Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Haidar Bagir
"MESKIPUN sains bisa membawa kita ke arah yang berlawanan, kemungkinan amat besar orang akan terus berdoa sampai akhir dunia, kecuali jika tabiat mental mereka berubah ke arah yang tak bisa kita ketahui sekarang. Dorongan untuk berdoa adalah suatu konsekuensi niscaya dari fakta bahwa, meskipun lubuk paling dalam dari diri-diri empiris manusia adalah berupa diri yang bersifat sosial, ia hanya dapat menemukan Socious (kawan agung)-nya yang memuaskan hati di suatu dunia ideal. Demikian psikolog dan filsuf Amerika Serikat, William James, meramalkan kehidupan manusia dalam bukunya tentang pengalaman religius yang kini telah menjadi klasik, Varieties of Religious Experience.
Mungkin cuma sebuah kebetulan bahwa buku tersebut terbit pada 1904, hanya empat tahun sebelum didirikannya Boedi Oetomo, yang diyakini sebagai momentum awal kebangkitan nasional Indonesia.
Kenyataannya, seabad lebih dari itu, tabiat mental manusia tetap tidak berubah—meski sains telah menjadi jauh lebih digdaya dalam semua bidang kehidupan mereka, dan meskipun ia seharusnya makin menggoyahkan keimanan manusia kepada religiusitas yang ”tidak saintifik”. Tidak seperti James, sosiolog sekaliber Peter Berger pun harus mengoreksi pandangannya tentang agama. Setelah melihat prospek agama akan meredup, dia pun beberapa tahun lalu menerbitkan buku suntingannya yang berjudul The Desecularisation of the World. Hampir di seluruh dunia, agama dan spiritualitas dinyatakannya menunjukkan gejala kebangkitan kembali.
Paradoksnya, justru kemakmuran ekonomi—yang diciptakan antara lain oleh sains dan teknologi modern—telah menyadarkan orang betapa kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ternyata tak terletak di situ. Justru ketidakpuasan dan kegelisahan, yang tadinya tersamarkan oleh kenyataan bahwa mereka belum makmur, menjadi terekspos setelah kemakmuran yang dimimpikan itu tercapai.
Bukan hanya Berger, berbagai survei dan penelitian memperkuat kesimpulan ke arah ini. Sebagai contoh, majalah Time beberapa waktu lalu malah secara terus terang mengontraskan temuannya tentang kegairahan baru yang mencolok di kalangan warga Amerika Serikat kepada agama dengan apa yang ditulis oleh majalah yang sama pada 1960-an. Time sendiri menunjukkan bahwa ramalannya tentang prospek buram agama ternyata sama sekali salah.
Bagaimana dengan masyarakat Indonesia? Saya yakin bahwa kita di Indonesia sama sekali tak terbebas dari gejala kebangkitan agama—dalam hal ini Islam—dan kegairahan baru terhadapnya. Mungkin kita hanya tertinggal 1-2 dekade dari Amerika Serikat dan Eropa. Dan tampaknya ketertinggalan itu juga akibat ketertinggalan di bidang yang mendorong kegairahan baru kepada agama dan spiritualitas di wilayah-wilayah tersebut—yakni kemakmuran ekonomi. Hingga lahirlah kelompok yang oleh Nurcholish Madjid disebut sebagai kelas menengah baru muslim. Kelompok yang mulai muncul secara menonjol pada pertengahan 1970-an ini adalah generasi pertama anak-anak kaum santri yang telah mengecap pendidikan modern.
Fenomena inilah, di antara beberapa sebab lain, yang merupakan faktor pendorong lahirnya Penerbit Pustaka Salman—sebagai kelanjutan penerbitan majalah bulanan Salman, yang sempat disebut-sebut sebagai Prisma-nya Islam. Saya berani menyebut penerbit yang lahir di lingkungan Masjid Salman Institut Teknologi Bandung—masjid yang mengalami langsung gejala lahirnya kelas menengah baru muslim—ini sebagai penerbit Islam pertama yang memperkenalkan buku-buku dengan pilihan tema, bahan, dan gaya penyajian modern. Yakni buku-buku yang telah berhasil keluar dari sekadar persoalan fikih dan pembahasan tradisional-tekstual lainnya menuju suatu dialog dengan kemodernan dan pemikiran-pemikiran inovatif-rasional, termasuk yang berasal dari sumber-sumber non-Islam (Barat).
Sebelum masa itu, hanya ada segelintir penerbit yang menerbitkan, lebih segelintir lagi, buku Islam seperti itu—yang belum sepenuhnya memenuhi semua syarat untuk disebut penerbit modern. Bulan Bintang dan Tintamas mungkin dapat disebut sebagai penerbit yang paling menonjol. Masa-masa di antara awal abad ke-20—yakni masa-masa kebangkitan nasional itu—dan paruh pertama abad ke-20 hanya menyaksikan amat sedikit karya seperti ini lahir dari pikiran segelintir elite muslim. Mereka umumnya tokoh yang sempat mengecap pendidikan modern, seperti Haji Agus Salim, Mohammad Roem, Syafruddin Prawiranegara, Soekarno, dan Hatta. Juga H.O.S. Cokroaminoto dan Mohammad Natsir. Tak pernah negeri ini, hingga sebelum 1970-an itu, menyaksikan munculnya—dan kemudian bermunculannya—penerbit Islam dengan sifat-sifat seperti ini, yang secara produktif mengisi pasar bebas pemikiran di negeri kita.
Sayangnya, Penerbit Pustaka Salman tak bernapas panjang. Karena itu, saya tak bisa menghindar dari keharusan menyebut Mizan sebagai pancang peneguh tren baru penerbit Islam modern ini. Selain menyajikan buku-buku bertema, berbahan, dan bergaya penyajian modern—ditambah dengan rancangan dan kemasan yang lebih sesuai dengan selera kelas menengah baru muslim itu—penerbit ini memperkenalkan lebih jauh pemikir-pemikir muslim berpendidikan Barat, seperti Ali Syari’ati, Fazlur Rahman, Muhammad Iqbal, Seyyed Husain Nasr, dan Ziauddin Sardar. Yang tidak kalah penting, Mizan pun banyak memperkenalkan karya penulis nonmuslim (Barat) tentang Islam, termasuk karya orientalis. Sebenarnya, meski mungkin tidak benar-benar terdidik di Barat, lebih banyak karya cendekiawan muslim dengan sifat yang sama diterbitkan juga. Termasuk karya Abul A’la al-Maududi, Murtadha Muthahhari, serta kelompok ulama Ikhwan yang lebih terbuka, seperti Muhammad Ghazali dan Yusuf Qardhawi.
Yang paling penting dalam konteks ini tentulah penerbitan karya-karya pemikiran cendekiawan muslim Indonesia. Untuk pertama kalinya tulisan-tulisan Nurcholish Madjid diterbitkan. Malah judul buku pertama Cak Nur hasil suntingan Agus Edi Santoso dan tim Mizan ini—Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan—belakangan masuk kosakata standar wacana pemikiran Islam di Indonesia dan dianggap mencirikan pemikiran Cak Nur. Selain buku Cak Nur lain, Mizan menerbitkan pula pemikiran Harun Nasution, M. Dawam Rahardjo, Jalaluddin Rakhmat, M. Amien Rais, Kuntowijoyo, Ahmad Syafi’i Ma’arif, M. Quraish Shihab, dan sebagainya.
Kini jagat buku Islam di negeri kita sudah jauh lebih berkembang. Hampir-hampir tak ada lagi ruang, dalam spektrum luas kategori tema buku, yang tak dimasuki oleh puluhan penerbit Islam baru yang bertumbuhan di negeri ini. Buku pemikiran yang inovatif dan tak jarang berat serta masalah agama yang serius masih tetap banyak diterbitkan. Maka diperkenalkanlah pemikir-pemikir modern, bahkan postmodern: Hassan Hanafi, ’Abid al-Jabiri, Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Abdul Karim Soroush, dan banyak lagi lainnya. Dari dalam negeri ada Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, M. Amin Abdullah, Mulyadhi Kartanegara, dan sebagainya. Juga ada novel-novel populer, buku-buku anak, serta buku-buku self-help.
Semuanya itu tampak amat akomodatif terhadap berbagai sumber dan konteks budaya yang tak bisa dibilang Islam, dan tak jarang ditulis oleh trainer-trainer muslim berpendidikan Barat, seperti Akram Ridha dan Ibrahim el-Fikky. Ada juga Amru Khalid dan A’idh al-Qarni yang, meski tidak berpendidikan Barat, karya-karyanya menampilkan ciri-ciri buku self-help Barat. Seabad setelah negeri muslim ini mencanangkan kebangkitan nasional, buku-buku Islam berkembang benar-benar seperti ”cendawan di musim hujan”.
Inilah suatu perkembangan yang membesarkan hati, kalau saja pemikiran dan praktek Islam yang diwakilinya dapat tetap memelihara sifat modern, rasional, dan terbuka dari agama ini. Dengan menjauhkan diri dari eksklusivisme, ia dapat benar-benar berdialog serta hidup berdampingan secara damai dan saling memperkaya dengan semua kultur, dan agama, yang tumbuh di negeri ini. Semangat zaman tampaknya akan berpihak pada kecenderungan seperti ini. Dengan demikian, ada harapan besar bahwa Islam dan buku-buku Islam di negeri ini akan berperan positif dalam menjamin kelanjutan kebangkitan dan tegaknya nation Indonesia yang multikulturalistik, maju, dan damai, tanpa kehilangan identitas-religiusnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo