Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Proklamasi Dini di Madiun

Musso melantik gubernur militer. PKI menolak tudingan melakukan pemberontakan.

7 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”Madiun sudah bangkit
Revolusi sudah dikobarkan
Kaum buruh sudah melucuti polisi dan tentara Republik
Pemerintahan buruh dan tani yang baru sudah dibentuk”

MELALUI Radio Gelora Pemuda dan Radio Republik Indonesia, pidato Ketua Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia Soemarsono memecah keheningan pagi di Kota Madiun, Jawa Timur, pada 18 September 1948. Suasana mencekam merasuk hingga ke sudut-sudut kota. Pasukan Soemarsono menguasai semua gedung vital dan kantor pemerintahan. Mereka melucuti tentara dan polisi.

Soemarsono menyatakan gerakan itu upaya membela diri. Maraknya penculikan terhadap tokoh Partai Komunis Indonesia di Yogyakarta dan Solo telah menjalar ke Madiun. ”Apalagi ketika itu berkeliaran pasukan gelap dengan lencana tengkorak,” katanya dalam perbincangan dengan Tempo, Oktober lalu.

Dua hari sebelum peristiwa itu, Soemarsono bertemu dengan Musso dan Amir Sjarifoeddin di Kediri untuk melaporkan kondisi Madiun yang semakin genting. Mendapat laporan itu, Musso dan Amir kompak menjawab, ”Bertindak! Lucuti saja pasukan yang menculik itu.”

Menjelang siang, Madiun bergerak pulih. Seluruh kota telah berada dalam penguasaan pemuda PKI. Keadaan ini, kata Soemarsono, harus dilaporkan ke pemerintah pusat di Yogyakarta. Namun tak satu pun pejabat Madiun yang berani melaporkan. Terjadi perdebatan sengit di antara petinggi militer PKI. ”Semua saling lempar,” kata Soemarsono. Samadikun, penguasa sipil tertinggi di Madiun, sedang ke luar kota dan wakilnya, Sidarto, terbaring sakit.

Komandan Teritorial Madiun Letnan Kolonel Sumantri juga menolak. Dia malah meminta Soemarsono yang mengirimkan laporan ke Yogyakarta. ”Saya bukan orang pemerintah,” Soemarsono menolak. Akhirnya diputuskan meminta Wali Kota Madiun, Purbo, mengirimkan laporan kepada Perdana Menteri Mohammad Hatta. Namun Purbo juga sedang terbaring sakit.

Lalu muncullah Supardi, wakil wali kota yang baru saja diangkat. Dia mengatakan sanggup mengirimkan laporan itu. ”Asalkan dengan persetujuan komandan teritorial,” katanya, seperti diceritakan Soemarsono. Semua sepakat, termasuk para bupati yang telah menyatakan mendukung PKI.

Hari itu juga Supardi mengirim telegram ke Yogyakarta, menjelaskan pelucutan senjata batalion Siliwangi dan Mobrig oleh Brigade 29. Supardi juga menyampaikan keadaan Madiun aman terkendali. ”Berhubung kepergian kepala daerah, untuk sementara pimpinan pemerintahan daerah kami pegang. Minta instruksi lebih lanjut.” Demikian laporan Supardi, yang menyebut dirinya wakil Pemerintahan Republik Indonesia Daerah Madiun.

Hingga menjelang petang, tak ada balasan dari Yogya. Esoknya, menjelang malam, ”jawaban” itu akhirnya datang juga. Tidak lewat telegram, tapi melalui gelombang Radio Republik Indonesia di Yogyakarta. Dengan berapi-api Presiden Sukarno menyampaikan pidato menanggapi peristiwa di Madiun.

Sukarno mengatakan telah terjadi upaya kup oleh PKI di Madiun. Dia memberikan dua pilihan kepada rakyat: ikut Musso dengan PKI atau ikut Sukarno-Hatta. ”Negara kita mau dihancurkan. Mari basmi bersama pengacau-pengacau itu,” Sukarno berseru.

Hanya berselang tiga jam, melalui Radio Gelora Pemuda, Musso membalas pidato Sukarno. Musso menyatakan Sukarno-Hatta hendak menjual Indonesia kepada imperialis Amerika. ”Oleh karena itu, rakyat Madiun dan juga daerah-daerah lain akan melepaskan diri dari budak-budak imperialis itu,” katanya.

Musso bersama petinggi Front Demokrasi Rakyat mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah Madiun. Para pejabat pemerintah, dari bupati sampai lurah yang propemerintah, digantikan kader PKI.

Musso kemudian melantik Soemarsono sebagai gubernur militer dan Kolonel Djoko Soedjono menjadi komandan pasukan PKI. Alasannya, pemerintahan baru ini dibentuk untuk melawan kekuatan militer. Adapun Supardi, karena dinilai berani melapor ke pemerintah pusat, diangkat menjadi residen.

l l l

FRONT Nasional Daerah Madiun menguasai lima kabupaten: Magetan, Madiun, Ponorogo, Ngawi, dan Pacitan. Hari itu bupati diganti dengan kader PKI. Wilayahnya semakin luas dengan bergabungnya Wonogiri dan Sukoharjo.

Hatta mengecam tindakan Musso. Dalam pidatonya di depan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat pada 20 September 1949, dia mengatakan gerakan PKI itu sebagai upaya merobohkan pemerintahan Republik Indonesia dengan kudeta. ”Kemudian mendirikan pemerintahan Soviet,” katanya. Sejarawan Harry A. Poeze memberikan penilaian yang sama. ”Itu upaya mereka menjadikan Musso sebagai presiden,” katanya.

Bertahun-tahun kemudian, para tokoh PKI berkukuh menolak dituding melakukan pemberontakan di Madiun. ”Alangkah mencari-carinya orang yang menuduh PKI merobohkan Republik Indonesia,” kata D.N. Aidit dalam pembelaannya berjudul Menggugat Peristiwa Madiun, yang dibacakan di Sidang Dewan Perwakilan Rakyat, 11 Februari 1957.

Bantahan serupa datang dari Soemarsono. Menurut dia, kalau memberontak, PKI pasti sudah melakukan penyerangan. ”Ini tidak,” katanya.

l l l

SITUASI Madiun-Yogyakarta terus memanas. Pada akhir September 1948, lewat Radio Gelora Pemuda, PKI membantah tudingan Hatta. Lewat Supardi, PKI meminta upaya perdamaian dengan pemerintah Sukarno-Hatta. ”Karena pemerintahan lokal di Madiun merupakan bagian dari Republik Indonesia,” kata Supardi, seperti dikutip dalam buku Himawan Soetanto yang berjudul Rebut Kembali Madiun.

Abdoel Moetholib, yang belakangan menggantikan Supardi, melakukan langkah yang sama. Dia mengumumkan daerah-daerah yang sebelumnya diduduki PKI telah kembali dilepaskan. Agar lebih meyakinkan, Moetholib melakukan penggantian bupati di Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo, dan Pacitan.

Upaya itu sia-sia. Sukarno telanjur menunjuk Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk mengambil langkah tegas guna merebut kembali Madiun. Sepuluh batalion tentara pemerintah menyerbu Madiun.

Kota yang dikelilingi pegunungan itu dikepung dari berbagai penjuru. Petinggi PKI terdesak. Pada 28 September, Musso, Amir Sjarifoeddin, dan Soemarsono hengkang meninggalkan Madiun. ”Kami terjepit,” kata Soemarsono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus