Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

DPRD DKI Minta Kebijakan Anies Baswedan Bebaskan Pajak PBB Ditinjau Ulang

Komisi C DPRD DKI meminta kebijakan Anies Baswedan membebaskan pajak PBB ditinjau ulang. Banyak yang tidak tepat sasaran.

9 September 2022 | 14.10 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan memberikan sambutan saat Peresmian Rumah DP 0 Rupiah di Cilangkap, Jakarta, Kamis, 8 September 2022. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meresmikan rumah DP nol persen tahap kedua yang sudah terbangun sebanyak 1.348 unit di Cilangkap, Jakarta Timur. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - DPRD DKI meminta kebijakan Gubernur DKI Anies Baswedan yang membebaskan pajak PBB bagi rumah dengan NJPO dibawah Rp 2 miliar ditinjau ulang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sekretaris Komisi C DPRD DKI Jakarta Yusuf mengatakan kebijakan pembebasan pajak PBB itu itu harus ditinjau ulang karena saat ini sudah menjamur rumah klaster yang dimiliki masyarakat menengah ataupun mampu dengan nilai jual objek pajak (NJOP) di bawah Rp2 miliar, namun saat pembeliannya jauh di atas nominal tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Komisi C telah meminta Pemprov DKI untuk mengkaji lagi program pembebasan PBB-P2 sebagai upaya pemulihan ekonomi," kata Yusuf seperti dikutip dari Antara, Kamis, 8 September 2022.  

Ia mengingatkan Pemprov DKI untuk memastikan penerapan kebijakan pembebasan pajak bumi dan bangunan (PBB) seperti yang tercantum dalam Peraturan Gubernur (Pergub) nomor 23 tahun 2022 bisa tepat sasaran.

Pergub 23 tahun 2022 berisi ketentuan warga DKI yang NJOP rumahnya di bawah Rp2 miliar akan mendapatkan pembebasan PBB. Bagi rumah yang NJOP-nya di atas Rp2 miliar mendapatkan pembebasan sebagian pajaknya untuk luas tanahnya 60 meter persegi dan luas bangunan 36 meter persegi.

Banyak yang tidak tepat sasaran

Padahal, kata Yusuf, masih banyak rumah warisan yang luasnya tidak besar, namun berada di pinggir jalan protokol ataupun di kawasan yang memiliki nilai tanah mahal seperti Jakarta Selatan dan Pusat dan masuk dalam kategori masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak masuk dalam kriteria kebijakan yang diteken Anies Baswedan tersebut.

"Kebanyakan dari mereka biasanya mendapatkan lungsuran lahan berupa warisan dan mereka dalam status pensiunan. Ini kan yang perlu dikaji ulang, apakah program tersebut sudah tepat sasaran untuk masyarakat kita," katanya.

Yusuf berharap jangan sampai orang yang mampu dapat kemudahan, tetapi orang orang yang tidak mampu seperti tanah masih warisan, tidak dibantu.

DPRD DKI akan panggil Bapenda

Dalam waktu dekat, kaya Yusuf, Komisi C DPRD DKI akan memanggil Bapenda untuk dimintai penjelasan secara detail faktor pendukung pembentukan Pergub itu. Komisi C, kata dia, sebenarnya mendukung selama itu untuk masyarakat.

"Akan tetapi harus matang kajiannya untuk memastikan tepat sasaran, makanya Komisi C akan memanggil Bapenda segera," ucapnya.

Yusuf juga mengimbau agar Bapenda DKI lebih aktif lagi untuk membuat program-program dalam pemungutan pajak daerah yang bisa menutup pendapatan yang berkurang karena adanya pembebasan PBB.

"Kita harus jemput bola, harus lebih tegas pada pajak yang sempat rendah selama COVID-19, seperti pajak hotel, restoran dan hiburan. Ini harus digenjot untuk mengimbangi kebijakan tersebut. Mudah-mudahan ketiga jenis pajak itu bisa menutup," katanya.

PBB adalah cara sopan menggusur warga  

Anies Baswedan menjelaskan penghapusan PBB ini merupakan salah satu cara menghadirkan keadilan sosial di negeri ini.        

Nilai tanah dan bangunan di Jakarta termasuk yang paling tinggi dan nilainya selalu meningkat setiap tahun. Kondisi ini bisa menimbulkan ketidakadilan dan ketidakkesetaraan di masyarakat.

"Bila ini didiamkan, kebijakan pajak bumi dan bangunan (PBB) tanpa disadari merupakan kebijakan pengusiran warga secara sopan," kata Anies yang disampaikan melalui rekaman suara, seperti dilansir dari Antara, Rabu, 17 Agustus 2022.

Anies mengatakan mereka yang berpenghasilan rendah atau kondisi ekonominya lemah adalah yang paling pertama kali terdampak dengan beban PBB yang nilainya terus meningkat. Padahal, rumah adalah kebutuhan dasar manusia, hak dasar manusia untuk bisa hidup. Oleh karena itulah, Pemprov DKI Jakarta memutuskan untuk menghapus PBB.

Dasar kebijakan penghapusan PBB ini mempertimbangkan luas minimum lahan dan bangunan untuk rumah sederhana sehat, yaitu seluas 60 meter persegi untuk bumi dan 36 meter persegi untuk bangunan.

"Dasar ini merujuk kepada Permen PUPR yang di situ telah menata tentang standar minimal kebutuhan hidup (hunian)," ucap Anies Baswedan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus