Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH bercat putih di Jalan Peneleh VII Nomor 29 dan 31, Surabaya, itu memiliki model paling lawas dibandingkan dengan para tetangga. Sejak 1870, arsitektur rumah tersebut tak pernah diubah. Warga sekitar mengenal tempat tinggal peninggalan Haji Oemar Said Tjokroaminoto itu sebagai rumah kos Sukarno, sang proklamator.
Rumah kos sekaligus sebuah tempat kursus politik Sukarno muda. ”Orang di sini tahu hanya Bung Karno yang pernah tinggal di rumah itu. Kalau yang lain-lain kami tidak pernah mendapat cerita dari orang-orang tua kami,” kata Mariyun, salah seorang warga asli di gang itu. Namun Bung Karno hanya satu di antara sederet nama penting penghuni rumah tersebut: Musso, Alimin, Semaoen, dan Kartosoewirjo.
Bekerja sama dengan sang istri, Suharsikin, Tjokroaminoto—ketika itu menjabat Wakil Ketua Sarekat Islam cabang Surabaya—menampung sekitar 30 pemuda Indonesia dengan biaya ringan. Sukarno bersekolah di Hogere Burger School (HBS) Regenstraat, Surabaya. HBS setingkat sekolah lanjutan tingkat menengah dengan masa pendidikan lima tahun. Sukarno mulai mondok sejak umur 14 tahun, sepanjang 1915-1920.
Musso memiliki tempat khusus di hati Sukarno. Mereka bertukar pendapat di mana saja, kapan saja. Sembari makan bersama, misalnya, Musso berbagi pikiran tentang penjajahan Belanda yang membuat, ”Kita menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa,” kata Sukarno dalam Sukarno an Autobiography karya Cindy Adams.
Saat itu, menurut Ketua Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Orde Baru, Sumaun Oetomo, 87 tahun, Musso telah menyelesaikan pendidikan di Batavia dan telah menjadi aktivis di Sarekat Islam dan ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Musso aktif dalam gerakan yang sama bersama Alimin, Semaoen, dan Darsono. Musso lebih tua empat tahun dibanding Sukarno, yang lahir pada 1901.
Berdasarkan penelusuran literatur, tak ada penjelasan berapa lama Musso tinggal di rumah Tjokroaminoto. Yang jelas, pada 1919, Musso tak menghuni rumah itu lagi. Menurut Ruth McVey dalam The Rise of Indonesian Communism, pada tahun itu Musso dan Alimin terlibat kasus Sarekat Islam Afdeling-B di Jawa Barat dan dijebloskan ke penjara. Keluar dari penjara itulah, pada 1920 Musso menjadi anggota Partai Komunis Indonesia—penerus warisan ISDV.
Berpisah selama hampir tiga dasawarsa, Sukarno dan Musso bertemu lagi pada 13 Agustus 1948 pukul 10 pagi di Istana Negara. Musso menyamar sebagai Soeparto, sekretaris Soeripno—dubes RI untuk Cekoslovakia di masa Amir Sjarifoeddin. Dalam bukunya Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Soe Hok Gie melukiskan betapa mengharukan pertemuan itu. ”Bung Karno memeluk Musso dan Musso memeluk Sukarno. Kegembiraan ketika itu rupanya tidak dapat mereka keluarkan dengan kata-kata. Hanya pandangan mata dan roman muka mereka menggambarkan kegembiraan itu,” demikian kesaksian Soepeno, pemimpin redaksi surat kabar Revolusioner, yang hadir dalam pertemuan itu, seperti dikutip Soe Hok Gie.
Dengan bangga Bung Karno bercerita kepada Soeripno tentang masa lalunya dengan Musso. ”Musso ini dari dulu memang jago. Ia yang paling suka berkelahi. Ia jago pencak,” kata Sukarno. Sukarno juga bercerita tentang hobi Musso bermain musik dan bila berpidato akan menyingsingkan lengan baju.
Sukarno pun menyindir soal perkembangan politik komunis internasional. Pengetahuan Sukarno tentang komunis sempat membuat Muso ternganga. Bung Karno menjawab keheranan Musso dengan pengakuannya, ”Saya ini kan masih tetap muridnya Marx, Pak Tjokroaminoto, dan Pak Musso!”
Sukarno menunjukkan kekiriannya dengan memperlihatkan buku karangannya, Sarinah. Dalam buku itu, Sukarno mengutip ucapan-ucapan Lenin dan Stalin. Buku itu diberikan kepada Musso sebagai tanda mata.
Tiga puluh tujuh hari setelah pertemuan itu, pecah Peristiwa Madiun. Keduanya saling memaki. Meski begitu, rasa hormat Sukarno kepada Musso sebagai guru tak luntur. Dalam wawancara dengan Cindy Adams, Sukarno berkata, ”Ajaran Jawa mengatakan, seseorang yang menjadi guru kita harus dihormati lebih dari orang tua.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo