Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Makam ke Makam

George Quinn, ahli kebudayaan dan sastra Jawa dari Australian National University, menerbitkan buku baru: Bandit Saints of Java: How Java’s Eccentric Saints are Challenging Fundamentalist Islam in Modern Indonesia.

15 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku ini berisi pengembaraannya semenjak 1990-an menziarahi makam para wali serta orang-orang yang dianggap saleh dan memiliki kekuatan gaib di Jawa serta Madura. Quinn melihat tradisi ziarah di Jawa dan Madura penuh dengan kisah sinkretis yang toleran dan inklusif, kisah yang sering dibalut folklor fantastis dan penuh riwayat ajaib. Dari tahun ke tahun, Quinn melihat jumlah peziarah ke makam para wali makin meningkat. Makam Wali Songo, misalnya, selalu dijubeli pengunjung. Juga makam tokoh-tokoh alim dan karismatik lain yang tidak begitu terkenal. Pada malam-malam keramat bagi orang Jawa, seperti malam Satu Suro, tempat perziarahan yang susah seperti Gunung Lawu bahkan didaki ribuan orang. Quinn melihat fenomena meningkatnya perziarahan sebagai inner civilization kebudayaan Jawa yang tak mudah hilang diterpa munculnya fenomena baru: Islam radikal.

Ini opium mentah.” Seorang juru kunci wanita menawarkan opium kering itu kepada George Quinn untuk keperluan sesajen. Opium tersebut ditaruh di dalam tube mirip plototan Pepsodent kecil. Harganya murah: Rp 500. Sesuai dengan aturan, opium itu diletakkan di atas kuburan bersama kembang kenanga, kembang kantil.

Hari itu, George Quinn mengunjungi makam yang dipercaya sebagai pusara Ki Ageng Balak, 20 kilometer dari Solo, Jawa Tengah. Ki Ageng Balak dalam kisah lisan merupakan begal tersohor yang sering merampok warga kaya Belanda dan membagikan jarahannya kepada para petani. Ia juga aktif membantu rakyat jelata yang mendapat masalah dengan jeratan hukum Belanda. Makam Ki Balak kini populer bagi masyarakat kecil yang tengah diproses pengadilan atau terkena urusan dengan kepolisian. Berdoa di makam Ki Balak diyakini bisa mendatangkan keringanan hukuman. Agar permohonan peziarah terkabul, juru kunci menyediakan opium mentah untuk sesajen. Sebab, Ki Balak pada masa lalu menyukai candu.   

Kisah-kisah yang memukau dari makam. Demikian Quinn menamai pengalamannya. Ahli sastra dan kebudayaan Jawa 76 tahun dari Australian National University ini sejak 1990-an kerap berziarah ke kuburan para wali dan petilasan-petilasan,  pasujudan, punden orang-orang yang dianggap mulia di Madura dan Jawa. Ia naik-turun gunung, masuk ke hutan, juga menjelajahi desa-desa di Blora, Kediri, Tuban, Tegal, Demak, Sumedang, Karawang, Banten, Kudus, Magelang, Gresik, Jombang, Mojoangung, sampai Sumenep, Sampang, dan Bangkalan hanya untuk mengunjungi cungkup-cungkup keramat yang kadang jarang diketahui.

 


Quinn mengungkapkan, memang kuburan Wali Songo adalah yang terbanyak dikunjungi peziarah. Statistik dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan tinggi. Dari data penelitian David Armstrong, periset Australia, jumlah peziarah makam wali di Jawa Timur, seperti Maulana Malik Ibrahim, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat, pada 1988  total hanya kurang dari setengah juta. Pada 2005, jumlah itu meningkat drastis sampai tiga setengah juta peziarah.


 

Masyarakat Jawa, sebagaimana diakui para ahli, telah mengembangkan budaya literer dan seni pertunjukan yang tinggi. Di samping sastra tulis dan kesenian yang indah, Quinn melihat masyarakat Jawa menghasilkan kultur kisah (Java oral culture) yang fantastis dari kuburan-kuburan. Dari kuburan, muncul cerita-cerita inklusif tak terduga.

Cerita garong pembela rakyat kecil yang lahir dari makam Ki Ageng Balak hanyalah salah satu kisah unik dari kuburan yang dipaparkan Quinn dalam buku barunya yang diterbitkan Monsoon Books Ltd pada 2019: Bandit Saints of Java: How Java’s Eccentric Saints are Challenging Fundamentalist Islam in Modern Indonesia. Menurut Quinn, makam-makam bandit yang dianggap suci beserta kisah-kisahnya juga terdapat di daerah lain sepanjang Jawa.

Di Kediri, Jawa Timur, Quinn antara lain menziarahi makam yang diyakini sebagai kuburan Ki Boncolono. Pada masa kolonial, sebagaimana Ki Ageng Balak, dalam cerita-cerita lisan Boncolono dikenal sering menyerang orang-orang kaya Belanda dan membagikan hartanya kepada mereka yang kesusahan. Ki Boncolono dihukum mati Belanda. Kepalanya dipenggal. Bagian kepalanya lalu dikuburkan di bawah beringin yang disebut Ringin Sirah di Desa Banjaran. Adapun bagian tubuhnya ditanam di Bukit Maskumambang. Kedua lokasi itu dipisahkan Sungai Brantas. Ringin Sirah di sisi timur sungai, sementara Bukit Maskumambang di barat. Kisah lisan mendedahkan cerita, bila keduanya tidak dipisahkan, Ki Boncolono bisa bangkit kembali.

Makam Pangeran Jimat di kompleks makam Asta Tinggi, Desa Kebunagung, Sumenep.

Pada 2004, Quinn berkunjung ke Astana Boncolono, makam Boncolono di Bukit Maskumambang. Ia melihat jalan ke puncak bukit kini dilengkapi dengan undak-undakan semen. Menurut juru kunci, banyak peziarah memberikan donasi sehingga fasilitas perziarahan makin baik. Dari Kediri, Quinn menyinggahi sebuah pertapaan kecil di Blora, Jawa Tengah. Pertapaan itu khusus didedikasikan seorang pejabat daerah untuk sosok bernama Maling Gentiri. Maling Gentiri dan Maling Kapa dalam folklor setempat adalah dua saudara maling saleh yang menjadi murid Sunan Ngerang, wali yang menyebarkan agama Islam di daerah Juwana. Kisah begal-begal yang dianggap suci di Jawa, menurut Quinn, tertanam jauh di lapisan subkultur kebudayaan. Sunan Kalijaga—satu-satunya wali yang asli Jawa—misalnya, sebelum bergelar wali, adalah keturunan istana yang menjadi perampok berjulukan Brandal Lokajaya.

“Ki Ageng Balak bukan bandit. Dia sesungguhnya seorang pangeran berdarah Majapahit,” kata kuncen makam Ki Ageng Balak kepada Quinn, mengoreksi bahwa Balak hidup pada zaman Belanda. Nama asli Balak adalah Raden Sujana. Dia disebut Balak karena memiliki anugerah dapat membuat jimat-jimat yang mampu menolak bala (aji balak). Biografi bandit-bandit kudus memang bisa berlapis-lapis kisahnya.

Buku unik ini terbit tatkala gejala skripturalisme dan ortodoksi Islam menjadi fenomena di mana-mana. Munculnya gagasan khilafiah yang menginginkan Indonesia menjadi bagian dari kepemimpinan Islam transnasional mengkhawatirkan banyak pihak. Berbagai penelitian mengamati gerakan Islam radikal di Indonesia akan makin tumbuh. Salah satunya riset sejarawan terkenal M.C. Ricklefs. Bila kita baca bukunya, Islamisation and Its Opponents in Jawa—telah diterjemahkan dengan judul Meng-islamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang—ada pengamatan ke arah situ.

Menariknya, Quinn memiliki hipotesis lain. Ia memandang bahwa memang benar kelompok yang mengusung “Islam Arabisme” muncul pesat, tapi itu hanya gejala permukaan. Ia menilai, jauh di akar rumput (grass root religion), sebenarnya Islam kultural yang asimilatif dan membumi dengan sejarah lokal belum mati, bahkan masih berkembang dinamis. Quinn berani melemparkan hipotesis itu karena menyaksikan sendiri bagaimana dari tahun ke tahun jumlah peziarah ke makam-makam wali meningkat pesat. Bukan hanya wali terkenal, tapi juga “wali pinggiran”.

Buku Bandit Saints of Java

Quinn mengungkapkan, memang kuburan Wali Songo adalah yang terbanyak dikunjungi peziarah. Statistik dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan tinggi. Dari data penelitian David Armstrong, periset Australia, jumlah peziarah makam wali di Jawa Timur, seperti Maulana Malik Ibrahim, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat, pada 1988  total hanya kurang dari setengah juta. Pada 2005, jumlah itu meningkat drastis sampai tiga setengah juta peziarah.

BUKU George Quinn memikat karena, untuk “daging” buku ini, ia bertumpu pada wawancara-wawancara dengan juru kunci dan peziarah, bukan telaah riset teks yang kering. Bak jurnalis kawakan, reportasenya detail, “basah”, dan “hidup”. Ia mampu menyodorkan banyak nuansa yang mungkin tak tertangkap orang lain. Di tangan Quinn, yang sebelumnya mengarang The Novel in Javanese (1992), informasi kultur perziarahan di Jawa dan Madura lebih beragam dari yang kita duga, terutama soal toleransi.

Selama dua malam di Kediri, peneliti yang beristri orang Banyumas, Jawa Tengah, ini, misalnya, ikut nyekar makam yang dianggap kuburan seorang ulama asal Bagdad bernama Wasil Syamsudin alias Sultan Ngali Samsujen. Letaknya di kompleks Setono Gedong, belakang masjid tua Auliya. Dia melihat banyak peziarah meletakkan botol air di pagar makam agar bisa diisi dengan energi dari kuburan itu. Quinn mencoba melacak riwayat Wasil Syamsudin. 

Kediri pada masa kuno adalah salah satu kota kuat di Jawa Timur. Nama tua Kediri adalah Panjalu dan Daha. Yang tak terduga, dari keterangan pengurus masjid Auliya, Wasil Syamsudin pernah bersua dengan Jayabaya, penguasa Hindu Kediri yang tersohor karena ramalan-ramalannya. “Dia guru muslim Jayabaya, dari Timur Tengah. Dia datang ke Kediri berjualan parfum dan herbal. Dia kemudian diundang Jayabaya ke istana untuk menjadi guru agamanya,” ucap pengurus masjid itu seperti ditulis Quinn. Quinn lalu mengunjungi Pamuksan Sri Aji Jayabaya, yang dianggap sebagai lokasi Jayabaya mengalami moksa.

Tentu saja hubungan Wasil-Jayabaya itu bisa dipertanyakan. Quinn juga ragu akan keakuratannya. Yang hendak ditunjukkan Quinn adalah di makam-makam itu masih bisa dibaca jejak khazanah Buddha dan Hindu pra-Islam. Bahkan juga di Masjid Demak. Masjid Demak dibangun para wali. Salah satu tiang penyangganya dibikin Sunan Kalijaga dari kumpulan tatal jati atau serpihan kayu jati. Quinn menemukan bagaimana hubungan antara Kalijaga dan Hindu dapat dilacak di kompleks tersebut.

Di belakang Masjid Demak terdapat kuburan-kuburan “misterius”.  Ukurannya panjang-panjang. Tidak diketahui pasti riwayatnya. Salah satu makam bernama Darmokusumo. Quinn menduga nama itu berhubungan dengan kisah Kalijaga menyebarkan Islam melalui medium wayang, terutama lewat kisah senjata ampuh Yudhistira, Kalimasada. Quinn memperkirakan kata “Kalimasada” berasal dari bahasa Sanskerta, “Kali-Mahaushadha”, yang mengacu pada kemampuan magis Dewi Kali. Oleh Sunan Kalijaga, kata “Kalimasada” syahdan diacukan pada “Kalimat Syahadah”. Menurut Quinn, makam panjang bernama Darmokusumo itu sesungguhnya simbol “makam Yudhistira”. Sebab, Darmokusumo adalah satu dari sekian nama lain Yudhistira.

Pengunjung makam Mbah Jugo di Gunung Kawi, Desa Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Atau tengoklah bagaimana saat Quinn mengunjungi makam yang dipercaya sebagai petilasan Sunan Panggung di Tegal, Jawa Tengah. Menurut Babad Cirebon, Sunan Panggung adalah putra Sunan Kalijaga yang nyentrik dan nyeleneh. Ia diberi nama Panggung karena memiliki keterampilan memainkan wayang. Sunan Panggung mendalami tasawuf, tapi dianggap kebablasan. Ia memberi nama anjingnya yang hitam Iman dan yang merah Tokid (tauhid). Bila Jumatan, ia membawa kedua anjingnya. Para wali gusar terhadap kelakuan najis Sunan Panggung. Mereka meminta penguasa Demak, Sultan Trenggana, menjatuhkan hukuman bakar.

Sunan Panggung menerima hukuman itu. Tatkala kobaran api sudah menyala, Sunan Panggung melempar sandalnya. Lalu ia menyuruh kedua anjingnya meloncat ke api yang berkobar. Dua anjing itu, anehnya, balik ke tuannya sembari membawa sandal tanpa hangus sedikit pun. Setelah itu, Sunan Panggung yang menceburkan diri ke nyala api. Dan, secara ajaib, dalam kobaran api itu Sunan Panggung malah menulis sebuah suluk bernama Suluk Malang Sumirang. Tubuhnya sama sekali tak terbakar. Suluk itu berisi pandangan ketuhanan atau visi mistis dari seseorang yang dianggap murtad. Suluk tersebut kemudian diserahkan Sunan Panggung kepada para wali. Dan, kemudian, dia bersama dua anjingnya hilang entah ke mana.

Masyarakat percaya petilasan atau jejak terakhir Sunan Panggung saat menghilang bersama kedua anjingnya itu kini berada di Jalan Kyai Haji Mukhlas, yang lokasinya sepuluh menit berjalan kaki dari Alun-alun Tegal. Di situ ada kompleks makam yang di tengahnya terdapat “kuburan” Sunan Panggung. “Makam” Iman berada di sebelah kiri, sementara Tokid di kanan kuburan itu. Menurut juru kunci makam, banyak peziarah yang menginap di kaki kuburan tersebut. Mereka yang berhasil akan bermimpi didatangi sosok manusia. Sedangkan yang niatnya kurang akan bermimpi didatangi anjing.

Yang menarik, di samping makam Sunan Panggung dan anjingnya, Quinn juga melihat ada lima kuburan kecil. “Di situ dimakamkan wayang Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa milik Sunan Panggung. Pandawa Lima itu simbol dari rukun iman,” tutur juru kunci kepada Quinn. Juru kunci itu menambahkan, sebelum menziarahi makam Wali Songo, seyogianya peziarah melawat ke “makam” Sunan Panggung.

Makam Sunan Bonang di Tuban, Jawa Timur, November 2001

SALAH satu bentuk asimilasi antara Islam dan kebudayaan Buddha yang kuat, menurut George Quinn, terdapat di pasareyan (makam) Mbah Jugo di Gunung Kawi, Desa Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Di kalangan keturunan Tionghoa, memohon rezeki di makam Mbah Jugo dianggap bisa melancarkan segala usaha dan bisnis. Gunung Kawi tersohor sebagai gunung pesugihan. Sampai sekarang, banyak warga Tionghoa pada bulan-bulan tertentu berduyun-duyun datang ke Gunung Kawi. Bahkan tak jarang ada peziarah yang berasal dari mancanegara, seperti Singapura, Taiwan, Hong Kong, Malaysia, dan Cina. Pamor makam Mbah Jugo meledak karena ditengarai pengusaha-pengusaha nasional pernah memohon doa di situ.    

Pada 1930-an, Quinn mengungkapkan, seorang pengusaha rokok asal Malang bernama Ong Hok Liong secara reguler datang ke makam Mbah Jugo. Dalam salah satu ziarahnya pada 1954, ia merasa mendapat penglihatan gaib. Dalam mimpinya, di kuburan ia melihat sebentuk ubi talas. Saat ia menanyakan maknanya, kuncen makam itu menjawab bahwa Ong Hok Liong mendapat bisikan dari Mbah Jugo agar mengganti nama pabriknya. Nama lama pabrik, Strootjes Fabriek, membuat bisnis rokoknya tidak maju-maju. Setelah pulang, Ong Hok Liong menahbiskan nama baru pada pabriknya sesuai dengan apa yang dilihat dalam mimpinya: Bentoel. Bentoel adalah sebutan Jawa untuk ubi talas. Dengan merek baru itu, bisnis rokoknya ternyata maju pesat. Kita tahu Bentoel lalu menjadi raksasa industri rokok di Indonesia.   

Konglomerat Liem Sioe Liong (Sudono Salim), yang lebih kaya daripada Ong Hok Liong, juga ditandai rutin berziarah ke makam Mbah Jugo. Penulis biografi Liem, Richard Borsuk dan Nancy Chng, sebagaimana dibaca Quinn, menyatakan, pada awal-awal bisnisnya, empat atau lima kali dalam setahun Liem senantiasa berkonsultasi ke makam Mbah Jugo. Sukses membangun bisnis Bank Central Asia, Indocement, dan Bogasari, ia banyak mendonasi pembangunan infrastruktur di kompleks makam Mbah Jugo. Warga mengetahui Liem sering mengguyurkan uang untuk mendirikan kelenteng-kelenteng jiamsi di kawasan Gunung Kawi.   

Riwayat Mbah Jugo sendiri penuh teka-teki. Dari cerita-cerita lisan, dia adalah lelaki misterius yang pada abad ke-19 tinggal di hutan Gunung Kawi. Ia seorang penyembuh. Ia mulanya kerap muncul tiba-tiba untuk menolong warga di Desa Jugo (25 kilometer dari Desa Wonosari) yang sakit. Ia juga mengobati ternak yang terkena wabah. Begitu warga dan binatang piaraannya sembuh, ia lenyap. Orang-orang Tionghoa percaya bahwa Mbah Jugo sesungguhnya pelarian Cina yang tinggal di kerimbunan Gunung Kawi. Satu-satunya tulisan mengenai riwayat Mbah Jugo yang ditemukan Quinn adalah karya Im Yang Tju yang dipublikasikan pada 1954. Im Yang Tju menulis, Mbah Jugo akhirnya menetap di sebuah kandang sapi bobrok di Desa Jugo pada 1850-1860. Perawakan Mbah Jugo seperti figur patung Buddha tertawa di Cina. Kupingnya besar, perutnya gendut, lembut, suka tertawa, penuh welas asih, dan matanya memancar seperti sinar bulan.

Im Yang Tju juga menulis bahwa Mbah Jugo memiliki murid bernama Raden Mas Iman Sujono. Iman Sujono adalah bangsawan keraton Yogyakarta yang ikut memberontak bersama Pangeran Diponegoro. Setelah Diponegoro kalah perang, ia menjadi pelarian dan mengembara sampai ke Gunung Kawi, lalu tertarik pada ajaran Mbah Jugo. Im Yang Tju memperkirakan Mbah Jugo wafat pada 1879. Raden Mas Iman Sujono kemudian yang menjaga kuburan gurunya itu dan mulai mengajak masyarakat rutin berziarah ke sana. Setelah wafat, Iman Sujono pun dikebumikan di samping makam gurunya. Kedua makam itu kini masih berdampingan. Kalangan Tionghoa dalam dialek Hokkian menyebut Mbah Jugo sebagai Thay Lo Su atau Guru Besar Pertama, sementara Raden Mas Iman Sujono disebut Djie Lo Su alias Guru Besar Kedua. 

Warga muslim yang tinggal di sana menganggap diri mereka keturunan Raden Mas Imam Sujono. Yang menarik, dalam perjalanan waktu, kalangan muslim di Gunung Kawi menganggap Mbah Jugo merupakan ulama muslim. Anggapan itu muncul pada 1990. Saat mengunjungi Gunung Kawi, Quinn menyaksikan sebuah relief yang menggambarkan Mbah Jugo mirip dengan sosok Wali Songo. Mbah Jugo berwajah tinggi kearab-araban, mengenakan serban putih, dan bergamis. Ia pun menemukan selebaran yang menerangkan riwayat Mbah Jugo versi Islam.

Mbah Jugo dalam versi Islam bernama Kiai Zakaria II. Kiai Zakaria II sejatinya juga perwira Pangeran Diponegoro yang setelah kalah perang lari ke Gunung Kawi tapi tetap melakukan konsolidasi. Kiai Zakaria II berasal dari keraton Solo. Kedatangan Raden Mas Iman Sujono ke Gunung Kawi sejatinya bertujuan menggabungkan diri dengan kekuatan perlawanan Kiai Zakaria II. Merekalah yang lalu mengorganisasi beberapa serangan ke Belanda di Jawa Tengah sesudah kekalahan Diponegoro pada 1830-an. 

Quinn melihat pengislaman figur Mbah Jugo dari sosok Cina ke Arab ini, tapi hal itu tak menimbulkan masalah. Para peziarah Tionghoa tetap mempertahankan imaji figur Mbah Jugo sebagai sosok Cina. Sedangkan kalangan muslim yang berziarah ke makam Iman Sujono membayangkan Mbah Jugo sebagai figur karismatik baru: pejuang muslim yang loyal kepada Diponegoro. Keduanya saling akomodatif. Masjid Agung Iman Sujono dan pesantren pun tumbuh bersebelahan dengan kelenteng-kelenteng. Tradisi ritual Cina hidup di antara azan dan zikir. Sebuah kultur toleransi yang cantik. 

SIKAP toleran para peziarah bahkan dipantau George Quinn tidak hanya ada terhadap riwayat kriminal orang-orang yang dianggap saleh, tapi juga terhadap kemungkinan riwayat “penyimpangan seksual”-nya. Suatu hari, pada 2015, ia mengunjungi kompleks makam raja Asta Tinggi Sumenep, Madura, Jawa Timur. Di kompleks itu dimakamkan tiga pangeran utama penguasa Madura Timur pada abad ke-18: Pangeran Panji Pulang Jiwa, Pangeran Jimat (Pangeran Cakranegara II), dan Bindara Saod atau Tumenggung Tirtanegara. Mereka dikenal sebagai orang-orang alim. Ketiganya memiliki hubungan kekerabatan.

Dari tiga pangeran itu, Pangeran Jimat dikenal mampu memperluas wilayah Kerajaan Sumenep sampai ke beberapa daerah di pesisir pantai utara Jawa Timur. Pangeran Jimat menempatkan banyak bekas prajurit Madura di daerah kekuasaannya di Jawa Timur. Itulah sebabnya para peziarah makam Pangeran Jimat, selain berasal dari Madura, banyak datang dari wilayah Jawa Timur yang berkultur Madura. Pangeran Jimat wafat pada 1737. Ia sama sekali tak pernah menikah dan tak memiliki keturunan. Di depan makam Pangeran Jimat dan saudari-saudarinya terdapat dua kubur kecil tempat disemayamkan dua orang kerdil kepercayaan sang Pangeran. Juru kunci yang ditemui Quinn mengatakan pangeran tersebut memperoleh gelar Jimat karena memiliki kemampuan memberikan jimat. Yang menarik, Quinn memperoleh dokumen dari arsip kolonial Belanda yang menyatakan bahwa Jimat sesungguhnya gay.

Pada 1732, pemerintah kolonial Belanda menerima surat aduan dari Pangeran Cakraningrat IV, penguasa Madura Barat—pesaing Kerajaan Sumenep—yang menuduh Pangeran Jimat homoseksual. Cakraningrat IV menulis, Pangeran Jimat memiliki kekasih lelaki bernama Bagus Surono. Kelakuan Pangeran Jimat, menurut Cakraningrat IV, bejat. Sebab, bila ada serdadu atau anggota kerajaan yang tampan, orang itu akan dijadikan “istri” tersembunyi oleh Pangeran Jimat. Cakraningrat IV menilai tingkah laku Pangeran Jimat jelas menodai agama, dapat menularkan penyakit, serta menyebabkan malapetaka, seperti gagal panen dan kekacauan. 

Tatkala Quinn menanyakan soal cerita gay tersebut kepada si juru kunci, ia menyanggah dan menyatakannya hanya fitnah yang ditudingkan penguasa Madura Barat yang menjadi rival Pangeran Jimat saat itu. Quinn sendiri menduga para peziarah yang berlutut takzim di depan makam Pangeran Jimat tak mengetahui kisah tersembunyi penyimpangan seksual sang Pangeran. Di luar dugaan, seorang peziarah yang dengan hati-hati ia tanyai menjawab bahwa mereka semua tahu. Dan, bagi mereka, hal itu tak mengganggu karena waliyullah atau orang suci sering memiliki perilaku yang tak bisa kita pahami. Quinn merasa jawaban peziarah itu lebih moderat dibanding fatwa keras Majelis Ulama Indonesia dalam memandang persoalan lesbian, gay, biseksual, dan transgender.   

Bahkan kisah yang sedikit erotis juga dijumpai Quinn di punden. Tepatnya di punden Nyai Ageng Bagelen, 60 kilometer dari Yogyakarta. Nyai Ageng Bagelen dianggap sebagai nyai pembawa kesuburan. Quinn bertemu dengan seorang peziarah, ibu berhijab, yang bercerita bahwa ia lama tak dikarunia momongan. Setelah sering memohon kepada Nyai Ageng Bagelen, ia akhirnya bisa hamil. Dari ibu itu Quinn mendengar kisah fantastis.

Peziarah di kompleks Makam Sunan Ampel di Surabaya, 26 Mei lalu./ANTARA/Zabur Karuru

Nyai Ageng Bagelen, menurut ibu tersebut, memiliki payudara besar, sedemikian besarnya hingga menjumbai ke bawah. Ini membuatnya memiliki masalah saat menenun. Bila ia tidak berhati-hati, putingnya bisa terjerat benang. Untuk menyusui anaknya, kala memintal, Nyai Ageng Bagelen membalikkan buah dadanya yang besar melewati bahunya. Dengan begitu, anaknya bisa mengisap payudaranya dari belakang. Suatu kali, saat menenun dan menyusui anaknya, ia merasa mendapat isapan lain. Saat ia menoleh ke belakang, ternyata bukan anaknya yang mengisap putingnya, melainkan seekor anak sapi hitam. Anaknya entah ke mana. 

Quinn juga mendapati seorang ibu yang mengaku masalah menstruasinya yang tak teratur menjadi normal setelah berdoa di Gua Selomangleng di kaki Gunung Klotok, Kediri. Gua itu dipercaya sebagai tempat Dewi Kilisuci, putri Airlangga yang bernama asli Sanggramawijaya Tunggadewi. Ia sangat rupawan. Namun ia menolak menikah dan tak mau mewarisi takhta istana Kahuripan. Ia memilih menjadi biku dan berdiam di gua. 

GEORGE Quinn adalah pencerita ulung. Kita bisa membayangkan bagaimana Quinn menggigil kedinginan di puncak Gunung Lawu bersama ribuan peziarah pada malam Satu Suro. Hujan berkali kali membuatnya tergelincir dan lecet. Ia sangat lelah, merasa tak mampu mencapai puncak. Seorang peziarah dengan kaki berdarah yang sedari bawah berjalan bersamanya tak dinyana mengeluarkan buku dari ransel dan memberikannya kepada Quinn untuk dibaca selarik dua larik agar niatnya berziarah kembali kuat. Quinn kaget. Buku itu terjemahan Najhul Balaqah karya Sayyidina Ali. 

Dalam buku ini Quinn bercerita, ia bahkan menjelajah masuk ke Alas Ketonggo di dekat Ngawi, Jawa Timur, yang dianggap angker. Alas Ketonggo dipercaya masyarakat Jawa sebagai tempat terakhir pelarian Brawijaya V sebelum ia lenyap di Gunung Lawu. Brawijaya V memilih tak mau berkonflik dengan anaknya, Raden Patah, yang memimpin pasukan muslim mengepung Majapahit. Brawijaya berjalan menuju Alas Ketonggo sebelum mendaki Gunung Lawu dan dipercaya di sana memeluk Islam. Setelah itu, ia mencapai moksa.

Quinn juga menyambangi Padepokan Jambe Lima di Gunung Srandil, Cilacap, Jawa Tengah, tempat Soeharto dikatakan pernah bertapa. Ia mendatangi pula kuburan Mbah Priok di Koja, Jakarta Utara, tempat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pernah disambut hangat walau di tempat lain ia dihujat karena dianggap menista agama. Tak lupa ia ke makam Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang kini juga banyak didatangi peziarah berbus-bus. Masih begitu banyak petilasan dan makam orang-orang mulia di seluruh Madura dan Jawa yang belum dikunjungi Quinn. Quinn juga kurang menapak tilas kabuyutan di wilayah Sunda. Bagi Quinn sendiri, seluruh kesaksiannya akan antusias peziarah dari makam ke makam bisa dipakai sebagai sebuah tes apakah agama Jawa yang unik ini nantinya akan hilang, mati.

Akankah budaya Islam sinkretis digantikan oleh purifikasi Islam ortodoks yang kini gaung politiknya membesar? Akankah Islam Jawa yang sarat kisah folklor, mitologi lokal, lambat-laun tak relevan bagi kehidupan modern? Dari caranya menyajikan, kita bisa percaya bahwa sesuatu yang inner tak gampang musnah.                                                        

SENO JOKO SUYONO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus