Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penyambung Pulpen Patah

Mereka tak hanya bisa lepas dari jerat sindikat narkotik, tapi juga menggagas kelompok pengajian di dalam penjara.

15 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah narapidana merintis kelompok pengajian di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa.

  • Kegiatan pengajian yang dirintis para narapidana menjadi bagian sistem rehabilitasi pengguna narkotik.

  • Salah satu mantan terpidana kini menjadi ustad di kampung halamannya.

MASUK masjid hendak tidur, keluarnya mendapat pencerahan. Rezky, 35 tahun, tak menyangka hidupnya berubah begitu bertemu dengan Muhammad Armin Ibrahim lima tahun lalu. Pesakitan narkotik di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Sungguminasa di Gowa, Sulawesi Selatan, ini mendapat pencerahan dari pertemuan dengan Armin, bandar narkotik kelas kakap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keduanya menghuni penjara itu. Hanya, Armin lebih dulu insaf. Ia sering beriktikaf dan menunaikan salat lima waktu di Masjid Al-Iksan di kompleks penjara. Sedangkan Rezky masih berkubang dalam lingkaran benda haram tersebut. Di masjid ia hanya menumpang tidur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelum mata Rezky terpejam, Armin menghampiri dan mengajaknya mengobrol tentang agama. Armin meyakinkan Rezky bahwa dia bisa hijrah dan lepas dari jerat narkotik dan obat-obatan terlarang jika berpegang pada ajaran agama serta didukung lingkungan yang baik.

Persoalannya, penjara penuh dengan mantan pengguna, bahkan bandar narkotik yang masih aktif. Sering kali para pengguna atau pengedar kecil justru naik kelas menjadi bandar saat keluar dari penjara. Problem lain: para napi tak bisa membaca huruf hijaiah. “Kami menyebutnya patah pulpen,” kata Rezky pada Kamis, 6 Mei lalu.

Dari situ, Rezky, yang mendapat pencerahan setelah mengobrol dengan Armin, menggagas pendirian komunitas pembelajaran Iqra, kitab dasar membaca Al-Quran. Dari ratusan penghuni penjara beragama Islam, hanya tiga yang bergabung dengan komunitas pengajian. Narapidana lain menganggap belajar membaca Al-Quran buang-buang waktu.

Soal lain: para napi sulit belajar karena tidak memiliki buku pelajaran. Rezky berinisiatif meminjam komputer pegawai penjara ketika malam. Ia mencetak huruf hijaiah dari Internet. Cara itu efektif. Perlahan-lahan kegiatan mereka mendapat perhatian lebih banyak terpidana lain sehingga anggota pengajian bertambah menjadi 24 orang dalam beberapa bulan. 

Rezky Fauzi./Dok.pribadi

Di sela kegiatan belajar membaca dan menulis huruf hijaiah, mereka berdiskusi tentang agama dan saling memberi semangat untuk lepas dari jeratan narkotik. “Saling dukung sesama teman penting karena kami tidak akan bisa berhenti mengonsumsi barang haram itu tanpa ada teman yang mendukung,” Armin mengenang.

Ketekunan kelompok Rezky dan Armin membangun komunitas pengajian akhirnya dilirik Badan Narkotika Nasional Provinsi Sulawesi Selatan. Kegiatan mengaji mereka lantas masuk sistem rehabilitasi pengguna narkotik di penjara Sungguminasa pada 2015. Sebanyak 70 persen blok di penjara itu menjadi tempat rehabilitasi.

Para terpidana wajib mengikuti terapi, yang mencakup pengajian setiap pagi, siang, dan sore. Kalau ada yang tidak ikut, mereka akan dihukum karena masuk kategori melanggar aturan penjara.

Tanggung jawab Armin dan rekan-rekannya tentu saja bertambah. Mereka tidak lagi sekadar menjadi rekan belajar, tapi juga dituntut menjadi guru dan imam salat, bahkan memberikan khotbah seusai salat subuh atau Jumat. “Kami dibimbing Ustad Hamka Mahmud, dari memperbaiki bacaan, menghafal surah-surah pendek, hingga teknik berdakwah,” tutur Armin. 

Hamka adalah ustad yang didatangkan petugas penjara setiap dua pekan sekali. Selain memberikan siraman rohani, Hamka menjadi guru khusus bagi sejumlah terpidana seperti Rezky dan Armin untuk membimbing rekan-rekan mereka.

Armin bebas pada 2016, sementara Rezky kembali ke keluarganya pada 2017. Bekal pengetahuan agama di penjara memudahkan mereka bersosialisasi dan melawan stigma tetangga. Rezky kini aktif dalam kegiatan keagamaan di sekitar rumahnya.

Armin acap menjadi khatib dan imam di salah di kampung halamannya di Bone. “Stigma masyarakat adalah tantangan terberat kami setelah keluar dari penjara, tapi itu bisa dilawan dengan membuktikan bahwa kami mampu memperbaiki diri,” ucap Armin.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus