ada tekanan atau permintaan khusus dari Pak Wiranto. Kami bicara tentang masalah-masalah yang ada. Pembicaraan tersebut berlangsung dalam suatu iklim yang terbuka sekali.
Benarkah sebelumnya Anda pernah melakukan pertemuan dengan Wiranto?
(Xanana tampak menghela napas dalam-dalam?Red.) Ya, sebelumnya saya sempat bertemu. Cuma sekali. Kami memang harus membicarakan banyak masalah. Saya tidak akan mengingkari prinsip-prinsip yang selama ini saya bela. Pertemuan itu bukan karena saya mendapat tekanan dari Wiranto untuk membantu pencalonannya sebagai presiden. Nah, agar tak muncul prasangka yang salah, saya membawa jaksa agung dalam pertemuan itu. Jadi, saya bertemu bukan hanya sebagai teman, tapi juga sebagai kepala negara. Karena ada jaksa agung, Wiranto bicara langsung dengan jaksa agung. Kami bicara terus terang.
Apakah pertemuan itu atas undangan Wiranto?
Saya sedang lewat Bali. Pak Wiranto ada di sana. Pertemuan itu terjadi beberapa bulan yang lalu.
Serious Crime Unit Timor Leste me-ngeluarkan surat penangkapan terhadap Wiranto. Apa pendapat Anda?
Itu persoalan yuridis. Jadi saya tidak bisa berkomentar. Sesuai dengan prosedur, sebagai kepala negara saya tidak menerima laporan soal itu. Tapi saya tak menginginkannya. Makanya Jaksa Agung Longuinhos Monteiro membatalkan surat penangkapan Wiranto.
Mengapa Serious Crime Unit mengeluarkan surat penangkapan itu?
Di Timor Leste institusi Serious Crime Unit jalan sendiri. Tak ada intervensi asing. Sebagai kepala negara, saya tidak bisa mengintervensi Serious Crime Unit. Saya juga tak bisa mengintervensi pengadilan. Kalau ada kesalahan, saya cuma bisa bilang itu salah, tapi tidak bisa mengintervensi.
Benarkah Anda dan Jaksa Agung Monteiro tidak tahu-menahu tentang surat perintah penangkapan tersebut?
Sebagai kepala negara, saya memang tak usah tahu dengan surat penangkapan seperti itu. Jaksa Agung Monteirolah yang harus tahu. Tapi, karena kita baru membangun negara, semua proses tersebut belum berjalan lancar.
Mengapa Anda mendukung langkah Jaksa Agung Monteiro?
Banyak pertimbangan dan prinsip yang saya pikirkan. Saya pastikan, pembatalan surat penangkapan Wiranto oleh Jaksa Agung Monteiro bukan akibat tekanan dari Indonesia. Ini adalah prinsip kami. Tindakan yang diambil oleh Jaksa Agung Monteiro dalam jalur kepentingan negara.
Anda seperti mengabaikan proses hukum atas dugaan pelanggaran hak asasi oleh Wiranto....
Ini persoalan yang kompleks. Kami sudah membicarakan hal ini selama satu tahun. Dari satu sudut, para pemimpin di Timor Leste tidak bisa bertemu. Jadi kami tidak bisa membuat satu kesimpulan yang utuh. Tapi saya sendiri berpandangan bahwa Indonesia dan Timor Leste sedang membangun masyarakat yang demokratis. Saya pikir prinsip rekonsiliasi merupakan suatu pilihan jalan keluar yang baik. Ada contoh yang menarik. Saya melihat seluruh dunia bertepuk tangan terhadap proses rekonsiliasi yang terjadi di Afrika Selatan.
Bagaimana dengan proses hukumnya? Anda tak menganggap penting?
Kalau dalam segi hukum, kami harus melihat sikap pemerintah Indonesia. Sekarang pemerintah Indonesia sedang menggelar pengadilan hak asasi ad hoc. Secara politik, keputusan untuk menggelar pengadilan hak asasi merupakan tindakan yang berani. Di negara lain, seperti Kamboja dan Filipina, belum ada yang melakukannya. Menurut saya, dunia harus melihat keberanian pemerintah Indonesia yang menyeret para jenderal ke pengadilan. Walaupun hasilnya bisa dibicarakan, ini merupakan suatu keberanian. Karena itu kami harus lebih mengerti Indonesia dalam suatu pemahaman politik. Kalau terlalu memaksakan, semua tidak jalan.
Anda tidak takut disebut sebagai pengkhianat?
Kami harus realistis juga. Kami masih makan Supermi dari Indonesia. Barang lain seperti aqua, pakaian, dan sandal juga dari Indonesia. Dalam era globalisasi ini, kami memerlukan dukungan semua pihak, khususnya dengan tetangga dekat kita. Kalau Timor Leste mau tegas terhadap pelaksanaan hukum dengan cara memotong hubungan dengan Indonesia, persoalannya akan kompleks. Apalagi bila ternyata Wiranto yang terpilih sebagai Presiden Indonesia. Ini bukan berarti kita menyerah terhadap prinsip-prinsip kita.
Bagaimana bila PBB menggelar pengadilan internasional untuk kasus pelanggaran hak asasi Timor Leste?
Pengadilan internasional bukanlah prioritas saya. Prioritas saya saat ini adalah bagaimana kemerdekaan ini memberikan sesuatu yang baik untuk rakyat. Kami masih dalam keadaan yang serba sulit, kok sudah mau mengadakan pengadilan hak asasi. Lagi pula, di dalam negeri sendiri masih banyak kasus yang menunggu keputusan. Kami belum punya hakim yang berpengalaman. Kalau cuma teriak "tangkap Wiranto!", itu persoalan mudah. Tapi masalahnya kompleks sekali....
Apakah sikap politik Anda ini bersifat sementara?
Negara Timor Leste masih memiliki pemuda-pemuda yang tidak memiliki pekerjaan. Mereka cuma jadi pengangguran. Kami ingin mengundang investor dari Eropa untuk menciptakan lapangan kerja. Tapi, uhhh..., Eropa itu jauh sekali. Lagi pula, kami tidak bisa meminta negara-negara Eropa, yang dingin dan punya es di tanamannya, untuk membantu petani Timor Leste. Persoalannya sungguh berbeda. Sekarang ini kami baru memulai. Dan Indonesia, yang sudah di level yang lebih tinggi dari Timor Leste, kami butuhkan pengalamannya. Ini masalah kehidupan untuk masa depan. Jadi, sikap politik saya ini bukan bersifat sementara. Hal ini akan menjadi suatu kebijakan negara yang permanen.
Bila Timor Leste telah maju, apakah pelanggaran hak asasi tahun 1999 bisa dibuka kembali?
Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan menulis surat kepada saya soal pengadilan hak asasi. Beliau bilang bahwa pengadilan internasional seperti di Uganda dan Bosnia-Herzegovina sulit dilakukan karena persoalan uang. Target utama milenium global ini adalah mengurangi kemiskinan. Bagi PBB, uang ratusan juta dolar itu lebih baik untuk mengurangi angka kemiskinan daripada untuk menghukum seseorang yang sudah meninggal dunia. Tidak masuk akal bila pada milenium baru ini kita masih mencari-cari peperangan. Kalau kita terus mengungkit masa lalu, tidak ada waktu untuk membangun.
Anda puas dengan hasil pengadilan hak asasi kasus Timor Leste yang digelar Indonesia?
Kita tidak usah berdiskusi tentang hasilnya. Ini merupakan proses sosial dan politik yang memang berjalan pelan-pelan. Tapi hal ini merupakan tindakan berani dari pemerintah Indonesia. Negara Timor Leste harus melihat proses di Indonesia dan mendukung proses demokratis ini. Soalnya, kami juga perlu dukungan dari Indonesia terhadap proses demokrasi di sini yang juga berjalan pelan-pelan.
Tapi banyak yang kecewa terhadap hasil pengadilan hak asasi ad hoc. Tak ada jenderal yang dihukum. Bagaimana?
Ini bukan soal puas atau tidak puas. Bagi saya, masa lalu adalah masa lalu. Sedangkan masa depan merupakan tujuan bagi kita.
Selain dengan Wiranto, Anda juga bertemu dengan Presiden Megawati. Apa yang Anda bicarakan?
Sebelum menuju pemilihan presiden, Presiden Megawati mau merevisi apa yang ada di antara kedua negara. Salah satu materi yang kami bicarakan adalah persoalan Wiranto. Sejak dulu, masalah ini menjadi topik hubungan bilateral kedua negara. Kami menegaskan kembali bahwa hubungan kedua negara penting.
Benarkah Megawati meminta Timor Leste membujuk PBB agar tidak membentuk pengadilan internasional?
Kedua negara akan bekerja sama de-ngan dunia dan masyarakat internasional untuk mengambil suatu pengertian yang lebih luas. Indonesia dan Timor Leste akan bekerja sama untuk membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi.
Apakah komisi itu akan bersifat bilateral atau multilateral?
Saya tidak bisa mengatakannya sekarang. Timor Leste dan Indonesia sudah bersepakat untuk bekerja sama. Kami juga akan menghubungi masyarakat internasional sehingga didapat pengertian global yang menguntungkan kedua negara.
Indonesia akan melaksanakan pemilihan presiden. Siapa tokoh yang Anda anggap berpeluang menang?
Kami salut sekali dengan proses demokrasi di Indonesia. Sebagai tetangga, kita tentunya harus saling memperhatikan. Kami angkat topi karena proses pemilu di Indonesia berjalan lancar dan aman. Kami salut karena ini merupakan pemilihan umum langsung yang pertama kali. Pemilu Indonesia akan menjadi contoh bagi demokrasi di dunia. Saya kira rakyat Indonesia harus bangga. Dan sebagai tetangga, kami ikut bangga dengan proses yang berjalan di sana. Karena, di dunia global ini, apa yang terjadi di luar perbatasan kita mempengaruhi keadaan kita juga. Saya berharap pemilihan presiden yang akan datang tetap berjalan baik.
Dua bekas petinggi militer, Wiranto dan Yudhoyono, ikut menjadi calon presiden. Apa pendapat Anda?
Saya tidak percaya bahwa dua orang seperti Wiranto dan Bambang Yudhoyono akan mengubah jalur reformasi. Saya percaya, dua orang bekas petinggi militer itu tak akan mengembalikan Indonesia ke Orde Baru. Masyarakat Indonesia menerima dan tengah menjalani proses demokrasi.
Siapa calon Presiden Indonesia yang paling baik untuk hubungan bilateral Indonesia dan Timor Leste?
Saya punya teman di militer, sipil, dan kalangan swasta. Masa lalu adalah masa lalu. Siapa saja yang nanti dipilih rakyat Indonesia, saya percaya akan tetap memberikan perhatian agar hubungan bilateral ini berjalan lancar dan baik.
Banyak warga Timor Leste yang tidak menyukai Wiranto. Benarkah Wiranto bukan calon yang diharapkan Timor Leste?
Saya sama sekali tidak percaya hal itu. Soal di Timor Leste dulu bukanlah masalah Wiranto pribadi. Itu persoalan negara. Bila Wiranto terpilih sebagai Presiden Indonesia, saya akan mengirim ucapan selama secepat mungkin. Ini juga bukan sikap saya sebagai pribadi. Itu merupakan sikap negara ini dalam konteks dunia yang sekarang.
Anda sudah menjadi presiden selama tiga tahun. Bagaimana perkembangan Timor Leste sejauh ini?
Positif sekali. Secara global prosesnya berjalan baik. Setelah September 1999, setelah pelaksanaan jajak pendapat, Timor Leste benar-benar hancur. Semua gedung hangus terbakar. Kami mulai dari titik nol. Saat itu sama sekali tidak ada pemerintahan. Kita mendapat pengertian dari rakyat bahwa ini merupakan proses yang memerlukan waktu.
Apa persoalan yang dihadapi Timor Leste?
Banyak, masih sangat banyak. Anda tahu, penduduk Timor Leste masih banyak yang dijerat kemiskinan. Investasi asing belum sepenuhnya berjalan. Akibatnya, pertumbuhan lapangan kerja memang masih jauh dari harapan. Itulah sebabnya, saya berharap para pengusaha asal Indonesia mau masuk dan menanamkan modalnya di Timor Leste. Saat ini memang sudah ada beberapa yang masuk. Tapi kami butuh lebih banyak lagi.
Bukankah Timor Leste punya celah Timor yang mengandung minyak?
Itu baru harapan. Lagi pula, sebuah negara seperti kami tak bisa bergantung sepenuhnya pada eksplorasi minyak bumi. Minyak bumi tak selamanya menjadi komoditas andalan. Lagi pula, sumber daya alam seperti itu akan ada batasnya. Lihatlah negara Brunei Darussalam. Selama ini mereka sangat mengandalkan minyak bumi. Tapi lambat-laun minyak akan habis dan mengering. Brunei harus mengubah orientasi ekonomi mereka.
Bagaimana perkembangan hubungan bilateral dengan Indonesia?
Perkembangannya sudah terlihat sejak 1999. Dalam kunjungan pertama saya ke Indonesia, November 1999, saya bilang kepada pemerintah dan rakyat Indonesia bahwa kami hanya ingin melihat masa depan. Timor Leste ingin membangun kerja sama yang damai dan saling menghargai. Hal ini akan menjadi basis dalam menjalankan hubungan. Selama empat tahun ini sudah berjalan baik. Anda bisa melihat sendiri banyak perusahaan Indonesia yang ada di Timor Leste. Kami berharap tahun depan sudah terjadi pertukaran budaya.
Apa persoalan yang tersisa?
Tentu masih ada persoalan antara Timor Leste dan Indonesia. Soal batas wilayah, misalnya, masih ada masalah. Tapi kami berharap tidak lama lagi persoalan di batas wilayah bisa diselesaikan. Karena Indonesia adalah negara tetangga yang paling dekat, kita melihat masa depan yang bagus sekali untuk suatu hubungan baik.
Di dalam negeri, Anda sering berbeda sikap dengan Perdana Menteri Mari Alkatiri dan Menteri Luar Negeri Ramos Horta. Bagaimana Anda mengelola Timor Leste?
Kami memang baru belajar. Tapi lihatlah, kami bisa berbeda pendapat tentang banyak hal, termasuk tentang sikap terhadap Wiranto. Tapi saya menganggap perbedaan sikap itu sebagai hal yang biasa dalam kehidupan demokrasi. Yang penting, kami bisa mengelola perbedaan itu agar tak menjadi konflik yang justru merugikan.
Mana yang sulit: menjadi pemimpin pemberontak melawan Indonesia atau jadi Presiden Timor Leste?
Keduanya sulit. Hanya, saat memimpin pasukan di hutan, lawannya cuma satu: ABRI. Tapi, saat ini saya punya banyak musuh: pengangguran, kriminalitas, masalah hukum, dan lain-lain.
Dulu Anda orang yang keras dan tegas. Mengapa Anda sekarang sangat kompromistis?
Waktu memang akan mengubah seseorang. Saat berperang di hutan, pilihannya cuma hidup atau mati. Tapi, saat ini sangat banyak masalah yang harus saya tangani. Sebagai kepala negara Timor Leste, saya lebih memprioritaskan membangun dan memberi makan rakyat saya. Segala cara harus dan akan saya tempuh untuk mencapai tujuan itu. Meskipun dalam soal Wiranto, misalnya, saya didemo anak muda, saya akan jalan terus. Saya sangat yakin dengan prinsip-prinsip yang saya pilih.
Bila sudah tak jadi presiden, apa yang akan Anda lakukan?
Saya akan membesarkan Alexandro, anak saya. Selain itu, akan menjadi petani untuk menghidupi keluarga saya.
Jose Alexander "Kay Rala" Xanana Gusmao
Tempat tanggal lahir:
- Manatuto (Timor Leste), 20 Juni 1946
Pendidikan:
- Seminari di Dare, di pinggiran Kota Dili (1964-1968)
- Sekolah jurnalistik di Australia (1972-1974)
Karier:
- Wartawan koran Avezde Nmor?Suara Timor (1969-1972)
- Bersama Ramos Horta, mendirikan koran Nacroma?Terang (1974-1975)
- Bergabung dengan Fretilin (1975) dan masuk ke hutan menjadi komandan Fretilin
- Ditangkap dan menjadi tahanan politik di Indonesia (1992-1999)
- Presiden Timor Leste (2001?sekarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo