Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kabar penjualan AEON Mall Sentul City oleh PT Sentul City Tbk senilai Rp 1,9 triliun ke PT AEON Mall Indonesia tersiar pada Kamis pekan lalu, 15 April 2021 tak ayal membuat sebagian pihak bertanya-tanya soal kondisi dan prospek bisnis retail yang sesungguhnya. Pasalnya sejumlah perusahaan retail sebelumnya melaporkan penutupan gerai serta mencatatkan kerugian yang besar di masa pandemi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun uang hasil penjualan AEON Mall ini rencananya salah satunya akan digunakan untuk membiayai kegiatan operasional Sentul City. Dengan penjualan tersebut, perusahaan menyatakan akan memperoleh dana untuk membiayai kegiatan operasional dan memenuhi perjanjian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Serta memperbaiki kas untuk kelangsungan usaha," tulis Direktur Utama PT Sentul City Tbk. Iwan Budiharsana dalam laman keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin, 19 April 2021.
Hal tersebut disampaikan dalam penjelasan oleh pihak Sentul City kepada kepada Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada pertengahan bulan ini.
Presiden Komisaris PT Sentul City Tbk, Basaria Panjaitan menambahkan, penjualan AEON Mall Sentul City ini terjadi karena AEON Jepang sebagai investor asing melalui PT AEON Mall Indonesia melihat prospek bisnis yang sangat baik di kawasan hunian Sentul City. Bagi perseroan sendiri, kata dia, dana dari hasil penjualan ini akan dimanfaatkan untuk melunasi pinjaman ke PT BNI Tbk sebesar Rp 900 miliar.
Dana dari hasil penjualan itu akan mengurangi secara signifikan liabilitas perseroan. Selain itu, akuisisi/penjualan mal ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kinerja keuangan perseroan pada kuartal kedua tahun ini.
Penjualan aset tersebut langsung memicu spekulasi soal muramnya bisnis retail di masa pandemi. Ketua Umum Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ferry Juliantono menyebutkan sektor retail modern khususnya yang mengelola pusat belanja menghadapi tantangan yang cukup berat belakangan ini, salah satunya karena kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat.
"Kemarin saya ketemu teman-teman asosiasi pengusaha retail Indonesia, mereka sudah utang tunjangan listrik, tunjangan pajak, pembayaran gaji dan sebagainya," kata Ferry dalam diskusi virtual Rabu, 21 April 2021. Justru, menurut dia, saat ini yang dapat bertahan dan menggerakkan ekonomi di masa pandemi adalah para pedagang pasar tradisional.
Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Perbelajaan Indonesia atau Hippindo Budihardjo Iduansjah mengatakan dalam pandemi ini membutuhkan solusi dan terobosan. "Kita tidak bisa mengeluh dan meminta bantuan pada pemerintah saja," kata Budihardjo dalam acara yang berbeda hari ini.
Hal itu pula yang mendorong para asosiasi dan pelaku usaha sepakat berkolaborasi dari sektor material sampai sektor barang jadi dalam pembukaan InaFashion Smesco Online Expo. Termasuk juga pemerintah dalam hal ini hadir bersama dukungan para sponsor.
"Kita mulai melangkah belajar digital, bagaimana berjualan, bukan hanya berjualan barang jadi, bahkan bahan baku juga bisa beli online," ujar Budihardjo.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia, Alphonzus Widjaja, mencatat rata-rata jumlah kunjungan di pusat belanja selama kuartal pertama 2021 berada di kisaran 40 persen. Dibanding tahun lalu, volumenya lebih baik lantaran kunjungan pada tahun lalu hanya berkisar 20-30 persen.
Dalam hitungannya, Aplhonzus memperkirakan tren ini dapat berlanjut hingga akhir tahun meski kenaikannya tak akan signifikan. Momentum Ramadan dan Idul Fitri yang biasanya menjadi musim panen pada bisnis retail, di masa pandemi ini tak terjadi. Bahkan kenaikan tingkat kunjungan ke pusat belanja tak signifikan karena ada larangan mudik.
Adapun Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, Roy Nicholas Mandey, menuturkan tren kenaikan jumlah pengunjung belum bisa memulihkan kinerja bisnis retail. "Perbaikannya hanya sporadis. Di beberapa daerah tertentu baru menuju pra- pemulihan," katanya.
Salah satu penyebabnya adalah program vaksinasi yang masih belum menjangkau semua penduduk. Dia berharap pemerintah dapat mempercepat pemberian antivirus Covid-19, sehingga masyarakat merasa aman berkegiatan. Roy menyatakan daya beli yang rendah juga turut andil dalam pemulihan sektor retail.
Dengan belum adanya perbaikan secara signifikan, Roy menyebutkan, masih ada peretail yang harus menutup tokonya. Tahun lalu, dia mencatat terdapat 5-6 toko tutup dalam sehari akibat tertekan pandemi, sedangkan pada tahun ini berkurang menjadi 1-2 toko saja.
Gerai Centro di Bintaro Xchange, misalnya, tutup pada Maret lalu, setelah sebelumnya dikabarkan menutup gerai di Plaza Ambarrukmo, Yogyakarta, dan Margo City, Depok.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, indeks harga konsumen (IHK) pada Maret 2021 turun menjadi 1,37 persen dari bulan sebelumnya sebesar 1,38 persen. Kementerian Keuangan memperkirakan perekonomian selama tiga bulan pertama tahun ini masih tumbuh negatif di kisaran minus 1 hingga minus 0,1 persen.
Lebih jauh, Budihardjo Iduansjah menyebutkan perubahan pola belanja masyarakat yang beralih ke online serta pembatasan kegiatan di pusat belanja, pengusaha tak bisa lagi mempertahankan metode bisnis lama.
Anggota Dewan Penasihat Hippindo, Tutum Rahanta mengatakan kini kenaikan tingkat kunjungan di pusat belanja tak begitu berpengaruh pada penjualan. "Masyarakat bukan tidak mau belanja. Ini pengaruh aktivitas mereka berhenti," tuturnya.
Dia mencontohkan, larangan mudik dari pemerintah bisa mempengaruhi penjualan pakaian, khususnya sektor bisnis retail. Pasalnya, masyarakat berpotensi tidak membeli baju baru lantaran saat Idul Fitri hanya dilalui sendiri. Berkaca dari kondisi tersebut, dia menilai perolehan omzet sebesar 60-70 persen tahun ini sudah terbilang bagus.
HENDARTYO HANGGI | LARISSA HUDA | YOHANES PASKALIS | VINDRY FLORENTIN | FAJAR PEBRIANTO | ANTARA