Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGAI generasi ketiga, Anindya Novyan Bakrie ingin membuat penanda di perusahaan yang didirikan keluarganya, Bakrie and Brothers Tbk (BNBR). Penanda itu bagi Anin—sapaan Anindya—adalah kembali berfokus pada bisnis industri manufaktur, tapi dengan target yang lebih ambisius. “Generasi ketiga mau ke mana? Ujungnya mesti naik kelas,” kata Anin di ruang kerjanya, lantai 39 Bakrie Tower, Jakarta, Kamis, 23 Mei lalu.
Pada hari itu, Anin baru sepekan menjabat Direktur Utama Bakrie and Brothers. Rapat umum pemegang saham BNBR pada 16 Mei lalu menunjuk sulung Aburizal Bakrie tersebut menakhodai Bakrie and Brothers, perusahaan yang didirikan sang kakek, Achmad Bakrie, pada 1940. Perusahaan ini kini menaungi puluhan anak dan cucu usahanya. Duduk sebagai wakil direktur utama Anindra Ardiansyah Bakrie, adik Anin.
Beberapa tahun belakangan, Bakrie and Brothers tenggelam dalam urusan restrukturisasi utang. Keluarga Bakrie akhirnya melego sebagian sahamnya kepada kreditor. Kemudi perusahaan dipegang individu profesional nonkeluarga, yaitu Bobby Gafur Umar. Perlahan perusahaan membaik. Ekuitasnya pada 2018 menjadi positif Rp 2,69 triliun. “Akhirnya bisa positif setelah minus terus,” tutur Anin.
Dengan tren perusahaan yang membaik, walau belum terlepas dari jerat utang sepenuhnya, Bakrie memancang target tinggi. PT Bakrie Autoparts, salah satu anak usahanya, disuruh berbisnis bus listrik. Caranya, berkongsi dengan BYD Auto Co Ltd, produsen bus listrik asal Cina yang kini menguasai pasar bus listrik dunia. “Kita harus berfokus ke mobil listrik,” ucap Anin.
Bakrie sebetulnya bukan bayi dalam industri otomotif. Bakrie Autoparts berdiri sejak 1975, memproduksi suku cadang mobil seperti rem tromol. Perusahaan memasok produknya ke PT Krama Yudha Tiga Berlian Motors (KTB) untuk kendaraan niaga Mitsubishi.
Bakrie juga sempat mencoba peruntungan membuat mobil nasional berjenis minibus pada 1994. Menggandeng pabrik mobil asal Inggris, Leyland, perusahaan menyelesaikan desain mobil nasional itu pada 1995. Dua tahun kemudian, purwarupa mobil rampung. Tapi, berselang setahun, mobil bernama Beta 97 MPV itu gagal mengaspal karena perusahaan digulung krisis finansial 1998.
Kini Bakrie melihat ada peluang masuk ke bisnis otomotif lewat bus listrik. “Kami ingin menjadi Astra-nya kendaraan listrik,” ujar Anin. Astra International saat ini menguasai pasar otomotif nasional lewat mobil Daihatsu dan Toyota.
Niat Bakrie menjajal ulang peruntungan di bisnis otomotif memang baru terang dalam pertemuan tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) di Bali pada Oktober 2018. Saat itu mereka memamerkan dua bus listrik bikinan BYD berkelir hijau. Gerak perusahaan sebetulnya sudah dimulai sejak 2017, ketika Bobby Gafur Umar masih memegang kemudi.
Target Baru Bisnis Lama/dok. BNBR
Pada akhir 2017, Bobby terbang ke Cina menjajaki kerja sama dengan BYD. Kesepakatan awal baru bisa tercapai pada Januari 2018. Nota kesepahaman diteken di Cina pada 12 April 2018. Setelah kesepakatan itu, Bakrie membeli dua unit bus pada Mei 2018. Barang baru datang pada Agustus 2018, tapi masih dalam bentuk sasis. Menggandeng karoseri lokal, perusahaan akhirnya merakit bus listrik itu dan memamerkannya dalam pertemuan Bank Dunia-IMF, Oktober 2018.
Perusahaan selanjutnya mempelajari peluang bisnisnya di Indonesia. Ada dua pilihan: masuk ke retail atau ke proyek. Masalahnya, kalau bermain langsung ke retail, mereka akan berhadapan dengan pabrik Jepang yang lebih dulu mapan bersama jaringan distribusi dan pelayanan purnajual. Pilihan paling masuk akal adalah masuk ke proyek transportasi publik seperti Transjakarta. “Kebutuhan bus di Transjakarta itu 10 ribu dalam lima tahun ke depan,” kata Anin.
Bila ditambah dengan angkot, potensinya bisa menjadi 25 ribu unit. Itulah pasar yang sedang disasar Bakrie and Brothers. Apalagi Bakrie sudah mendapat janji BYD. Jika nanti Bakrie memperoleh kontrak pengadaan bus listrik dari para operator Transjakarta, BYD akan membangun fasilitas perakitan di Indonesia merangkul Bakrie.
Kontrak pengadaan inilah yang sekarang masih mengambang. Semua masih serba abu-abu karena kendaraan listrik adalah barang yang sama sekali baru. Apalagi peraturan presiden tentang kendaraan listrik tak kunjung keluar. Padahal peraturan itu akan menjadi pedoman subsidi atau insentif yang bisa didapat agar kendaraan listrik segera mengaspal. “Kalau perpres keluar, peraturan menteri, peraturan gubernur, dan turunan lain bisa keluar semua,” ucap Kepala Divisi Teknik dan Manajemen Operator PT Transportasi Jakarta Ery Priwan, Jumat, 14 Juni lalu.
Para operator bus Transjakarta mengakui kejelasan skema subsidi, insentif, atau bentuk dukungan lain dari pemerintah itu sangat dibutuhkan mengingat harga bus listrik kelewat mahal. Untuk meminang bus listrik BYD 13m Coach, mereka perlu merogoh rekening hingga Rp 5,5 miliar. Itu pun baru harga off the road. Sedangkan harga bus energi fosil seperti Hino RN285 hanya Rp 1,4 miliar dan sudah on the road.
Kenyataan tersebut membuat sejumlah operator bus putar otak mencari pendanaan yang manusiawi. Sebab, segera setelah peraturan rampung, PT Transjakarta selaku pemilik proyek akan mewajibkan operator bus mengganti bus yang sudah uzur dengan bus listrik. “Rencana pasti begitu. Cuma, peraturannya belum keluar,” ujar Ery.
Salah satu operator yang sudah menyusun langkah untuk mengakali mahalnya investasi bus listrik adalah Perusahaan Umum Damri. Badan usaha milik negara ini sedang menjajaki pinjaman murah dari Bank Pembangunan Asia (ADB). Dari lembaga multilateral itu, Damri berharap mendapat kredit hijau dengan bunga LIBOR plus 0,5 basis point. ADB juga menawarkan tenor yang panjang, mencapai 15 tahun. “Investasi bus listrik itu mahal. Makanya perlu memanfaatkan lembaga multilateral,” tutur Kepala Unit Bisnis Aset Manajemen dan Pengembangan Properti Perum Damri Dipo Wirawan di Jakarta, Kamis, 13 Juni lalu. Bunga itu tentu jauh di bawah bunga bank komersial dalam negeri yang di atas 11 persen.
Damri sudah merancang kebutuhan investasi di bus listrik. Namun, menurut Dipo, yang disiapkan justru untuk bus bandar udara, bukan buat operasi Transjakarta. Damri saat ini menjadi operator Transjakarta untuk koridor 1, 8, dan 11. Dipo menjelaskan, Damri mendahulukan bus listrik bagi bandara karena skema bisnis bus listrik dengan Transjakarta belum terang. “Dalam lima tahun kami akan mengganti 70 persen bus kami dengan listrik,” katanya. “Tapi nanti peruntukannya bisa diubah-ubah, bisa untuk bandara atau Transjakarta.”
Damri sudah menghitung kebutuhan investasinya. Dalam lima tahun itu, kebutuhan bus listrik Damri mencapai 500 unit. Dengan investasi sebanyak US$ 200-300 ribu per bus, total belanja perusahaan bisa mencapai US$ 150 juta atau Rp 2,1 triliun dengan kurs Rp 14.300.
Adapun Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD), badan usaha milik negara yang menjadi operator Transjakarta di koridor 2, 3, 4, dan 6, menyiapkan strategi lain. Menurut Direktur Utama PPD Pande Putu Yasa, sudah ada sejumlah investor yang siap menyuplai bus listrik buat perusahaannya. PPD kelak mengoperasikan bus tersebut. “Kalau investasi sendiri, agak riskan,” kata Putu di sebuah gerai kopi di Jakarta, Kamis, 13 Juni lalu. “Kalau skemanya kerja sama dengan pabrik atau penyedia bus, potensi kerugian bisa dibagi bersama.”
Saat ini PPD mengoperasikan 500 bus Transjakarta. Bus-bus itu akan dibikin muda secara bertahap. Putu berharap bisa menggantinya dengan bus listrik. Namun Putu tidak bisa memastikan apakah bus-bus listrik itu berasal dari Bakrie and Brothers, kendati kedua pihak sudah meneken kerja sama pengadaan satu bus listrik BYD untuk uji coba di jalur Transjakarta pada Oktober mendatang.
Putu masih membuka kemungkinan menggunakan bus listrik dari pabrik lain. “Ada undangan dari pabrik lain untuk melihat-lihat ke Cina,” ujar Putu. Perusahaan itu antara lain Sky-well New Energy Automobile Group Co Ltd dan Nanjing Golden Dragon Bus Co Ltd. Keduanya calon penantang duo Bakrie-BYD.
Khairul Anam, Putri Adityowati, Retno Sulistyowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo