Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asvi Warman Adam
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
DALAM alam sejarah yang diajarkan semasa Orde Baru, Peristiwa Madiun 19 September 1948 merupakan pemberontakan PKI yang disertai dengan pembantaian terhadap para kiai. Namun kini dipertanyakan apakah peristiwa itu merupakan pemberontakan yang bersifat nasional atau hanya perlawanan lokal (apakah coup d’etat atau coup de ville). Tentang pembunuhan terhadap pemuka Islam, hal serupa terjadi pada orang-orang kiri yang dituduh terlibat seperti disaksikan dengan mata kepala sendiri oleh Roeslan Abdulgani (Casper Schuuring, Roeslan Abdulgani Tokoh Segala Zaman, 2002).
”Di sebuah gedung sekolah ditawan 43 orang komunis dan diputuskan siapa di antara mereka akan dihukum mati. Seorang letnan memohon kesediaan saya untuk hadir dalam pelaksanaan tembak mati tersebut. Dari jumlah 43 itu, lima belas orang dihukum mati dan lima di antaranya benar-benar ditembak di depan liang kubur yang sudah tersedia…. Ketika malam harinya kembali ke Madiun, saya menangis. Saya tidak pernah menangis begitu keras.” Hal yang sama menimpa Amir Sjarifoeddin dan sepuluh pemimpin teras kelompok komunis pada 19 Desember 1948 tengah malam di Desa Ngaliyan, Solo.
Pada era reformasi telah terbit berbagai buku tandingan yang memberikan penjelasan dan interpretasi berbeda mengenai Peristiwa Madiun 1948. Namun, dalam orasi atau buku-buku yang ditulis oleh kelompok kiri, Hatta selalu dijadikan target serangan. Aidit menuduh Hatta telah melakukan provokasi. Ini dikaitkan dengan ”red drive proposal” berupa konsep untuk membasmi komunisme yang dikemukakan dalam pertemuan di Sarangan, Jawa Timur. Namun apakah betul ada ”Pertemuan Sarangan” itu dan sesungguhnya apa isi pertemuan tersebut? Dalam hal ini satu-satunya yang sering dirujuk adalah buku Boroboedoer, sebuah kisah perjalanan yang ditulis oleh Roger Vailland. Ia lebih dikenal sebagai novelis Prancis ketimbang sebagai sejarawan. Jadi buku itu diragukan kesahihannya.
Dalam Harian Rakjat, 14 September 1953, dimuat pernyataan Politbiro CC PKI tentang Peristiwa Madiun 1948. D.N. Aidit kemudian diajukan ke pengadilan dengan tuduhan menghina dan menyerang kehormatan Wakil Presiden Republik Indonesia M. Hatta. Dalam pernyataan tersebut terdapat kata-kata ”provokasi”, ”keganasan”, ”berlumuran darah”, dan seterusnya. Aidit menjelaskan bahwa provokasi itu berawal dari pembunuhan terhadap Kolonel Sutarto, Komandan Divisi IV TNI, Juli 1948, yang dianggap sebagai orang yang menolak rasionalisasi tentara yang digariskan Hatta. Selanjutnya penculikan terhadap dua orang anggota PKI, 1 September 1948, yang dilakukan aparat pemerintah. Pada 7 September 1948, terjadi penculikan terhadap lima perwira TNI yang beraliran kiri. Semua peristiwa inilah yang menyebabkan terjadi konflik antara tentara Siliwangi dan Panembahan Senopati di Surakarta. Ketegangan ini menjalar ke Madiun dengan dilucutinya pasukan Siliwangi oleh Brigade 29 pada 18 September 1948.
Pada 19 September 1948, Hatta dengan segera meminta Badan Pekerja KNIP mengesahkan Undang-Undang tentang Pemberian Kekuasaan Penuh kepada Presiden dalam Keadaan Bahaya selama tiga bulan (saja). Undang-undang yang disahkan pada 20 September 1948 itu—hanya terdiri atas satu pasal—memberikan kekuasaan penuh (plein pouvoir) kepada presiden. Maka dalam tempo dua minggu dilakukan penumpasan terhadap gerakan yang dianggap melawan pemerintah tersebut. Sementara itu, di pihak lain, Belanda, yang memperkirakan tentara Indonesia sudah sangat lemah, setelah bersusah payah mengatasi krisis Madiun, memutuskan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948 untuk menghancurkan Republik Indonesia.
Tuduhan bahwa Hatta menyebabkan provokasi karena program rasionalisasi yang dijalankannya tentu perlu diklarifikasi ulang. Pada saat itu terdapat sedikit persenjataan dan lebih dari 400 ribu tentara yang terdiri atas tentara reguler dan laskar yang hendak diciutkan menjadi 60 ribu orang. Tentu dengan tujuan agar lebih efektif, patokan Hatta adalah satu senjata untuk empat prajurit. Hatta menyadari bahwa kebijakan itu menimbulkan dampak psikologis karena bisa menimbulkan kesan ”habis manis sepah dibuang”, lalu kedua, siapa yang dikeluarkan dan siapa yang dipertahankan tentu menjadi isu sentral yang terkait pula dengan kepentingan partai politik yang menggarap tentara.
Ir Setiadi Reksoprodjo (yang baru meninggal beberapa bulan lalu pada usia 89 tahun), Menteri Penerangan dalam kabinet Amir Sjarifoeddin pada 1947, memberikan kesaksian 13 halaman tulisan tangan kepada saya, menjelaskan jasa Amir dalam mengefektifkan angkatan bersenjata Indonesia. Sejak November 1945 sampai Januari 1948, Amir berturut-turut menjadi Menteri Keamanan Rakyat/Menteri Pertahanan. Pada awal kemerdekaan, unsur tentara terdiri atas berbagai kelompok terlatih (eks didikan Belanda/Jepang) dan laskar. Dalam masa transisi, menurut Amir, diperlukan Tentara Masyarakat.
Amir juga berpendapat RI hanya bisa bersandar pada perjuangan kekuatan rakyat, bukan pada tentara konvensional. Tentara RI haruslah tentara rakyat, tidak boleh bersifat elitis, karena bila terpisah dari rakyat, mereka tidak berdaya apa-apa. Kelaskaran memiliki tradisi akrab dengan rakyat, tapi memang kedisiplinannya dalam berorganisasi harus ditingkatkan. Ini berbeda dengan tentara didikan Belanda dan Jepang, yang umumnya kurang mengerti perlunya keterlibatan rakyat. Untuk itu, Amir mendirikan badan pendidikan politik tentara untuk menjembatani perbedaan antara kelaskaran dan tentara reguler. Skema itu sudah mulai dijalankan, tapi belum berlangsung lama karena agresi Belanda. Bahkan kemudian Amir digantikan Hatta sebagai perdana menteri.
Perbedaan antara pandangan Hatta dan Amir Sjarifoeddin mengenai pengelolaan tentara tinggal perdebatan sejarah. Yang jelas, telah terjadi ketegangan dan konflik sesama kelompok tentara di samping persaingan keras partai politik. Tapi apakah program rasionalisasi tentara (yang disebut Re-Ra oleh Nasution) yang dilakukan Hatta yang menjadi penyebab Peristiwa Madiun masih perlu dikaji lebih lanjut. Jadi tudingan ”provokasi Hatta” itu lebih bersifat tendensius. Menjadi pertanyaan pula kenapa Hatta yang dituduh, dan bukan Sukarno. Ketika Aidit berpidato ”Menggugat Peristiwa Madiun” di DPR, 11 Februari 1957, Hatta sudah mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Tentara yang dipimpin Jenderal Nasution sudah merapat kepada Presiden Sukarno dan hubungan ini kian mesra pada saat dan setelah meletus PRRI/Permesta. Maka, mulai 1960-an, kekuasaan terpusat pada aktor segitiga: Sukarno di atas dan PKI-Tentara di sudut kiri-kanan bawah. Hatta, yang sudah kehilangan kekuasaan, dengan mudah dijadikan kambing hitam.
Warisan Kebencian
Anthony Reid (Revolusi Nasional Indonesia, 1996) mengatakan bahwa respons pemerintah terhadap Peristiwa Madiun tidak sulit dimengerti. Negosiasi seperti yang diusulkan Sudirman mungkin dapat menyelamatkan banyak nyawa, tapi dengan ongkos keberhasilan propaganda Belanda bahwa Republik Indonesia tidak berdaya terhadap komunis dan kepastian dukungan Amerika Serikat bagi Belanda untuk melakukan intervensi. Sukarno-Hatta memilih bertindak tegas terhadap kelompok oposisi kiri tersebut.
Masih menurut Reid, Peristiwa Madiun penting tidak hanya karena jumlah korban yang besar (konon, 8.000 orang PKI dibunuh oleh TNI menurut tuduhan pihak Belanda di Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan sebaliknya banyak pula orang dari kalangan pemuka Islam yang tewas), tapi juga karena warisan kebencian yang ditinggalkan antara kelompok kanan (santri) dan kiri (abangan). Bagi Sukarno-Hatta, Peristiwa Madiun secara gamblang merupakan pemutusan gagasan revolusi nasional dengan revolusi sosial. Pada 1945, keduanya seakan tak terpisahkan. Namun, setelah Peristiwa Madiun 1948, revolusi sosial itu tertunda sementara waktu. Walaupun arah revolusi belum tuntas ditentukan, ia telah dibanting ke kanan.
Menurut Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (1997), perdebatan apakah peristiwa Madiun merupakan pemberontakan (versi resmi) atau provokasi pemerintah Hatta (versi kiri) tidak menjawab persoalan mendasar. Yang terjadi sebetulnya adalah ketegangan di tengah masyarakat (di Jawa) dalam revolusi nasional karena harapan-harapan yang tidak terpenuhi dan kesulitan ekonomi yang membawa frustrasi. Ini memunculkan radikalisme yang terus meningkat ibarat perlombaan mobil di lereng gunung yang makin lama makin menyempit. Suatu saat roda yang berputar itu bersinggungan, bergesekan, dan bertubrukan, maka timbul percikan api yang membakar. Masalah ini akan lebih jelas bila dilacak secara multidisiplin, yaitu dari aspek sosial-politik (perubahan masyarakat setelah 1942), ekonomi (kehancuran dan perkembangan ekonomi setelah perang), dan budaya (pertentangan Islam-nasionalis, Sunda versus Jawa, melalui konflik Divisi Siliwangi-Panembahan Senopati).
Dendam itu dilanjutkan dengan fatwa Masyumi, Desember 1954, yang menyatakan bahwa komunisme itu identik dengan ateisme. Sebelumnya, M. Isa Anshary telah membentuk Front Anti Komunisme di Jawa Barat. Keluarnya fatwa ini bisa dilihat dalam konteks persaingan antara Masyumi dan PKI dalam menghadapi Pemilu 1955. Benih kebencian itu perlu dihilangkan dengan mengkaji sejarah secara jernih. Buku pelajaran sejarah perlu ditulis secara cerdas dengan perspektif baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo