Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pengasuh Peduli Kekerasan Seksual

Pengasuh Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat, Afwah Mumtazah, belajar kesetaraan gender sejak menjadi pengasuh. Ikut mengusulkan aturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di pesantren.

30 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengasuh Pondok Pesantren Kempek Cirebon, Nyai Afwah Mumtazah, di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat, 21 April 2022. TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Afwah Mumtazah belajar isu gender dan islam melalui Pendidikan Ulama Perempuan.

  • Ikut menginisiasi pembentukan Kongres Ulama Perempuan Indonesia.

  • Mendukung peraturan mencegah kekerasan seksual di pesantren.

DIREKTUR Rahima, Pera Sopariyanti, melihat potensi Afwah Mumtazah ketika mengikuti Pendidikan Ulama Perempuan pada 2006. Saat itu, Afwah sudah memimpin Yayasan Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat. Ia menjadi peserta paling aktif dalam tiap diskusi. “Dia memiliki semangat bahwa perempuan harus berdaya,” ujar Pera pada Selasa, 26 April lalu.

Afwah makin getol memperjuangkan hak perempuan. Ia juga ikut menjadi inisiator Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 2017. Kongres ini membahas tiga isu utama yang dihadapi perempuan dan anak-anak, yakni perkawinan anak, kekerasan seksual, dan perusakan alam dalam konteks keadilan sosial, migrasi, serta radikalisme.

Pondok Pesantren Kempek kini mengasuh sekitar 2.000 santri. Ilmu yang diperoleh dari berbagai pengalamannya itu kemudian ia praktikkan di pesantren. Salah satunya mengubah pola pendidikan pesantren dengan lebih membumi ke urusan sehari-hari para santri.

Baca: Penganiayaan Saksi Kunci dan Santri Korban Kekerasan Seksual Pesantren

Afwah mengatakan pengetahuan yang diperoleh secara informal dari berbagai aktivitas tersebut membuatnya lebih luwes saat menjawab berbagai persoalan para santri. Pada suatu hari, misalnya, seorang wali santri datang menarik putrinya yang berusia 16 tahun dari pesantren untuk dinikahkan.

Orang tua santri itu memergoki anaknya berkirim pesan lewat akun WhatsApp dengan seorang santri pria 17 tahun. “Isi chat-nya tidak ada yang menjurus ke hal negatif, hanya perkenalan. Tapi ayahnya bilang itu dosa besar,” kata Afwah.

Kepada Afwah, kedua santri mengatakan belum ingin menikah karena masih belia. Afwah lantas memberi pemahaman kepada orang tua tersebut dan berjanji pengurus pesantren akan lebih mengawasi keduanya agar kejadian serupa tak terulang lagi.

Ada pula orang tua yang menarik anaknya karena ingin bekerja di luar negeri. “Saya tidak bisa melarang mereka. Tapi saya sampaikan hak-hak mereka sebagai pekerja migran,” tuturnya.

Pengajian di Pesantren Kempek juga menyelipkan pengetahuan tentang kesetaraan gender. Para santri diajak berdiskusi agar menerjemahkan isi kitab kuning secara kontekstual. Jika ada kalimat yang menekankan peran perempuan, Afwah biasanya menginterpretasikan ulang teks tersebut agar lebih mudah dipahami.

Ia juga mengajak para santri perempuan melanjutkan pendidikan formal hingga perguruan tinggi. “Kini hanya tersisa sekitar sembilan santri putri yang tidak sekolah formal. Hampir semua santri putri dari sini melanjutkan kuliah,” ujar Afwah.

Seorang santri asal Bengkalis, Riau, Siti Ashfiyatus Sholihah, memilih melanjutkan studi di Institut Studi Islam Fahmina, Cirebon. Ia mengambil jurusan hukum Islam. Mahasiswa semester dua ini menjadi santri di Pesantren Kempek saat mengenyam kursi sekolah menengah atas pada 2018.

Ia bercita-cita meniru Afwah yang kuliah hingga meraih titel doktor dan menguasai isu gender tapi tetap bisa mendidik anak dan para santri. “Saya ingin menghafal Al-Quran sembari lanjut kuliah di sini. Umi bisa mengarahkan dan memotivasi kami untuk belajar dengan baik,” tuturnya.

Dengan pemikiran sensitif gender itu, Afwah, Pera Sopariyanti, beserta lima anggota KUPI lain diundang Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada tahun lalu. Saat itu, Kementerian Pendidikan tengah menuai polemik karena menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Pera mereka mendukung keputusan Menteri Pendidikan Nadiem Anwar Makarim tersebut. “Nyai Afwah juga menyampaikan perlu dibuatkan peraturan serupa di lingkungan pesantren,” kata Pera.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus