Kampanye datang, janji pun terbilang. Siklus ini muncul tiap lima tahun, ketika pemilihan umum dimulai. Faktanya, janji-janji memang dilemparkan tiga partai peserta pemilu tahun 1992. Kampanye kemudian menjadi ajang bagi ketiga kontestan untuk meyakinkan pemilih dengan bermacam janji.
Golkar, yang sudah empat kali menang dalam pemilu, mencoba merangkul pemilih dengan meneriakkan bahwa kemajuan pembangunan yang dirasakan merupakan realisasi janji Golkar di masa lalu. Kestabilan politik, peningkatan pendapatan nasional, hingga ketersediaan berbagai sarana dan prasarana, dikampanyekan sebagai keberhasilan janji Golkar. Kenangan masa lalu itu dipermanis Golkar dengan janji-janji peningkatan kehidupan di masa depan.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) tak mau kalah. Dua kontestan ini mengumbar janji di balik kritik atas pemerintahan Golkar. Kesenjangan sosial, ketidakadilan, kemiskinan, demokrasi yang macet, terlalu dominannya birokrasi dalam sistem politik, diumbar habis juru kampanye dua partai penggembira ini. Sekaligus mereka melemparkan janji bahwa segala keburukan semasa pemerintahan Golkar akan lenyap, kalau mereka menang dalam pemilu.
Bulan ini musim janji tiba, tapi bukan partai yang mengumbarnya. Lima kandidat pasangan calon presiden dan wakilnya berbenah keliling Nusantara, berkampanye. Meneriakkan apa pun yang disebut program atau rencana kerja, dalam debat ataupun kampanye individual. Toh, apa pun julukannya, apa yang diteriakkan tetap hal yang itu-itu juga, janji. Seraya berharap para pemilih bisa teriming-imingi olehnya, terpikat untuk nyoblos. Siapa pun yang menang, semoga para kontestan tak abai atas janji-janji yang sudah diobralnya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini