Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia cepat berkemas, memanggul ransel, lalu bergegas ke Bandar Udara Soekarno-Hatta. Iwan Abdulrachman, waktu itu masih 51 tahun, dalam sebuah misi yang selama ini dirahasiakan, menyampaikan sepucuk surat penting kepada Presiden Soeharto, yang tengah menghadiri Konferensi Negara-negara Nonblok, 11-13 Mei 1998, di Kairo.
Di tangannya: tiket pulang-pergi Jakarta-Kairo yang telah diurus Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat dan sepucuk pesan istimewa dari sang menantu, Prabowo Subianto-ketika itu Panglima Kostrad. Hari itu, 12 Mei 1998, beberapa jam setelah penembakan beberapa mahasiswa Universitas Trisakti, keadaan benar-benar tak menentu. "Prabowo bilang kondisi sudah sulit dikendalikan," kata Iwan kepada Tempo saat ditemui di rumahnya di Bandung, Rabu petang pekan lalu.
Dalam surat pribadi itu, Prabowo mengabarkan perkembangan terakhir dan meminta mertuanya mempertimbangkan pulang ke Tanah Air.
Melalui kenalannya yang dapat dipercaya, dr Djoko Rahardjo, ahli bedah saluran kencing, yang kebetulan mendampingi Soeharto di konferensi tingkat tinggi itu, Iwan menyerahkan surat tersebut. Setiba di Kairo, saat langit telah gelap, Iwan mengontak sang dokter dengan telepon selulernya.
Iwan meminta Djoko bertemu di pelataran gedung tempat konferensi berlangsung karena penjagaan di gedung itu sangat ketat. "Surat langsung disampaikan ke Bapak (Soeharto), jangan sampai ada orang lain tahu," Iwan berpesan kepada dr Djoko. Saat dimintai konfirmasi, Djoko mengatakan lupa peristiwa bersejarah itu. "Waduh, saya sudah tak ingat," katanya Rabu pekan lalu. Keesokan harinya, ia pun bertolak kembali ke Jakarta. Dari Bandara Soekarno-Hatta, Iwan menuju markas Kostrad untuk melapor ke Prabowo.
Di saat-saat kritis dan krusial pada Mei 1998 itu, Iwan selalu mendampingi Prabowo, dan di Kostrad itulah ia mencatat sepak terjang kawannya yang satu ini. Ia berada di sisi Prabowo ketika mengunjungi dua keluarga korban dan bersumpah ia tak terlibat dalam penembakan itu.
Di ruangan Panglima Kostrad itu pula, suatu hari, dia dan Prabowo dikejutkan dering telepon pada pukul dua dinihari. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat Amien Rais menelepon Prabowo. Amien mengatakan ingin membawa massa yang menduduki gedung MPR/DPR ke depan Istana Negara. Prabowo tidak setuju. Ia menyatakan akan mengerahkan pasukan habis-habisan untuk mengamankan simbol negara itu.
"Kalau terjadi pertumpahan darah, yakin seperti di Tiananmen, itu tanggung jawab Pak Amien," ujar Iwan menirukan ucapan Prabowo. Malam itu, mereka tidur di kantor. Amien kembali menelepon dan membatalkan pengerahan massa ke Istana.
Iwan dan Prabowo pernah bepergian ke luar negeri pada 1984-2001. Kebanyakan untuk urusan dinas militer, seperti ke Australia, beberapa hari, menyambangi pasukan Kopassus yang sedang berlatih di sana. Juga beberapa kali ke Inggris, menemui pasukan khusus Royal Marine Commando Corps, dan bertemu dengan Anatoli Boukreev di London. Pendaki sukses itu diminta Prabowo melatih tim Kopassus meraih puncak Everest.
Menurut Iwan, selama di luar negeri, Prabowo tidak pernah pelesir dan tidak suka main golf. Dia lebih suka tinggal di hotel atau di rumah sewaan buat membaca buku atau keluar untuk jogging. Ketika ke Seattle, Amerika Serikat, Prabowo memilih ke perpustakaan dan memborong sepeti buku, sebanyak 20-30 judul, di toko buku. Prabowo paling suka buku tentang sejarah perang. Salah satu buku yang dibelinya berjudul Small Unit Leadership.
Di Yordania, Iwan melihat Prabowo sangat akrab dengan keluarga istana. Saat turun dari pesawat, dia disambut dengan hamparan karpet merah dan pasukan penyambut. Prabowo sangat dekat dengan Pangeran Abdullah, yang ketika itu menjadi komandan pasukan khusus Yordania. Meski disambut hangat seperti itu, Prabowo memilih tinggal di hotel daripada di kompleks istana.
Ketika tak aktif lagi di militer pada 1998, Prabowo memilih tetirah di Yordania. "Bukan berbisnis. Itu tidak benar," ujar Iwan. Dia bisa seminggu sampai sebulan tinggal di rumah sewaan kelas menengah di Amman, ibu kota Yordania. Iwan tak tahu berapa harga sewa rumah dua lantai seluas sekitar 100 meter persegi yang berdiri di lahan 500 meter persegi yang disewa Prabowo.
Iwan hanya satu-dua hari mendampingi Prabowo di Yordania. Selama di sana, Prabowo lebih sering membaca buku atau mengobrol dengan Iwan. "Topiknya tentang latihan, peralatan tentara, militer, pengembangan silat, dan gunung," ujarnya. "Dia keluar kalau ada undangan makan malam dari Pangeran Abdullah, Raja Yordania."
Jika sedang berada di Bandung atau Jakarta, Prabowo lebih suka jogging atau berlatih menembak sasaran. Iwan bisa dekat dengan Prabowo karena sama-sama suka berdebat, tidak mudah dipengaruhi, tapi gampang iba. Prabowo pernah memberi uang banyak kepada seorang ibu pembawa kayu bakar yang ditemuinya di jalan.
Tapi Prabowo juga mudah menerima pendapat yang sejalan dengan pemikirannya dari siapa saja. "Misalnya soal matras yang wajib untuk tentara," kata Iwan. Sebelumnya, tentara memakai alas tidur di alam terbuka dengan busa, yang menyerap air ketika hujan.
Prabowo tidak pernah sekali pun membentaknya. Ia marah jika pekerjaan anak buahnya tidak beres. "Prabowo itu jeleknya tidak ada, tapi dia bukan orang yang sempurna," ujar Iwan.
Iwan Abdulrachman, pria gaek 67 tahun yang akrab disapa Abah Iwan, merupakan salah seorang yang sangat dekat dengan Prabowo Subianto pada 1984-2001. Usia keduanya terpaut empat tahun. Iwan kelahiran 3 September 1947, sedangkan Prabowo 17 Oktober 1951. Iwan menjadi anggota angkatan ketiga Wanadri, perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung, sejak 1964.
Iwan dan Prabowo sudah saling kenal ketika Kopassus dan Wanadri berlatih bersama. Kedekatan itu bermula saat Iwan diminta Prabowo ikut melatih navigasi darat untuk pasukan yang akan diberangkatkan ke Timor Timur pada 1988. Pelatihan yang berlangsung pada 1984-1985 itu dilakukan di markas Batalion Infanteri Lintas Udara 328 Kujang 1 Kostrad di Cilodong, Depok, dan Gunung Salak, Bogor.
"Prabowo tidak ikut berlatih, hanya pasukannya," ujar Iwan. Prabowo muda, masih wakil komandan batalion, kata Iwan, lebih sering tinggal di mes tentara daripada pulang ke rumah. Uniknya, menu makan pagi Prabowo selalu sama selama setahun itu, 1984-1985: nasi goreng dan kornet kalengan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo