Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pengkhianatan di Singapura

Musso mengebiri penolakan Tan Malaka atas rencana pemberontakan 1926. Stalin marah dan tak setuju.

7 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENYAMAR sebagai matros, Musso tiba di Singapura pada awal 1926. Tak ada petugas yang mengenali tokoh penting Partai Komunis Indonesia itu. Rute pelayaran Sumatera-Singapura-Malaka yang amat ramai, dan keahlian Musso memalsukan dokumen, memudahkan pria kelahiran Desa Jagung, Kecamatan Pagu, Kediri, Jawa Timur, pada 1897, itu menyusup masuk.

Musso dan Alimin sebetulnya pernah ditahan di Singapura, tapi kemudian dilepaskan. ”Pemerintah Singapura hanya memperhatikan orang yang masuk ke Malaka dengan cara ilegal,” kata sejarawan Harry Poeze kepada Tempo di Yogyakarta pekan lalu.

Musso, Budisutjitro, dan Sugono ketika itu sedang menjadi buron pemerintah kolonial Belanda. Di Singapura, ketiga buron ini bertemu dengan Alimin dan Subakat, anggota PKI yang juga sedang diburu polisi Belanda.

Mereka mematangkan rencana pemberontakan yang dijadwalkan pada medio 1926. Rapat itu kelanjutan pertemuan rahasia di Prambanan, Jawa Tengah, Desember 1925. Pada rapat kilat itu, para pemimpin PKI di bawah Sardjono memutuskan akan melakukan pemogokan yang diikuti pemberontakan bersenjata.

Gerakan akan dimulai di Padang, Sumatera Barat—cabang PKI paling kuat. Ruth T. McVey dalam The Rise of Indonesian Communism mencatat mereka mendirikan organisasi rahasia bernama ”Organisasi Diktatorial” untuk memimpin partai, dan ”Organisasi Kembar” untuk mempersiapkan pemberontakan. Sugono, Ketua Serikat Buruh Kereta Api (VSTP), diam-diam meragukan rencana pemberontakan itu. Dia tahu ikatan buruh masih lemah sehingga tak mungkin melakukan pemogokan umum.

Ketika Musso dan kawan-kawan tiba di Singapura, Tan Malaka justru telah meninggalkan negeri bandar itu, dan tinggal di Manila, Filipina. Musso mengutus Alimin untuk menemui Tan Malaka—yang menjadi wakil Komunis Internasional di Asia Tenggara.

Dalam buku Pergulatan Menuju Republik: Tan Malaka, Harry Poeze menduga pemimpin komunis berwibawa yang sedang menderita penyakit tuberkulosis ini tengah mencari perlindungan dari kawan-kawannya di Filipina. Di sana, Tan sudah mengetahui rencana pemberontakan melalui surat pengurus PKI tertanggal 16 Desember 1925.

Dalam surat itu, pengurus PKI meminta Tan Malaka menjadi perantara untuk meminta dukungan Moskow. Membaca surat itu, Tan terkejut. Ia termasuk orang yang taktis dan selalu berhati-hati. Pada 4 Januari 1926, ia mengirim surat balasan yang menolak rencana pemberontakan itu.

Soe Hok Gie, dalam buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, menyatakan lima faktor yang menyebabkan Tan Malaka menentang putusan Prambanan. Antara lain: belum ada situasi revolusioner, tingkat disiplin PKI masih rendah, seluruh rakyat belum berada di bawah PKI, belum ada tuntutan yang konkret, dan imperialisme internasional sedang bersekutu melawan komunisme.

Mulanya, Budisutjitro dan Subakat juga akan menemui Tan Malaka di Manila. Tapi, begitu membaca surat balasan Tan, mereka mengurungkan niat. Mereka memutuskan menunggu kedatangan Tan dan Alimin ke Singapura untuk sebuah konferensi. Musso geram abis membaca surat penolakan itu. Dari sinilah berawal perseteruan Musso dan Tan Malaka.

”Menurut Tan Malaka, rencana aksi tidak matang,” kata Poeze. ”Musso dan Alimin punya pikiran pendek.” Perbandingan kekuatan kolonial dan PKI juga sangat tidak seimbang. Lantaran kurang sehat, Tan Malaka tak datang ke Singapura. Alimin kembali pulang sendirian. Harry Poeze menyatakan Tan Malaka hanya menitipkan risalah penolakan keputusan Prambanan. Dia menilai keputusan itu tanpa pertimbangan matang, dan beberapa pemimpin PKI tidak mempunyai wewenang mengorganisasi pemberontakan tanpa persetujuan Moskow.

Di bangsal kebun pepaya milik Ki Masduki di Geylang Serai, pinggiran Singapura, Alimin menemui para pemimpin PKI yang sedang buron itu: Sardjono, Budisutjitro, Sugono, Winanta, Musso, Subakat, dan Agam Putih, yang menanti dengan tak sabar. Namun, dalam rapat itu, Alimin tak menyampaikan lengkap alasan penolakan Tan Malaka.

Poeze menduga Alimin sengaja menutupi sikap Tan, agar rencana pemberontakan tetap berjalan, dan ia bisa dikirim ke Moskow sebagai utusan PKI. Dalam buku Sedjarah PKI, Djamaluddin Tamim menulis, ketika di Manila, tiga kali Alimin bertanya kepada Tan Malaka kapan ia dikirim ke Moskow.

”Risalah itu tidak pernah dibicarakan dan tidak pernah dibacakan oleh Alimin,” kata Poeze. ”Ia hanya bilang Tan Malaka setuju, padahal tidak.” Sebaliknya, Alimin melapor kepada Tan Malaka bahwa risalah sudah disampaikan, tapi ditolak pemimpin PKI yang lain.

Pada medio Maret 1926, Musso dan Alimin berangkat ke Moskow, dengan lebih dulu singgah ke Kanton, Cina. Mereka pergi tanpa sepengetahuan Tan Malaka. Tak pernah ada pertemuan antara Musso dan Tan Malaka.

Lantaran tak mendapat kabar apa-apa dari Singapura, Tan Malaka mengirim laporan tentang keputusan Prambanan dan pendapatnya atas rencana pemberontakan itu kepada Komintern. Surat Alimin baru tiba dua bulan kemudian, yang menyatakan konferensi di Singapura batal serta memberitahukan rencana kepergiannya ke Moskow.

Membaca surat itu, ”Tan Malaka merasa Alimin menipunya,” kata Poeze.

Setelah itu, Tan Malaka bergegas ke Singapura untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Setiba di sana, pada Juni 1926, Tan hanya bertemu dengan Subakat dan Agam Putih. Alimin dan Musso sudah berangkat ke Moskow, dan pemimpin lainnya balik ke Indonesia. ”Dia mendapat informasi risalah itu tidak pernah dibicarakan oleh Alimin,” kata Poeze. Tan Malaka merasa dikhianati oleh Alimin dan Musso.

Kepada Subakat, Tan Malaka menyampaikan alasan penolakannya. Pada medio Juni, Subakat menulis surat kepada para pemimpin PKI agar mau bertemu dengan Tan Malaka di Singapura. Suprodjo, sebagai Ketua PKI, langsung datang ke Singapura. Tan Malaka, Subakat, dan Suprodjo sepakat membatalkan keputusan Prambanan.

Pada awal Juli, Suprodjo membawa hasil kesepakatan itu ke Indonesia. Namun sejumlah pemimpin PKI berniat tetap meneruskan pemberontakan, meski hanya empat cabang yang ikut, yaitu Batavia, Banten, Priangan, dan Sumatera Barat. Pemberontakan seharusnya dilaksanakan pada Mei-Juni, tapi mundur dari jadwal.

Budisutjitro dan Tamim ingin aksi tetap berlanjut, tapi ragu-ragu karena tidak semua cabang PKI siap. Tamim berangkat ke Singapura pada akhir Juni 1926 menemui Subakat dan mencari Alimin-Musso. Secara tak terduga dia malah bertemu dengan Tan Malaka. Awalnya, Tamin sangat yakin akan rencana pemberontakan, tapi akhirnya mengalah juga oleh argumen Tan Malaka.

Di Moskow, Musso menjegal Tan Malaka. ”Ini sejarah yang pedih dan peran Musso tidak begitu baik,” kata Poeze. ”Ini pengkhianatan kawan separtai.” Kelompok Tan Malaka melakukan berbagai upaya untuk mencegah rencana pemberontakan. Di Jawa, para pemimpin PKI yang nekat meneruskan keputusan Prambanan pun mulai melihat tanda-tanda amburadulnya organisasi cabang dan sulitnya menggalang dana.

Pemberontakan tetap meletus pada 12 November 1926 di Jawa Barat, seperti Batavia dan Banten, lalu pada Januari 1927 di Silungkang, Sumatera Barat. Belanda dengan cepat bisa menguasai keadaan. Hanya dalam beberapa pekan, keamanan pulih. Orang-orang komunis ditangkapi, dan tiga tokoh pemberontakan di Jawa Barat—Egom, Hasan, dan Dirdja—dihukum gantung.

Tan Malaka dan pendukungnya hanya bisa menyaksikan tragedi itu tanpa daya. Alimin dan Musso tak diketahui rimbanya. Mereka baru kembali ke Singapura pada pengujung 1926. Keduanya memang telah berpesan kepada para pemimpin PKI: disetujui atau tidak oleh Moskow, pemberontakan harus tetap berjalan.

Bung Hatta, dalam memoarnya yang diterbitkan oleh Tintamas, menulis: ”Alimin dan Musso pergi ke Moskow mencari persetujuan. Tapi mendengar laporan itu, Stalin marah dan tak setuju, serta meminta pembatalan rencana pemberontakan.” Hatta mendengar cerita itu dari Semaoen, yang singgah di Den Haag setelah mengunjungi Moskow.

Soe Hok Gie menulis, akibat pemberontakan PKI 1926, tak hanya PKI yang dibubarkan. Pecahnya PKI mempengaruhi mundurnya gerakan kaum kiri di Indonesia. Poeze menambahkan, ”Kalau ada gerakan kiri yang bersatu, Indonesia yang sosialis akan lebih besar waktu revolusi.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus