Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Sejarawan agama Mun'im Sirry: Kita Harus Beragama Dengan Rileks

Mun'im Sirry sempat terguncang batinnya saat mempelajari sejarah agama.

27 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mun'im Sirry sempat terguncang batinnya saat mempelajari sejarah agama. Bagi pria asal Madura itu, banyak perbedaan antara Islam yang tampil dalam teks serta penelitian historis dan keyakinan yang ia anut sejak lahir tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Doktor studi Islam dari University of Chicago Divinity School, Amerika Serikat, itu menuliskan perbedaan tersebut dalam lima bukunya. Isinya menuai kontroversi. Pandangannya tentang Islam bertentangan dengan keyakinan kebanyakan muslim. Misalnya soal Islam menjadi agama yang sempurna setelah Allah menurunkan Surat Al-Maidah ayat 3 kepada Nabi Muhammad. Menurut Mun'im, dokumen sejarah menunjukkan Islam tak berbeda dengan Yahudi dan Kristen, yang butuh ratusan tahun untuk menjelma dari kultus menjadi agama. Namun, dia mengatakan, perbedaan pandangan tersebut bukan untuk dipertentangkan. "Harus kita bedakan antara Islam teologis dan Islam historis," kata Mun'im, 47 tahun, dalam wawancara khusus di kantor Tempo, Selasa dua pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Asisten profesor sejarah agama di University of Notre Dame, Amerika Serikat, ini mengatakan melek tarikh diperlukan untuk mendapatkan konteks yang tepat dari suatu ayat, termasuk mengenai kekerasan. Ia menuturkan, para pemikir Islam perlu memberikan penafsiran ulang atas ayat-ayat perang di Al-Quran, yang dijadikan dalil pelaku kekerasan atas nama Islam.

Sebelum menjadi revisionis, Mun'im mendalami pelbagai orientasi pemikiran Islam. Ia aktif dalam pengajian Al-Ikhwan al-Muslimun, Wahabi, dan jihadis selama enam tahun di Pakistan. Tapi ia merasa tak mendapatkan jawaban memuaskan tentang ketuhanan, lalu menjadi agnostik dan liberal saat kembali ke Indonesia pada 1998. "Saat itu semua yang haram saya anggap mubah (boleh), ha-ha-ha...," katanya.

Ia mengaku telah meninggalkan titik Islam liberal sejak belajar di Amerika Serikat dan menjadi lebih moderat. "Islam yang saya yakini pasti berbeda. Tapi itu tidak mengurangi keyakinan bahwa saya muslim."

Untuk memberi perspektif lebih utuh, Tempo mewawancarai Komaruddin Hidayat, guru besar filsafat agama Universitas Islam Negeri Jakarta, secara terpisah.

Pelaku kekerasan berdasarkan agama kerap bersandar pada ayat-ayat Al-Quran. Bagaimana menangkalnya?

Perlu rethinking, penafsiran kembali, ayat-ayat perang. Pertama, kita perlu mengakui ada problem dalam Al-Quran, yaitu ada ayat-ayat yang mengajak melakukan kekerasan. Sekarang ada kecenderungan sebagian orang untuk denial. Saat terjadi teror bom kemarin (teror bom di Surabaya dan Sidoarjo), orang beramai-ramai mengatakan pelaku bukan bagian dari Islam. Padahal, tidak bisa dimungkiri, motivasinya adalah Islam. Setelah mengakui itu, sarjana-sarjana muslim progresif harus memberikan penafsiran sehingga ayat-ayat polemik itu tidak menghalangi hubungan koeksistensi yang damai. Kedua, kita perlu menggunakan istilah-istilah yang akrab dengan yang terjadi sekarang.

Contohnya?

Kalau ayatnya mengatakan "Bunuhlah orang-orang musyrik di mana pun kalian menemukan mereka", kita cari padanannya dalam istilah yang berat. Bisa ethnic cleansing atau genosida. Penamaan penting dalam rethinking supaya orang ngeri dan menolak.

Bukankah penamaan negatif tersebut bisa mendiskreditkan ayat suci?

Ada proses sampai kita memiliki keberanian menawarkan pandangan berbeda. Sesudah meyakini ada problem dan menggunakan penamaan, akan terbentuk asumsi-asumsi. Misalnya berpikir, "Walaupun ayatnya bilang begini, saya enggak yakin bahwa hal ini yang dimaksud dalam Al-Quran. Masak, kitab suci menyuruh orang melakukan genosida."

Di antara sekian banyak ayat yang menyerukan kekerasan, mana yang paling berpengaruh?

Ayat-ayat dalam surat Al-Anfal (rampasan perang). Surat itu penuh dengan ajakan perang. Karena itu, menurut pendapat sebagian ulama, surat itu tidak diawali dengan basmalah. Dalam tradisi Islam, surat itu adalah surat terakhir yang turun ke Nabi Muhammad. Disadari atau tidak, kalau membaca tafsir tradisional surat ini, kita akan cenderung membenarkan kelakuan barbar ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah).

Mengapa demikian?

Karena salah satu argumen dalam tafsir tradisional adalah, ketika terjadi kontradiksi, ayat-ayat yang turun belakangan menghapus ayat-ayat yang turun sebelumnya. Masalahnya, ayat-ayat perang ini turun paling akhir, maka dipersepsikan menghapus ayat-ayat lain yang lebih toleran.

Sejak kapan ayat-ayat itu ditafsirkan begitu keras?

Penggunaan ayat-ayat Al-Quran dalam politik terjadi sangat awal. Salah satunya dalam Perang Shiffin (perang saudara pertama dalam Islam antara pasukan Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ali bin Abi Thalib pada 657 Masehi). Dalam sebuah disertasi di University of California, Los Angeles-"The use of the Qur'an in political argument: A study of early Islamic parties (35-86 A.H./656-705 A.D.)" karya Ibrahim A. al-Jomaih-terlihat bagaimana tiap kelompok menggunakan ayat-ayat Al-Quran untuk menjustifikasi sikap politiknya. Menurut saya, ada ayat-ayat yang bersifat polemik karena lahir dalam iklim polemik.

Iklim polemik seperti apa?

Semua agama terbentuk dalam konteks polemik. Buddha lahir karena ada ketidaksukaan atas siklus penderitaan dalam Hindu. Kristen tidak puas dengan Yahudi. Islam pun lahir dalam polemik internal agama-agama monoteisme. Maka ayat-ayat polemik seharusnya diterjemahkan berbeda ketika hidup di zaman yang tidak berpolemik. Dalam Islam, jihad sudah ada sejak zaman Nabi. Kita tahu bahwa Nabi memimpin perang. Setelah beliau meninggal, ekspansi militer sangat kuat dalam tradisi Islam, sehingga pembangunan narasinya sulit dipisahkan dari kekerasan.

Menurut Anda, apa definisi jihad?

Jihad itu perang, angkat senjata. Ada kecenderungan di kalangan sarjana yang ingin menawarkan wajah jihad yang lebih ramah dengan tidak harus angkat senjata. Bekerja juga jihad. Itu bagian dari kreativitas. Tapi saya tidak ingin membaik-baikkan. Jihad ya perang.

Banyak orang meyakini ganjarannya adalah 72 bidadari di surga....

Ada diskusi yang menarik tentang orang yang meninggal saat berjihad akan dikelilingi bidadari. Dalam bahasa Arab, bidadari disebut hurul ain. Menurut peneliti Jerman dengan nama samaran Christoph Luxenberg, hurul ain berasal dari bahasa Suriah Arami, yang artinya anggur putih. Saya tidak percaya teori Luxenberg. Tapi memang bahasa Al-Quran itu menarik, untuk tidak mengatakannya problematik. Hurul ain secara tata bahasa tidak benar. Tidak ada dalam bahasa Arab. Tapi ada di bahasa Suriah. Maka orang seperti Luxenberg berteori seperti itu.

Pendapat yang berbeda soal Al-Quran seperti itu menjadi hal tabu di Indonesia....

Resistansi pasti ada karena sebagian dari kita tidak mau membaca apa yang dia tidak mau baca dan tidak mau mendengar apa yang dia tidak mau dengar. Tapi diskursus seperti ini perlu dikembangkan. Terus terang, saya sangat khawatir dengan zaman media sosial ini. Kita sudah tidak pernah lagi berdiskusi dengan serius. Buku yang saya tulis tidak ada respons intelektualnya. Padahal kurang berani apa buku itu?

Anda pernah diancam?

Tidak. Mungkin karena saya lebih banyak hidup di dunia kampus. Tapi ada beberapa kampus Indonesia yang khawatir mengundang saya.

Bagaimana sejarah memandang khilafah?

Khilafah ada, tidak bisa dimungkiri. Hanya, apakah pemimpin-pemimpin muslim awal, yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, sudah disebut khalifah? Penelitian mutakhir menyatakan tidak. Mereka disebut amirul mukminin, pemimpin orang-orang beriman. Kata "khalifah" pertama kali muncul dalam koin yang diterbitkan Abdul Malik bin Marwan, khalifah kelima dari Bani Umayyah, yang berkuasa pada 670-705.

Khilafah bagian dari Islam atau institusi politik?

Pandangan umum mengatakan pada awalnya Islam dan negara itu bersatu. Karena itu, banyak orang mengatakan menolak khilafah sama dengan menolak Islam. Dalam penelitian saya, khalifah itu bukan pemimpin agama. Dia adalah pemimpin politik yang sering kali bersitegang dengan pemimpin agama. Ahmad bin Hambal (780-855), ahli hadis dari Bagdad, pernah dipersekusi oleh khalifahnya.

Artinya ada pemimpin agama saat khalifah berkuasa?

Ya, para ulama. Jadi di awal sudah ada pemisahan antara agama dan politik. Dan khilafah adalah institusi politik, bukan institusi agama. Karena itu, tidak bisa serta-merta dikatakan sebagai bentuk pemerintahan Islam.

Ada bukti lain soal pemisahan wewenang itu?

Seseorang yang meminta fatwa tidak datang ke khalifah. Baru belakangan, Al-Mawardi (972-1058) dalam bukunya tentang pemerintahan Islam memasukkan syarat-syarat menjadi khalifah, misalnya mujahid. Al-Mawardi memberikan kekuatan keagamaan terhadap khalifah. Dia ingin khalifah diikuti karena saat itu banyak muncul khalifah lokal. Orang Islam pun berperang satu sama lain. Dia sadar bahwa khalifah harus ditaati agar tidak chaos.

Apa argumen Anda saat menulis Islam belum terbentuk sebagai agama pada masa Nabi Muhammad?

Ada kerangka teoretisnya. Menurut Max Weber, terbentuknya agama membutuhkan waktu lama. Pertama, agama muncul sebagai kultus, lalu menjadi denominasi, sekte, dan, setelah besar, menjadi agama. Sejarah semua agama membuktikan tesis Weber itu benar. Kalau merujuk pada sumber-sumber tradisional, ya, Islam sudah sempurna sejak zaman Nabi Muhammad. Tapi, dari sisi kritik historis, sumber-sumber muslim itu bermasalah.

Apa masalahnya?

Pertama, sumber-sumber itu ditulis belakangan, lebih dari seratus tahun setelah Nabi Muhammad wafat. Buku pertama yang sampai kepada kita sekarang ditulis oleh Ibnu Ishaq, yang wafat pada 767, sementara Nabi meninggal pada 632. Salah satu prinsip sejarawan adalah tidak menggunakan sumber yang tidak sezaman dengan peristiwa yang direkamnya. Lalu buku itu bias secara politik karena Ibnu Ishaq menulis untuk khalifah Abbasiyah. Dia memuji-muji Al-Abbas, pendiri dinasti yang juga paman Nabi. Padahal Al-Abbas bukan seorang muslim yang ideal. Dia pernah ikut Perang Badar melawan Nabi. (Komaruddin Hidayat: Prinsip keimanan dan ajaran ritual pokok Islam, seperti salat, puasa, zakat, haji, tidak berubah sejak zaman Nabi. Mata rantai sanadnya kuat. Masyarakat Mekah dan Madinah adalah ahli waris dan penjaga tradisi ritual Islam yang jadi rujukan, sehingga, ke mana pun kita pergi, umat Islam mempunyai prinsip keimanan dan ritual yang sama.)

Apakah karena tidak sezaman sumber-sumber pasti tidak akurat?

Masalah berikutnya adalah gambaran tentang Islam merupakan back projection. Buku-buku itu ditulis dengan menggambarkan keadaan saat itu sama dengan zaman Nabi. Gambaran yang berbeda dianggap sebagai bidah atau sesat. Menariknya, masih ada sumber dengan gambaran beda yang tersisa. Misalnya yang ditulis sejarawan Mesir abad ke-12, Al-Maqrizi. Manuskripnya baru dibukukan pada 2016. Al-Maqrizi menceritakan Amru bin Ash, salah seorang sahabat Nabi, menjalankan salat di gereja di Mesir dan tidak beralih dari arah gereja itu, kecuali sedikit. Saat akan membangun masjid pun Amru hanya minta dihadapkan ke timur. Artinya, belum ada kesepakatan bahwa salat harus menghadap kiblat. Proses menjadi Islam seperti yang kita lihat sekarang butuh waktu lama.

Berapa lama?

Dalam penelitian saya, proses awal kristalisasi Islam dirintis oleh Abdul Malik bin Marwan. Dia dikenal sebagai khalifah yang melakukan Arabisasi.

Bukankah pembukuan Al-Quran berlangsung pada masa pemerintahan Utsman bin Affan pada 644-655?

Pemahaman tradisional menyatakan Al-Quran telah menjadi kitab seperti sekarang ini pada masa sahabat Nabi. Kita mengenalnya dengan nama Teks Utsmani. Padahal, dalam sejarah, semua kitab suci berproses sangat lama. Alkitab Ibrani perlu ribuan tahun. Alkitab Kristen pun pada 219 baru didiskusikan daftar isinya. Menurut sejarah, Abdul Malik bin Marwan pernah membentuk komite untuk mengedit Al-Quran.

Apa buktinya?

Penyuntingan itu terekam. Ada kitab yang ditulis Ibnu Abi Daud al-Sijistani berjudul Kitabul Masahif, kitab tentang mushaf-mushaf. Artinya, tidak hanya ada satu mushaf. Dia merekam perdebatan yang terjadi dalam komite yang dibentuk Abdul Malik bin Marwan, di antaranya melibatkan Panglima Ubaidullah bin Ziyad.

Apa saja perubahannya?

Kami tidak punya teks yang bisa dilacak hingga ke periode awal. Namun diketahui, dari Kitabul Masahif, Ubaidullah bin Ziyad menambahkan 2.000 alif ke dalam Al-Quran.

Bagaimana dengan Al-Quran yang kita baca sekarang?

Versi 1923, disebut Edisi Kairo. Sebelumnya, tiap negara mencetak Al-Quran. Ketika datang ke Al-Azhar untuk berkuliah, orang Indonesia membawa cetakan Indonesia, orang Turki membawa cetakan Turki, dan sebagainya. Karena dianggap akan membingungkan, dibentuklah komite untuk menstandardisasi. Kitab itu dikirim ke seluruh dunia secara gratis.

Para sarjana Barat sering membahas soal penyuntingan Al-Quran ini?

Ya. Di luar negeri, diskusi seperti ini umum sekali. Tapi, kalau saya ngomong di dalam negeri, orang bingung. (Komaruddin: Bagi umat Islam, yang muncul saat menghadapi pertanyaan soal autentisitas Al-Quran adalah respons iman, keyakinan bahwa Allah yang menjaganya sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran sendiri. Tapi Al-Quran sebagai entitas teks yang menyejarah terbuka bagi siapa pun untuk melakukan kritik sejarah. Biarlah para ilmuwan beradu argumentasi berdasarkan penelitian masing-masing.)

Saat mengetahui banyaknya perbedaan antara tradisi dan sejarah Islam, apakah Anda terguncang?

Ya. Sebenarnya saya mengalami transisi. Saya berkuliah enam tahun di Pakistan. Kalau ingin tahu sesuatu, saya terlibat di dalamnya. Maka saya mengikuti hampir semua orientasi pemikiran yang berbeda. Saya pernah menjadi Ikhwanul Muslimin, Wahabi, jemaah tablig, dan jihadis. Namun saya tidak menemukan Islam yang bisa berkontribusi pada peradaban dunia. Akhirnya saya berbalik menjadi agnostik dan mempertanyakan semua tentang Tuhan. Kemudian saya menjadi sangat liberal dan kembali ke Indonesia pada 1998. Semua yang haram saya anggap mubah (boleh), ha-ha-ha.... Kuliah di Amerika sejak 2003 malah membuat saya lebih moderat.

Saat menjadi anggota Al-Ikhwan al-Muslimun sembunyi-sembunyi?

Tidak. Sangat bebas. Banyak teman di sini lulusan Ikhwan Pakistan.

Mereka menjadi radikal?

Ya, pada umumnya.

Dengan pengalaman tersebut, bagaimana Anda memandang Islam?

Bagi saya, beragama harus dilakukan secara rileks. Ketika terlibat dalam gerakan-gerakan radikal, saya berislam secara menggebu-gebu. Tapi saya malah tidak menemukan yang saya cari. Justru, dengan beragama secara rileks, saya menemukan Islam. Umat Islam saat ini cenderung beragama secara menggebu-gebu, menganggap Islam mengatur segalanya dan wajib dipraktikkan sedemikian rupa. Akibatnya, misi Islam sebagai agama yang menjunjung prinsip keadilan, persamaan, dan penghargaan terhadap kemanusiaan hilang. Yang terjadi adalah pembenaran pada aksi kekerasan terhadap mereka yang berbeda.

Bagaimana Anda mendefinisikan Tuhan?

Ini pertanyaan yang sangat susah, ha-ha-ha.... Pemahaman tentang Tuhan bisa berbeda antara satu dan yang lain, walau satu agama. Umumnya orang Islam mengimani bahwa Tuhan itu satu, tapi bagaimana Tuhan dipahami dan diekspresikan bisa berbeda antara satu dan yang lain.

Anda menjalankan salat lima waktu?

Ya. Itu perlu ditegaskan. Orang-orang kaget betul melihat saya salat. Saya ini lahir di Madura. Orang Madura, seliberal apa pun dia, kalau pulang tetap cium tangan orang tua dan salat. Islam yang saya yakini pasti berbeda dengan pandangan tradisional. Tapi itu tidak mengurangi keyakinan bahwa saya muslim.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus