Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERAHU kuno padewakang hidup kembali dalam ekspedisi bertajuk “Before 1770”, yang berlangsung 50 hari sejak 8 Desember 2019. Cikal-bakal perahu pinisi ini mengangkat sauh dari Makassar, Sulawesi Selatan, menuju Darwin, Australia.
Ekspedisi yang dibiayai yayasan Abu Hanifa Institute, Australia, ini ingin menghidupkan kenangan lama, saat nenek moyang pelaut Makassar hilir-mudik hingga Darwin untuk mencari teripang dan tangkapan laut lain. Dalam ekspedisi yang dipimpin antropolog Horst Liebner ini, program literasi Perahu Pustaka turut melaju.
Hampir di setiap pulau kecil yang disambangi para awak perahu menggelar lapak buku bacaan gratis bagi anak-anak setempat. Berikut ini catatan Muhammad Ridwan Alimuddin, penulis buku-buku tentang kebudayaan bahari Mandar dan Bugis, yang ikut dalam ekspedisi.
***
SADAR badai akan datang, kami segera menggulung dua layar perahu padewakang. Terlalu nekat kalau kami mengabaikannya karena angin seganas itu bisa saja merobek layar, bahkan membalikkan perahu kami. Pada saat seperti ini, saya jadi teringat lukisan-lukisan realis yang mengilustrasikan perahu dengan layar penuh dan sempurna, teguh menantang badai dan ombak. Bisa jadi pelukisnya tak pernah menjajal sendiri naik perahu dan berhadapan langsung dengan taring-taring ombak. Terlebih perahu ini adalah padewakang, jelmaan perahu kuno yang sejatinya punah lebih dari seabad lalu, dengan panjang 14,5 meter dan lebar 4,2 meter. Badannya boleh dibilang memang kuat, tapi tanpa mesin. Tak cukup banyak yang bisa kami lakukan untuk bertahan dari amukan alam di tengah samudra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya berada di padewakang dalam ekspedisi rute Makassar-Australia. Saat mencatat pelayaran ini, saya lupa sudah berapa hari kami di laut. Yang pasti, kami berangkat dari Pelabuhan Makassar, Sulawesi Selatan, pada 8 Desember 2019. Saya menduga kami sudah dua puluhan hari berlayar. Ekspedisi ini dibiayai yayasan Abu Hanifa Institute yang berbasis di Sydney, Australia. “Before 1770” menjadi tajuk ekspedisi karena merujuk pada masa jauh sebelum pelayar James Cook memetakan pantai timur Australia. Kala itu, nenek moyang pelaut dari Makassar sudah biasa hilir-mudik ke Negeri Kanguru. Hanya, mereka memang tak membentuk koloni atau menguasai tanah suku Aborigin seperti yang kemudian dilakukan pemerintah Inggris di sana. Kegiatan mereka di perairan hanya mencari ikan dan tangkapan laut lain, terutama teripang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padewakang kami bernama Nur Al Marege. Ceritanya, orang-orang Makassar yang berkunjung ke sana menyebut daerah itu “Marege”. Asal kata itu kurang jelas. Namun, dalam buku The Voyage to Marege karya C.C. Macknight, istilah tersebut mungkin merujuk pada suku Aborigin. Di kapal ini, saya bersama sembilan awak. Yang mirip dengan saya, seorang penulis sekaligus pencinta laut, adalah Guswan Gunawan. Bekas mahasiswa pencinta alam Universitas Hasanuddin, Makassar, ini pernah berlayar dengan sandeq—perahu khas suku Mandar—dari Makassar ke Australia pada 2011. Ada juga Rofinus, putra Flores, Nusa Tenggara Timur, pencinta alam yang seorang diri pernah melayarkan sandeq dari Sulawesi Barat ke Jakarta.
Basri memperbaiki kerusakan di ujung tiang layar utama perahu padewakang, Saumlaki, 19 Januari lalu. /Tempo/Muhammad Ridwan Alimuddin
Yang lain adalah Horst Liebner, antropolog cum sejarawan maritim yang juga tenaga ahli di Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi. Sang akademikus adalah koordinator pelayaran kami. Peran serupa dulu diemban Peter Spillett dalam ekspedisi padewakang “Hati Marege” pada 1987. Liebner tak hanya pernah melayarkan padewakang, tapi juga sandeq. Selain itu, kami didampingi pelayar profesional dari Makassar dan Sulawesi Barat. Dari Makassar ada Sampar Daeng Nyarrang, Anton Daeng Tompo, Kaseng Daeng Sewang, dan Umar Daeng Naba. Dua lainnya adalah Abdul Muis dan Basir, pelaut Mandar asal Majene.
Ekspedisi kami bermula pada April 2019. Saat itu, Liebner menyampaikan kepada saya tawaran Abu Hanifa menghidupkan kembali pelayaran padewakang dari Makassar ke Australia. “Bisa terlibat?” Liebner bertanya, yang tentunya saya sambut dengan sukacita. Dalam kegiatan ini, saya diminta bertanggung jawab untuk urusan dokumentasi audio dan visual.
Kami lalu mulai menyiapkan kebutuhan teknis. Kami bersepakat perahu akan digarap di Tana Beru, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Di sana pulalah perahu-perahu pinisi yang tersohor itu dibuat. Penggarapan padewakang dipimpin Usman, sementara desainnya didasarkan pada sketsa dan foto replika perahu klasik tersebut. Kami menetapkan tenggat, perahu itu mesti sudah bisa diajak berlayar pada awal musim barat atau akhir tahun lalu. Waktu tersebut kami pilih karena meniru kebiasaan para pelaut Makassar zaman dulu.
Awak kapal bersantai di bagian haluan kapal yang juga berfungsi sebagai dapur./Tempo/Muhammad Ridwan Alimuddin
Proses ini relatif lancar karena dua tahun lalu saya dan Liebner terlibat proyek serupa. Kami merekonstruksi perahu padewakang atas permintaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun perahu itu tidak untuk dilayarkan, walau dibuat dalam bentuk besar. Setelah rampung dibangun, perahu dibongkar dan keping per keping dikemas untuk dikirim ke Belgia. Di sana, padewakang dirakit ulang untuk dipamerkan selama enam bulan dalam festival seni Europalia 2017-2018.
Setelah rampung digarap dan persiapan matang, padewakang mengangkat sauh pada 8 Desember 2019 dari Makassar. Dalam upacara pelepasan, Deputi IV Bidang Koordinasi Sumber Daya Manusia, Ilmu Pengetahuan Teknologi, dan Budaya Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman Safri Burhanuddin menyebut padewakang sebagai kapal tradisional yang kemudian berkembang menjadi pinisi. Awak kapalnya pun menggunakan tembikar untuk makan sehari-hari. Cara makan seperti itu kemudian kami adopsi dalam perjalanan di laut sampai tiba di Australia. “Sekarang kita melepasnya untuk memperkuat kembali budaya maritim dan persahabatan dengan masyarakat Australia,” kata Safri.
Perahu padewakang Nur Al Marege dengan bendera Kerajaan Gowa Tallo, di Laut Flores, Desember 2019./Tempo/Muhammad Ridwan Alimuddin
Masa pelayaran kami dengan padewakang berlangsung lebih dari 50 hari, tapi hanya 20 hari di laut. Sisanya adalah total masa berlabuh. Dari Makassar kami menuju ke Galesong (Bulukumba), lalu Tana Beru, Pamatata, Pulau Kalao, Pulau Madu, Larantuka, Wai Wuring, Wai Lolong, Baranusa, Mali (Pulau Alor), Ilwaki (Pulau Wetar), Pulau Masela, Saumlaki, hingga akhirnya berlabuh di Darwin, Australia, pada 24 Januari lalu.
•••
SEJUMLAH literatur menyebut padewakang sebagai cikal-bakal perahu pinisi. Namun, walau tak setenar sang adik, padewakang dianggap lebih hebat karena masa gunanya merentang hampir satu milenium. Hal ini bisa kita tilik di Candi Borobudur, Jawa Tengah. Di dinding candi abad ke-8 itu, terdapat relief perahu yang bentuknya sangat mirip padewakang. Sayangnya, memang, belum ada literatur yang menjelaskan asal-muasal perahu di dinding Candi Borobudur. Bukti tertulis menyatakan padewakang sudah dipakai pada abad ke-16. Sedangkan pinisi dibuat pada abad ke-19 dan mulai punah pada abad yang sama.
Padewakang yang kami gunakan dalam ekspedisi ini dibuat selama Juni-November 2019. Seperti aslinya, perahu kami, yang berukuran 14,5 x 4,2 x 2 meter, tidak dibekali mesin. Konstruksi dan alat penggeraknya didesain seperti 250 tahun lalu. Layarnya menggunakan bahan organik dari serat daun gebang. Bahan layar ditenun di Sulawesi Barat dan dijahit pelaut-pelaut Mandar yang didatangkan khusus ke Tana Beru. “Dulu, saat membuat perahu padewakang Hati Marege, kami juga memesan layar ke Mandar,” tutur Jafar, panrita lopi di Tana Beru, tentang layar yang dipakainya.
Layar utama perahu padewakang Nur Al Marege robek ketika berlayar di Laut Flores, 1 Januari 2020./Tempo/Muhammad Ridwan Alimuddin
Layar padewakang menggunakan jenis tanjaq, berbentuk segi empat. Jenis layar ini amat kuno, sama dengan yang dipahat di relief Candi Borobudur. Pelaut yang bisa mengendalikan jenis layar ini mungkin bisa dihitung jari, meski itu di Sulawesi Selatan, yang dikenal punya banyak pelaut andal. Salah satunya Sampar Daeng Nyarrang, pelaut dari Galesong, Takalar, yang pernah menggunakan layar sejenis di pattorani, perahu yang dipakai para pemburu telur ikan terbang. Konstruksi pattorani mirip padewakang, tapi ukurannya lebih kecil. Sampar Daeng Nyarrang-lah yang menjadi juru layar di perahu kami.
Ia berada di garda depan padewakang bersama Kaseng Daeng Sewang dan Umar Daeng Naba, berjibaku dengan layar berdimensi 12 x 4 meter. Perahu kami lumayan berat, setara dengan truk molen pengaduk semen. Bayangkan bila energi angin yang terkonversi ke layar untuk mendorong perahu seberat 20 ton ini menyabet tubuh. Sungguh berat dan mengerikan tugas mereka. Namun, katanya, tanjaq adalah layar perahu Nusantara yang paling elegan dan dianggap khas Austronesia. Bagian atas dan bawahnya lurus, sementara sisi kanan dan kirinya melengkung ke dalam.
Karena bentuknya yang bundar, lebar, dan pendek, padewakang Nur Al Marege sering disebut perahu bondeng alias gemuk. Walau bentuknya kurang atletis, perahu ini tergolong lumayan gesit. Saat ombak datang, dan kecepatan perahu ditambah dari 5 knot ke 6-7 knot, padewakang seperti membawa kita berseluncur. Seru, walau tetap saja bahaya seperti tengah bersembunyi dan mengintip dari ruang rahasia.
Suatu hari dalam ekspedisi ini, misalnya, saat angin kencang datang bersamaan dengan gelombang panjang. Kami sudah cemas. Layar padewakang tiba-tiba robek, menganga! Mencelos-lah hati kami melihatnya compang-camping. Perahu seketika berhenti, tapi tidak demikian goyangan air laut. Padewakang terombang-ambing ke kiri-kanan, ke depan-belakang. Dengan cepat kami berusaha menggulung layar yang robek, walau kepayahan. Namun apa daya, layar tetap harus cepat kami gulung agar bagian yang masih baik tak menangkap angin. Kalau itu terjadi, waduh, bisa celaka kami.
Fino (tengah) dan Guswan (kanan) mengikat tali layar dan penopang tiang layar, tampak Hors di bagian buritan mengemudikan perahu./Tempo/Muhammad Ridwan Alimuddin
Untung saja kami membawa layar atau kororoq cadangan. Modelnya sama, tapi bahannya sintetis sehingga lebih kuat, ringan, dan murah bila dibandingkan dengan serat gebang. Nilai satu set layar organik Rp 16 juta, sementara yang plastik hanya Rp 1 juta. Layar organik jauh lebih mahal karena pohon gebang makin langka. Proses membuat layarnya pun lebih susah dan membutuhkan waktu tiga bulan. Sedangkan layar plastik dapat dibuat dalam sepekan saja. Karena layar organik kurang awet, pelayar padewakang harus berbekal cadangan saat melaut. “Dulu memang belum ada layar sintetis, tapi pohon gebang masih banyak dijumpai,” ucap Horst Liebner.
Kami membutuhkan satu jam untuk bisa melajukan kembali padewakang setelah layar organik rusak. Prosesnya memang rumit karena tali-temalinya banyak. Walhasil, pelaut amatir seperti saya, Guswan Gunawan, dan Rofinus kerap kena damprat Liebner jika salah memposisikan tali layar. Yang kocak, karena kami sering lupa, posisi tali itu kami namai. Ada Sri Wahyuningsih, Farida, Kerstin, juga Megawati. Tali Megawati, yang kami ambil dari nama mantan Presiden RI, adalah yang kuat menahan tiang layar haluan. Tali-tali bernama perempuan tentu punya kisah sejarahnya sendiri.
Namun ada juga nama lelaki untuk tali kami, yakni Anas. Nama itu berasal dari awak padewakang yang terkuat. Sayangnya, dia mesti turun di Alor, Nusa Tenggara Timur. Alkisah, sebelum itu, perut Anas terhantam gagang dayung yang patah saat perahu kami berputar. Dokter mendiagnosis Anam terkena hernia sehingga harus dioperasi. Walau ia kemudian tak melanjutkan perjalanan, semangatnya tetap ada. Dari dua tali terkuat di padewakang, satu bernama Anas dan yang lain Samson.
Tak cukup dengan layar robek, kemudi perahu kami juga sempat patah saat di Laut Flores. Ini membuat nyali kami menciut karena ombak sedang sangat kacau. Kondisi ini dalam istilah Makassar dan Mandar disebut kala-kala. Awalnya, kemudi kiri yang patah. Setelah kami berjuang mati-matian menggantinya dengan kemudi cadangan, giliran sebelah kanan yang patah. Bencana tak berhenti di situ. Bom layar juga patah saking kencangnya sapuan angin. Drama ini baru bisa selesai bila seorang dari kami turun ke laut untuk mereparasinya. Berbekal parang, Anton Daeng Tompo menjadi sukarelawan. Ia melompat ke laut, bergulat melepaskan tali layar yang menyulitkan penarikan ke atas perahu.
Saat itu kami hendak menuju Pulau Wetar dengan perkiraan jarak tempuh sehari semalam. Setelah didera serentetan cobaan, sayangnya kami tak bisa singgah di pulau mana pun yang searah untuk beristirahat. Karena itu, kami kembali ke Alor dengan satu-satunya kemudi cadangan. Kami juga terpaksa ditarik kapal motor pendamping pelaut Mandar, yang memang mengawal padewakang dari Makassar hingga ke perbatasan Australia. Kami sepekan di Pulau Alor, mencari pohon kuat untuk dijadikan kemudi sekaligus memperbaiki layar. Di tengah kesusahan ini, saya jadi teringat kalimat sastrawan Amerika Serikat, William Arthur Ward. Kata dia, orang pesimis mengeluhkan angin, yang optimis mengharapkan angin berubah, tapi yang realis menyesuaikan layarnya.
Rombongan lumba-lumba saat memasuki Teluk Beagle di negara bagian Teritorial Utara Australia, 26 Januari lalu./Tempo/Muhammad Ridwan Alimuddin
Setelah berjibaku dengan angin kencang, kami dan padewakang mesti menginap semalam sebelum meluncur ke laut lagi. Kami akhirnya meninggalkan Pelabuhan Saumlaki dikawal kapal Angkatan Laut sampai keluar dari Teluk Saumlaki. Lega, Anton pun mengucapkan terima kasihnya lewat radio komunikasi kepada kru kapal Angkatan Laut yang membantunya. “Semoga padewakang dan krunya berhasil mengharumkan nama bangsa!” kata salah satu kru kapal, yang dikomandoi Kapten Laut Abson Nizam, memberikan jawaban.
Dan tibalah masa kami mesti memasuki rute paling berbahaya dalam ekspedisi ini, yakni dari Saumlaki ke Darwin. Ngeri-ngeri sedap karena kami akan melewati perairan lepas alias tak ada pilihan pulau untuk disinggahi dalam keadaan darurat. Kami pun memperkuat tali-temali, dan tak lupa mengamankan barang-barang yang berpotensi terlempar saat terjadi ombak besar. Peralatan komunikasi kami cek, juga perkiraan cuaca. Sebab, selain berupa lautan lepas, sebelah utara perairan Australia dikenal sering diterjang badai siklon. Parahnya, kami datang saat musimnya. “Kita harus segera berangkat agar bisa tiba di Darwin secepatnya. Kalau kita tak bergegas, bahaya juga berhadapan dengan angin kencang yang muncul empat hari lagi,” ujar Liebner.
Akhirnya, kami tiba di perbatasan Indonesia-Australia dua hari setelah berangkat dari Saumlaki. Kami pun berpisah dengan kapal pengantar KM Setia Budi 68, yang kembali berlayar sejauh 2.000 kilometer ke Majene. Tugasnya diteruskan Wai Nawana, kapal pemancing yang mendampingi kami sampai ke Darwin. “Saya harus yang memegang kemudi sampai pelabuhan Darwin,” tutur Anton kepada Liebner. Dia ngotot karena menjadikan pelayaran ini sejarah penting dalam hidupnya.
Setelah puluhan hari, tiba juga kami di Cullen Bay Marina, Darwin, 28 Januari petang. Sebelumnya, kami sempat pontang-panting dihajar ombak besar berarus kuat di Teluk Beagle saat melintasi tanjung-tanjung di barat Pulau Bathurst. Emosional, Anton pun berteriak lantang sembari mengangkat tangannya: “Alhamdulillah!” Ia lalu keluar dari ruang kemudi, memeluk erat satu per satu awak padewakang yang berlayar bersama sejauh 1.330 mil laut atau 2.400 kilometer—hampir setengah jarak Sabang-Merauke. Kami pun saling tos dan memberikan salam dalam bahasa Makassar, menyelamati kondisi yang tak kurang satu apa pun. “Salamaq, ces!”
MUHAMMAD RIDWAN ALIMUDDIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo