Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Berita Tempo Plus

Peni Candra Rini, Pesona Musik dan Budaya Jawa

Musikus sekaligus dosen gamelan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Peni Candra Rini, mendapat penghargaan Aga Khan Music Awards 2022. Peni menjadi salah satu pelopor musik Jawa tradisional dan kontemporer. Islam dan budaya Jawa menjadi sumber inspirasi Peni dalam mencipta musik dan lagu yang menenangkan jiwa. 
 

23 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Seniman sekaligus Dosen Musik Jawa, Peni Candra Rini. Dok Pribadi
Perbesar
Seniman sekaligus Dosen Musik Jawa, Peni Candra Rini. Dok Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ini sungguh pekan yang padat untuk musikus gamelan Peni Candra Rini. Sejak Senin lalu, perempuan berusia 39 tahun itu sudah mendarat di New Mexico, Amerika Serikat. Peni mendapat undangan dari OneBeat X, sebuah jaringan global para seniman dan musikus muda yang berpengaruh. Sesuai dengan rencana, agenda OneBeat kelar pada 7 November mendatang. 

Namun, di tengah agenda residensi OneBeat X, Peni dijadwalkan menghadiri penghargaan Aga Khan Music Awards di Muscat, Oman, pada Sabtu-Ahad pekan depan. Walhasil, Peni harus meminta izin lebih dulu kepada panitia OneBeat X untuk meninggalkan sejenak agenda residensi untuk terbang ke Muscat. "Setelah dari Muscat, saya balik ke New Mexico dan baru pulang ke Tanah Air pada 17 November mendatang. Jadi, muter-muter, deh," kata Peni kepada Tempo yang menghubunginya pada Selasa lalu.

Aga Khan Music Awards merupakan penghargaan tiga tahunan yang dimulai pada 2018. Tahun ini menjadi penghargaan yang kedua kalinya diberikan kepada 10 musikus tradisional di seluruh dunia. Adapun penghargaan Aga Khan selama ini dianugerahkan untuk bidang arsitektur, Aga Khan Awards for Architecture, yang digagas oleh Aga Khan IV pada 1977.  

Peni masih tak percaya mendapat penghargaan bergengsi internasional tersebut. Ia tak menyangka, dari musik karawitan dan gamelan, bisa mendapat pengakuan dunia. 

Sembari melawan jetlag alias kelelahan selepas penerbangan, Peni bercerita banyak tentang musik Jawa dan kecintaannya terhadap gamelan. Peni juga menyinggung tentang lekatnya Islam dan budaya Jawa. Berikut ini wawancara Tempo dengan Peni.

Bagaimana rasanya mendapat Aga Khan Music Awards? 

Saya sangat bersyukur ketika mendapat informasi dari pihak Aga Khan Music Awards bahwa saya menjadi salah satu pemenang dari 400 nominasi dari 40 negara dan dipilih 10 pemenang. Saya orang Indonesia pertama yang mendapat Aga Khan Music Awards. Ini merupakan anugerah yang luar biasa dan menjadi amanah buat saya agar lebih berhati-hati dalam menjalankan kehidupan ini. Ya, seperti yang diamanatkan sebagai orang yang dipercaya membawa arah kebudayaan di bidang (kesenian) Jawa dan ini semua insya Allah akan berkelanjutan. Saya bakal siapkan untuk generasi selanjutnya. Saya enggak mau menjadi satu-satunya. Harus ada generasi baru yang ada di posisi yang sangat membanggakan ini. Dari seorang seniman tradisi hingga mendapat penghargaan dunia. 

Peni Candra Rini. Dok Pribadi


Bagaimana pengumuman pemenangnya? 

Saya mendapat surat elektronik dari panitia Aga Khan Music Awards. Setelah itu saya ditelepon, lalu ada pengumuman resmi, dan terkejut sekali bisa menang. Sebab, kalau tidak salah, ini baru kedua kalinya Aga Khan memberikan penghargaan kepada dunia musik. 

Sementara
Aga Khan Awards for Architecture harus mendaftarkan karyanya dulu, bagaimana dengan Anda? 

Pemenang itu dipilih oleh para juri. Sepertinya mereka sudah melihat beberapa tahun terakhir pergerakan saya dan 400 seniman yang menjadi nominasi dari 40 negara itu. Dicek, begitu. Bagaimana pergerakan, karya, hingga realitas kinerja mereka sebagai seniman tradisi. Lalu mereka melihat juga segi sosial, apakah karyanya memberikan dampak kepada dunia. Menariknya, setelah saya mendapat penghargaan ini, ada beberapa kawan yang mengaku ditanya beberapa hal tentang saya, termasuk media sosial. Ya, mungkin mereka punya agen rahasia untuk menilai itu semua. Saya enggak tahu, tapi mungkin menjadi rahasia mereka untuk mengetahui tentang saya.

Kabarnya Anda akan menampilkan karya baru berjudul Wahyu Tumurun dalam acara penghargaan Aga Khan Music Awards. Bagaimana ceritanya?

Komposisi baru itu khusus saya buat untuk Aga Khan Music Awards. Wahyu Tumurun itu tentang filosofi dalam kain jarik wahyu tumurun, yakni filosofi orang Jawa tentang wahyu turunnya Al-Quran di Gua Hira. Memang itu tentang religi Islam dan kebudayaan Jawa serta filosofi kepemimpinan orang Jawa yang disebut Hastabrata. Nanti Wahyu Tumurun akan mengangkat unsur-unsur Jawa dan religi. Ini penting sekali untuk menyampaikan kepada dunia bahwa hubungan antara kebudayaan Jawa dan muslim itu dihormati orang Jawa dalam bentuk kain batik atau kain jarik. Saya meresponsnya dalam komposisi musik.

Anda tampil dengan siapa?

Saya akan main berduet karena hanya diperbolehkan membawa satu musikus dari Indonesia. Jadi, saya akan memainkan gamelan yang saya pinjam dari Muscat, Oman, bersama Suryadi Nugroho, anggota tim saya. Ya, karena saya vokalis dan berlatar belakang gamelan, jadi saya akan garap komposisi vokal dan gamelan dari tradisional sampai kontemporer dengan durasi 5-7 menit. 

Apakah komposisi Wahyu Tumurun sudah jadi?

Sudah. Kemarin, sebelum saya berangkat ke Amerika Serikat, saya rampungkan dulu, he-he-he…. Supaya tidak kelabakan nanti saat tampil. Nanti kami akan berlatih sehari sebelum tampil di Oman.

Anda hanya berduet, sedangkan gamelan itu beragam. Bagaimana Anda tampil nanti? 

Saya akan gunakan instrumen kempul set, gong, bonang slendro, kendang Jawa, dan juga alat EDM (electronic dance music) yang isinya suara rekaman alat musik sitar, gendar, dan lainnya. Jadi, jangan salah sangka isinya itu musik jedag-jedug, melainkan suara gamelan ensambel. Tujuannya biar dunia tahu bahwa gamelan itu dimainkan seperti ensambel. Ya, pokoknya nanti saya akan pindah-pindah main alat musiknya. 

Karya Anda, misalnya Kidung Asmarani dan Amrta, seperti lagu yang tenang dan mendamaikan. Apakah corak musik Anda seperti itu?

Kebanyakan karya komposisi musik adalah hal yang saya alami. Misalnya Amrta, itu lagu pesanan, tapi tetap saja ada jiwa saya dalam lagu itu. Bagaimana karakteristik seorang pengrawit (penabuh gamelan) yang selalu tenang, mau mendengarkan, dan selalu menghormati orang lain. Untuk mendapatkan keindahan itu harus saling menghormati dan mendengarkan. Dan, dalam ensambel karawitan filosofinya seperti itu. Kebanyakan karya saya itu juga menyentuh tentang ketuhanan dan religi, tapi saya bikin menjadi sangat halus. Jadi, pendengar merasa tenang, tidak terintimidasi, dan tidak keras. 

Lalu untuk lagu Kidung Asmarani?

Kidung itu artinya tembang. Sedangkan asmarani itu cinta. Jadi, lagu itu tentang bagaimana saya menyatakan cinta tanpa kata-kata. Tapi, meski tanpa kata, pendengar tahu suara yang saya nyanyikan itu berisi cinta. Karena cinta itu sebuah penghormatan dan dalam lagu itu tergambar bagaimana saya menghormati musik yang menyertai suara saya. Jadi, suara saya dan musik itu saling mendengarkan dan menghormati. Itu konsep lagu saya. Jadi, seperti orang mencintai Tuhannya, tidak pernah terputus, selalu berkait. 

Lebih mudah mana, menciptakan komposisi musik sendiri atau musik tradisional kuno seperti yang pernah Anda mainkan, misalnya Gambir Sawit dan Uler Kambang?

Sebetulnya tidak ada yang sulit kalau kita menguasai. Musik tradisi sudah ada dalam darah dan jiwa saya karena saya dilahirkan di lingkungan tradisi itu. Lalu pekerjaan saya juga sinden, yang juga tradisi. Kalau kita menyanyikan dengan kebahagiaan, yang mendengarkan akan senang juga. Saat bernyanyi, saya seperti bisa bertemu dengan Tuhan saya, berdialog dengan jiwa saya, untuk kembali mendapat gizi dalam jiwa saya. Ketika itu terpenuhi, pendengar juga akan mendapat gizi jiwa yang sama. 

Bagaimana cara Anda merawat suara yang indah dan tinggi? 

Harus menjaga hati. Bukannya sok suci, tapi yang memberikan suara itu kan Allah SWT. Berkat rida Allah, saya bisa tetap bernyanyi sampai saat ini dan suara saya didengar banyak orang hingga memberikan ketenangan orang. Menurut saya, itu karamah yang harus dijaga dengan perbuatan dan niat hidup. Jadi, hidup kita itu didedikasikan untuk apa, sih? Apakah hanya untuk mengejar dunia atau  akhirat? Apakah akan kau bawa vokalmu ke neraka atau surga, itu merupakan pilihan. Nah, bagi saya, bisa menjaga itu maka Allah juga akan menjaga segala pergerakan kehidupan saya. 

Islam dan kebudayaan Jawa menjadi sumber inspirasi Anda. Bagaimana keterkaitan kedua hal tersebut?

Masya Allah itu sangat terkait. Tembang-tembang macapat (tembang atau puisi tradisional Jawa) diciptakan oleh para wali dan sunan itu sebuah sarana akulturasi budaya Islam masuk ke Jawa dengan cara yang tidak frontal. Beliau-beliau, para wali dan sunan, membawa Islam masuk ke Jawa dengan sangat halus dan lembut hingga orang menerima itu. Termasuk kebudayaan jarik wahyu tumurun tadi. Itu sebenarnya terinspirasi oleh bagaimana wahyu turun ke Gua Hira. 

Artinya?

Artinya, Islam adalah perdamaian. Islam adalah sarana untuk saling menghormati orang lain. Tapi yang dilihat orang tentang Islam itu teroris, dan itulah yang tidak benar. Itu yang menghancurkan Islam. Jadi, tugas saya berkarya sekaligus berdiplomasi budaya saya dan agama saya. Atau bisa dibilang dakwah lewat budaya. Jadi, dakwah lewat budaya yang sudah dilakukan dari zaman wali dan sunan itu masih relevan sampai sekarang, meski kebanyakan orang Jawa tidak menyadari bahwa kebudayaan Jawa hampir terkoneksi semuanya dengan bagaimana para wali dan sunan memasukkan Islam ke tanah Jawa. 

Budaya Islam biasanya lebih identik dengan negara-negara Arab. Bagaimana pandangan Anda? 

Salah banget. Jadi, Jawa itu kebudayaan yang bisa dikatakan tua. Dan kenapa orang Jawa yang masih memuja dewa bisa berubah masuk Islam? Jawabannya karena Islam itu cocok dengan budaya Jawa. Kalau tidak cocok, tidak akan mungkin dipakai sampai sekarang. Ada energi yang sama. Artinya, Jawa mendunia dan, sebaliknya, kebudayaan yang bersinergi dengan Jawa ya artinya Jawa juga. Jawa dan Islam itu punya korelasi yang sama, yakni keselamatan. 

Darah seni Jawa kental pada Anda? 

Bapak saya dalang, kakek saya juga dalang. Keluarga saya pun begitu. Kakak perempuan saya seorang pesinden dan mengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, sama seperti saya. Kakak laki-laki saya juga jadi dalang. Jadi, keluarga kami itu keluarga seniman tradisi. Tapi satu-satunya yang lari ke ranah kontemporer hanya saya. 

Bagaimana Anda bisa mendalami seni tradisi Jawa dan menjadi dosen di ISI Surakarta?

Dulu ayah saya memang berpikir bahwa saya punya bakat suara pesinden, ya sekolahnya harus di karawitan, yakni di SMK Negeri 8 Surakarta. Lalu saya kuliah di Jurusan Karawitan di ISI Surakarta. Setelah lulus sarjana komposer penciptaan seni, saya mengambil S-2 di ISI. Begitu lulus, saya langsung mengajar di ISI. Sebagai dosen, saya mengajar sinden tradisi dan komposisi karawitan dari gamelan tradisional sampai kontemporer. Lalu, setelah beberapa tahun mengajar sembari mengambil kuliah S-3, saya lulus pada 2021 sebagai doktor penciptaan seni. Saya sekarang mengajar penciptaan seni di jenjang S-1, S-2, dan S-3. Jadi, lingkungan itu sangat menentukan dalam berkarya. Suami dan keluarga saya sangat mendukung.

Peni Candra Rini. Dok Pribadi

Seperti apa tantangan Anda dalam mengajar? 

Ya, tertantang dengan situasi sekarang. Saya sekarang sering bepergian, terlebih pasca-pandemi mereda. Ya, itu tadi, diplomasi budaya ke dunia. Jadi, saya harus bikin sistem mengajar yang bertujuan agar mahasiswa saya tidak kehilangan waktunya, tidak kehilangan haknya. Lalu saya masih bisa melaksanakan kewajiban saya sebagai seniman yang bisa dikatakan bahwa saya bukan lagi milik suami, keluarga, dan ISI Surakarta, melainkan seluruh dunia. Jadi, semuanya harus saya ladeni. Saya harus punya trik agar semua tetap seimbang, yakni dengan mengatur pertemuan daring dan luring. Segala ilmu yang bisa mencerdaskan mahasiswa langsung saya berikan tanpa ditahan untuk diri saya sendiri.

Bagaimana tentang pendidikan seni Jawa untuk anak-anak?

Wajib ada. Saya saat ini sedang bikin proposal ke UNESCO untuk keberlanjutan edukasi kebudayaan yang harus dimulai sejak dini. Mungkin dari taman kanak-kanak harus paham falsafah kehidupan karawitan, yakni saling menghormati dan mendengarkan seperti yang saya jelaskan tadi. Apabila manusia Jawa dikembalikan kepada adab budayanya, salah satunya lewat pembelajaran karawitan itu, saya yakin bisa mengembalikan adab orang Jawa sejati. Ya, seperti zaman dulu, bagaimana orang Jawa yang ramah, hidup dengan kedamaian.

Lagu-lagu saya yang menenangkan itu pun saya ambil dari adab Jawa kuno yang memang tenang. Saya harap mengajarkan budaya Jawa sejak dini dari taman kanak-kanak itu bisa dimulai dari Surakarta. Sekarang proposal itu sedang saya tulis dan godok di Yayasan Sentana Art untuk kami usulkan ke UNESCO tentang sistem pembelajaran gamelan dari yang luring sampai virtual. Harapannya bisa menarik perhatian anak-anak. Rencana awalnya mungkin ke Jawa Tengah dulu, baru menyasar ke daerah lain, mungkin ke seluruh Indonesia.

Mengapa ke UNESCO, tidak mengajak pemerintah?   

Kalau UNESCO setuju, saya yakin seluruh Indonesia (pembelajaran gamelan) akan masuk kurikulum pendidikan, minimal di Jawa Tengah dulu. Jika berhasil, ini akan jadi masa depan yang bagus untuk gamelan. Gamelan bukan lagi sekadar monumen kuno. UNESCO sudah memberikan legalitas gamelan sebagai warisan dunia. Saya memanfaatkan momentum ini dan keberadaan saya di dunia yang sedang mendengarkan saya. Karena itu saya langsung tembak ke dunia lewat UNESCO. 

Orang Jawa banyak yang kehilangan “Jawanya”… 

Orang Jawa akan tetap Jawa. Sebetulnya bukan salah Islam atau budaya Jawanya, melainkan kesalahan sistem edukasi. Makanya saya ingin ajukan ke UNESCO. Tujuan saya ya itu, bagaimana mengembalikan adab Jawa dan tetap beriringan dengan budaya Islam. Kebudayaan yang saling berjalan berdampingan itu merupakan sebuah keindahan. 

 

PROFIL

Nama: Peni Candra Rini

Lahir: Tulungagung, 22 Agustus 1983

Pendidikan:

- Sekolah Menengah Karawitan Indonesia 

- Sarjana Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

- Magister Penciptaan Seni ISI Surakarta

- Doktor Penciptaan Seni ISI Surakarta

 

Album Rekaman:

- Swarnadwipa (2022)

- Linggih (2022)

- Kalabendu (2022)

- Twalen (2022)

- Abad Ubad Ubud (2022)

- Subak (2021)

- Single Anuraga (2022)

- Kidung Asmarani (2021) 

- Banyu (2021)

- Sacred Connection (2021)

- Karaeng Naba (2020)

- Ayom (2019)

- Timur (2018)

- Agni (2017)

- Mahabharata-Kurusetra War (2016)

- Daughter of the Ocean (2016)

- Bhumi (2015)

- Sekar (2012)

- Bramara (2010)

  

INDRA WIJAYA

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Indra Wijaya

Bekarier di Tempo sejak 2011. Alumni Universitas Sebelas Maret, Surakarta, ini menulis isu politik, pertahan dan keamanan, olahraga hingga gaya hidup.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus