Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font size=1 color=#FF0000>MENTERI PERTAHANAN</font><br />Agus Widjojo

Dikenal sebagai perwira pemikir, ia aktif mendorong reformasi tentara. Menjalin hubungan dengan keluarga PKI.

19 Oktober 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA jenderal ini bagai oasis di padang Cilangkap pada pertengahan 1990-an: Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Widjojo, dan Agus Wirahadikusumah. Pemikiran mereka dari Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dianggap progresif di ujung kekuasaan rezim Soeharto. Para pengamat lalu menjuluki ketiganya ”jenderal intelektual”.

Yudhoyono dan dua Agus berperan besar menelurkan konsep pembaruan tentara yang mereka populerkan sebagai ”reformasi gradual”. Di bawah Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Wiranto, Yudhoyono menjabat Kepala Staf Sosial Politik, Agus Widjojo menjadi Komandan Sekolah Staf dan Komando, sedangkan Agus Wira adalah Asisten Perencanaan Umum. Mereka aktif mendiskusikan penarikan peran politik tentara. ”Dwifungsi ABRI adalah anak haram tentara,” begitu mereka berpendapat.

Agus Widjojo, pensiun dengan pangkat terakhir letnan jenderal, lulus Akademi Militer pada 1971. Meraih tiga gelar master—Master of Military Arts and Science US Army Command and General Staff College, Ft. Leavenworth; Master of Science National Security National Defense University; dan Master of Public Administration George Washington University—ia memang layak jadi jenderal pemikir.

Tak aneh, pekerjaannya banyak berhubungan dengan pemikiran dan diplomasi. Pada 2003, ia dikirim Cilangkap menjadi Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat menggantikan Hari Sabarno yang diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri Kabinet Megawati Soekarnoputri. Mewakili tentara yang dikenal antiamendemen Undang-Undang Dasar 1945, ia justru menyetujuinya. ”Amendemen itu tak merombak, tapi menyempurnakan,” ujarnya ketika itu.

Pensiun pada 2005, Agus kemudian ditunjuk Presiden Yudhoyono menjadi Wakil Ketua Unit Kerja Presiden untuk Percepatan Program Reformasi. Ia juga dipercaya menjadi perwakilan Indonesia dalam Komite Kebenaran dan Persahabatan, yang mengusut dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste.

Lahir di Solo pada 8 Juli 1947, Agus Widjojo adalah putra Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, satu dari enam jenderal yang terbunuh dalam tragedi 30 September 1965. Tapi ia juga aktif dalam Forum Silaturahmi Anak Bangsa, tempat bergabung keluarga D.N. Aidit (Partai Komunis Indonesia), Kartosuwiryo (DI/TII), dan Daud Beureueh (Aceh). ”Gagasannya, ini rekonsiliasi. Patut dicoba,” kata Agus.

Dengan riwayat karier militernya, aktivis Usman Hamid menganggap Agus layak jadi Menteri Pertahanan. Ia sebetulnya lebih memilih pos itu diisi tokoh sipil. Tapi mendengar nama Agus muncul, ia menyerah. ”Lebih baik tentara yang berpikir seperti orang sipil daripada orang sipil yang militeristik,” katanya.

Karena ikut merumuskan konsep reformasi TNI, menurut dia, Agus dibutuhkan untuk menuntaskan proses transisi. Usman pun menilai lebih Agus yang tidak dibebani catatan pelanggaran hak asasi manusia atau korupsi.

Jenderal Purnawirawan Subagyo H.S., mantan Kepala Staf Angkatan Darat, menilai Agus sebagai ”konseptor di tentara yang cemerlang”. Ia menganggap Agus selalu berusaha bekerja sempurna karena publik menyorotnya sebagai anak pahlawan revolusi.

Namun mantan anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, Permadi, menilai Agus terlalu berkiblat ke Amerika. Ia khawatir akan ada resistansi di kalangan TNI jika Agus diangkat menjadi Menteri Pertahanan.

Permadi juga melihat Agus kurang memahami hal-hal operasional. Sebab, kata politikus yang kini bergabung ke Partai Gerindra itu, Agus belum pernah memegang jabatan komando.

Agus Widjojo mengakui tak pernah menjadi Panglima Komando Daerah Militer. Tapi ia pernah menjadi Kepala Staf Kodam Sriwijaya. Ia juga lama berkarier di Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). ”Ini berlawanan dengan pandangan bahwa saya tidak tertempa di lapangan,” katanya.

Agus mengaku terhormat ditempatkan menjadi Menteri Pertahanan. Dengan berseloroh, ia mengatakan, ”Wah, Tempo nge-fan sama saya, ya?” Pada 2004, Tempo juga menganggapnya pas buat mengisi jabatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus