Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Masalah kesehatan mental menjadi perhatian banyak pihak. Namun tidak semua orang berani mengungkapkannya atau bahkan berkonsultasi dengan ahli. Menurut riset Maybelline New York bersama JAKPAT, 6 dari 10 gen-Z berusia 18-25 tahun di Indonesia mengatakan pernah mengalami gejala isu kesehatan mental. Namun, hanya 15 persen yang memilih pergi ke psikolog untuk membantu menanganinya. Hasil riset juga menunjukkan, sebagian hal yang membuat Gen-Z merasa cemas dan resah adalah ketakutan akan ketidakpastian di masa depan sebanyak 60 persen, dan isu masalah pendewasaan sebanyak 43 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut psikolog klinis dan Co-Founder KALM, Karina Negara, tantangan utama memasuki usia 20 adalah menyatukan ekspektasi dan realita, “Memasuki usia 20an adalah fase peralihan seseorang dari remaja menuju dewasa, dengan segudang ekspektasi yang ada di benak mereka," ujarnya, dalam keterangan pers.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak bisa dipungkiri pengaruh media sosial sangat besar terutama bagi para Gen-Z, dimana kebanyakan mereka terpapar pada konten-konten yang ‘ideal’ walaupun terkadang tidak mencerminkan realitanya secara utuh. Karina menambahkan untuk mendukung kesiapan dan kesehatan mental mereka yang sedang bertransisi, penting bagi Gen-Z untuk memperoleh pendampingan dan panutan yang bisa menyeimbangkan ekspektasi dan realita. "Bahwa hidup tidak selamanya manis sebagaimana di media sosial," tambahnya.
Mima Shafa, penyintas masalah kesehatan mental menceritakan pengalaman pribadinya menyambut usia 20 tahun. “Aku sendiri dalam perjalanan mengenal diriku memasuki usia 20. Kita memang hidup di dunia dan era yang sangat kompetitif, dimana sebagai anak muda kita selalu berlomba-lomba mengejar kesuksesan untuk terus mendapatkan kebahagiaan," ujarnya.
Namun, seringkali demi mengejar kesuksesan dan kebahagiaan dalam hidup, menurut Mima banyak orang melupakan kesehatan mental sebagai sesuatu yang harus turut dirawat, bahkan dianggap tabu. "Aku bersyukur memiliki keluarga dan support system yang mendampingiku di masa-masa sulit melewati peralihan ini, hingga akhirnya aku berani mencari bantuan professional untuk mendampingiku. Kesehatan mental dan fisik adalah prioritas utama untuk menjadi dewasa," tambah putri pasangan Indra Brasco dan Mona Ratuliu ini.
Psikolog klinis, Karina Negara, dan Mima Shdda. (dok. Maybelline New York)
Maybelline Brave Together adalah komitmen global Maybelline New York, brand makeup nomor satu dunia, yang diluncurkan di Indonesia pada bulan Mei 2022 untuk mendukung isu kesehatan mental melalui 2 metode yaitu edukasi dan akses konseling gratis bagi yang membutuhkan. "Sejalan dengan misi Maybelline New York untuk mendorong kepercayaan diri, kebebasan berekspresi, serta membuat perubahan di dunia, kami percaya bahwa isu kesehatan mental sangat dekat dan sangat relevan bagi masyarakat. Namun sayangnya, seringkali masih menjadi stigma bagi sebagian kelompok,” ungkap Carla Mangindaan, Brand General Manager Maybelline Indonesia, dalam keterangan pers.
Carla berharap semakin banyak orang yang berani untuk berbagi tentang masalahnya dan mencari bantuan profesional karena kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Terutama bagi anak muda yang memasuki fase kehidupan yang baru dan menjawab tantangan di fase peralihan dari remaja menjadi dewasa, yang tentunya memerlukan keberanian dan kesiapan mental.
Dalam proses pendewasaan, diperlukan mindset dan mentalitas “BRAVE” untuk merawat kesehatan mental yang dibutuhkan agar mampu menjadi manusia dewasa yang berfungsi optimal, yang terdiri dari.
1. B - Bangun Kebiasaan Positif
Memiliki kebiasaan positif dapat dimulai dari sesuatu yang kecil seperti bangun pagi dan olahraga teratur. Kamu akan merasa lebih produktif dan memiliki waktu lebih banyak untuk merencanakan harimu. Dengan memiliki kebiasaan positif yang konsisten, emosi akan menjadi lebih terjaga dikarenakan hati lebih tenang berkat perencanaan yang lebih matang.
2. R - Rencanakan Waktu Istirahat
Sejumlah besar penelitian menunjukkan bahwa kurang tidur memiliki efek negatif yang signifikan pada kondisi mental. Merencanakan waktu untuk istirahat atau tidur pada waktu yang teratur setiap hari akan membantu untuk membawa stabilitas pada kondisi mental seorang individu.
3. A - Afirmasi Diri
Penelitian menunjukkan bahwa cara seseorang berpikir tentang diri sendiri dapat memiliki efek yang kuat pada stabilitas mental seseorang. Ketika seseorang memandang dirinya dan hidupnya secara negatif, maka mereka juga merasakan efek negatifnya. Sebaliknya, jika membiasakan diri menggunakan kata-kata yang membuat lebih positif, maka hal ini membuat seseorang lebih optimis.
4. V - Validasi Emosi
Validasi adalah kemampuan mengakui dan menerima berbagai emosi yang dirasakan. Agar mampu memvalidasi emosi diri, diperlukan latihan dan refleksi diri secara rutin. Merefleksikan diri berarti evaluasi dan proyeksi diri di masa mendatang. Dalam validasi diri, refleksi yang akurat dan jujur dapat membantu proses penerimaan diri, namun bila dirasa masih sulit berefleksi, kamu bisa dibantu oleh professional melalui konseling supaya semakin akurat.
5. E - Ekspresikan Kebaikan
Ketika kita berbuat baik, hal tersebut bukan hanya berdampak baik ke orang yang kita bantu, tetapi juga berdampak positif untuk diri kita sendiri. Penelitian menunjukkan ketika membantu orang lain, kita bisa membentuk self-esteem yang lebih sehat karena kita menemukan makna dan menumbuhkan manfaat hidup kita sendiri.
Baca juga: 4 Cara Mudah Menjaga Kesehatan Mental Sehari-hari
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.